“Ke mana lagi kamu, Di?!”
“Aku yakin, tadi memang dia! Ternyata dia di Bandung!”
Langit kalang kabut. Ia mengusap kasar wajah maupun kepalanya menggunakan kedua tangan. Dirinya sudah mondar-mandir ke sekeliling, meski masih di sekitar area luar mall. Karena bagi Langit, harusnya Audi belum jauh. Kendati demikian, Langit masih menunggu hasil permohonan izin darinya memantau cctv sekitar sana.
“Tadi Audi di dekat motor, tetapi motornya juga sudah enggak ada. Sementara jika melihat pakaiannya, dia kayak dinas kerja apa gimana? Dia pakai rok, blazer sopan gitu dan sampai pakai kalung tanda pengenal.” Setelah merenung serius di tempat parkir Ken sempat memarkir motor gedenya, Langit bergegas menuju ruang keamanan di mall.
Di ruang yang disertai beberapa satpam, Langit sudah langsung disambut oleh pihak Mall. Pria rapi yang siap membantunya itu begitu segan kepadanya.
“Langsung ke CCTV sekitar ....” Langit menjelaskan yang ia masu. Padahal di angkringan depan mall, Audi baru saja beres makan.
***
“Makannya cepet banget, Di?” keluh Ken. Karena yang ia mau, mereka masih bisa berduaan lebih lama lagi. Namun jika Audi saja makannya cepat, kebersamaan mereka terancam usai dalam waktu dekat. Yang dengan kata lain, Ken harus mengantar Audi kembali ke kos, secepatnya.
“Audi memang gitu. Cantik banget, tapi mahal banget juga. Penasaran ke mantannya, seganteng dan sekeren apa? Kok iya dia bisa bikin anak orang mau sama dia, tapi malah dibikin trauma separah ini,” batin Ken.
“Kerjaan di kos lagi banyak banget, Ken. Sekalian mau rebahan juga. Rasanya capek banget!”
“Pakaian dilaundry, makan beli, bersih-bersih enggak usah terlalu peduli. Yang penting kamu cantik, pinter cari duit. Itu udah lebih dari cukup, Di!” ucap Ken yang kemudian mengacak gemas poni Audi. “Apa mau aku urus? Aku tanggung jawabin? Kasih nafkah lahir dan batin? Aku siap, asal kamu juga mau!”
Audi memanyunkan bibir sambil menatap sebal Ken, dan itu membuat targetnya langsung tersipu malu.
Pada akhirnya, lagi-lagi Ken mengalah. Ia mengantar Audi pulang, meski ia masih sangat ingin berduaan dengan Audi. Untungnya, ia belum kehabisan akal, untuk mendapatkan kesempatan berduaan dengan targetnya itu
“Besok mau aku jemput jam berapa?” tanya Ken tak lama setelah sampai depan gerbang kost putri yang menjulang tinggi.
Ken sengaja memanfaatkan acara ulang tahun sang adik, untuk mengajak Audi jalan.
“Acaranya jam berapa sih? Kalau bisa, jangan terlalu pagi,” ucap Audi yang kemudian juga berdalih, bahwa dirinya belum menyiapkan kado.
“Terserah kamu. Maunya kamu jam berapa? Kamu siapnya kapan. Aku jemput jam berapa? Kamu yang tentuin!” balas Ken santai dan masih duduk di motornya. Sementara di hadapannya, Audi yang baru saja dibukakan gerbang oleh penjaga kost, nyaris meninggalkannya.
“Diginiin saja, Audi belum tentu mau. Makin parah sih menutup dirinya. Padahal sebelum ini, Audi periang banget. Asli, sebenarnya aku takut, Audi nekat bunuh diri. Sayangnya, dia tetap enggak mau tinggal di rumah orang tuaku. Andai dia mau tinggal di rumah orang tuaku, selain aku bisa lebih dekat sama dia, aku juga bisa pantau dia lebih lama," pikir Ken.
Beres menghadapi Ken yang dirasa Audi benar-benar menyukainya. Audi segera melangkah masuk ke dalam area kos. Di salah satu kamar kos yang ada di sana, Audi tinggal. Selama tiga bulan terakhir, di sana menjadi tempat tinggal baru Audi.
Sementara di depan mall, Langit kembali kehilangan jejak Audi. Pria itu tak menemukan Audi di angkringan yang sempat Audi datangi.
“Saya mau tanya. Apakah tadi, wanita ini ke sini?” sergah Langit. Ia memanfaatkan foto Audi yang ia ambil di rekaman CCTV. Foto yang tentu saja kurang jelas.
Yang Langit tanyai memang pemilik warung angkringan Audi sempat mampir bahkan makan bersama Ken. Namun akibat pembeli yang selalu ramai, ia tidak begitu paham. Hingga lagi-lagi, Langit harus menelan kekecewaan.
“Susah banget sih buat sekadar dapat kabar kamu!” batin Langit.
Untungnya, Langit sudah mengantongi plat motor yang membonceng Audi. Masalahnya, ia baru akan mengetahui hasil penyelidikan mengenai siapa pemilik motor tersebut, hari Senin-nya.
“Sabar, ... sebentar lagi. Semoga kamu baik-baik saja. Enggak apa-apa, kita belum bisa ketemu. Yang penting kamu baik-baik saja!” batin Langit mencoba menyemangati dirinya sendiri.
langit bergegas menuju mobil yang masih diparkir di basemen. Ia melangkah berat dan sesekali memandangi layar ponselnya yang dihiasi foto Audi. Foto Audi hasil rekaman CCTV, dan baru ia dapat itu, ia jadikan sebagai wallpaper ponselnya.
“Dia makin cantik, tetapi ... sepertinya makin kurus saja.”
Tepat di depan lorong menuju basemen, Langit berhenti melangkah. Ia berpikir, jika Audi saja makin cantik, dengan kata lain, dirinya juga harus memperbaiki penampilannya. Terlebih biar bagaimanapun, dirinya sudah tidak muda.
“Iya ... aku harus lebih jaga penampilan. Sudah gondrong gini juga. Berewok juga wajib dicukur,” pikir Langit. Meski sejauh ini, ia juga selalu menjaga penampilan. Namun karena targetnya justru Audi yang memiliki wajah baby face, Langit merasa harus lebih menjaga penampilan.
***
Di kos dirinya tinggal, lagi-lagi Audi hanya melamun. Ia yang sudah berbaring di tempat tidur, menatap kosong langit-langit kamar di atasnya.
“Kabarnya, setelah memergoki aku dan om Langit ciuman, si Titian langsung kena serangan jantung dan berakhir masuk ICU. Selain itu, mereka juga gagal rujuk. Dengan kata lain, misi yang aku jalani sukses.”
“Begitupun dengan Aksara dan mama yang tetap dipenjara. Selain itu, entah sengaja atau tidak, dari informasi yang aku dapat, dua bulan lalu, mama berakhir keguguran, dan sejak itu, mama jadi gampang sakit.”
“Harusnya, semua kondisi itu sudah lebih dari cukup. Namun, kenapa aku tetap tidak bisa ikhlas? Kenapa semua pembalasan yang aku lakukan, tetap membuatku terluka dan bahkan ... trauma?”
“Sampai detik ini, aku masih belum bisa move on dari musibah yang aku alami dan lebih pantas disebut tragedi. Menemukan papa terbaring kaku bersanding dengan tablet obat tidur, dalam jumlah banyak. Juga, memergoki Aksara dan mama justru sedang begituan. Ah ... ini terlalu mengerikan! Menjijikan dan bahkan lebih horor dari hantu paling menyeramkan sekalipun!” Lagi dan lagi, Audi menghabiskan malamnya dengan air mata.
Audi tetap tidak bisa mengakhiri kesedihan maupun air matanya. Hingga yang ada, lagi-lagi dorongan dari dalam dirinya, agar ia mengakhiri hidupnya, juga membuat Audi bimbang.
“Aku memang sudah enggak punya alasan buat bertahan. Semuanya sudah selesai. Namun, apakah mengakhiri semua ini dengan bunuh diri, merupakan satu-satunya pilihan terbaik?” pikir Audi dikejutkan oleh dering pesan WA di ponselnya.
Awalnya, Audi tidak tertarik untuk memastikan pesan masuk di ponselnya. Apalagi selain suasana hatinya sedang kurang baik, ponselnya juga sedang dicas di meja sebelah. Namun karena dering tanda pesan masuk terus saja beruntun, Audi terpaksa bangun. Ia meraih ponselnya, dan memastikannya. Karena biasanya, dering pesan masuk beruntun itu dari grup kantor. Yang otomatis juga berkaitan dengan pekerjaannya.
Di grup WA kantor tengah membahas bos besar mereka yang akan ke kantor setiap harinya. Jadi, semua karyawan diharapkan untuk lebih tertib apalagi di hari Senin besok yang menjadi hari pertama bos besar datang ke kantor mereka.
“Kabarnya, kantor aku kerja, merupakan kantor cabang dari Jakarta. Sementara bos besar kami namanya Pak Antares L siapa, lupa.” Karena Audi memang sama sekali tidak memperhatikan.
Andai Audi tahu bahwa bos besarnya justru Langit, tentu ceritanya akan berbeda. Audi tak mungkin untuk tidak memikirkan layaknya sekarang.
“Haiish ... si Ken ya. Langsung WA. WA dibaca langsung telepon. Masa iya, aku harus terima cinta dia, sementara ke dia, aku blas enggak ada rasa,” batin Audi terpaksa menjawab telepon dari Ken. Karena hanya dengan begitu, pria itu akan berhenti menghubunginya.