5. Sandiwara yang Terasa Nyata

1563 Kata
“Sori, Om ... aku enggak bermaksud, ... apalagi sampai meluk Om begini.” “Enggak apa-apa, peluk saja. Yang penting kamu aman.” “Mm, ... omong-omong, dari kemarin Om jagain aku di kamar, dan sepertinya, Om enggak pernah makan? Sebagai bentuk dari ucapan terima kasihku karena Om sudah baik banget ke aku, ... bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memasakkan sesuatu untuk Om?” “Ouh ... itu—” “Ayo! Tunjukan ke aku, di mana dapur Om! Jangan terus menerus memperlakukan aku layaknya ratu. Sekarang giliran aku yang akan membalas.” Pesan suara berupa obrolan akrab dari wanita yang terdengar manja kepada Langit, menghiasi ponsel Titian.Titan yang berdiri anggun di depan pintu kediaman Langit, langsung ketar-ketir dibuatnya. Di dalam rumah Langit yang mewah, Audi berusaha selincah mungkin. Ia menggandeng Langit, menyikapi pria dewasa itu penuh keceriaan. Selain itu, tanpa sadar ia juga membuat jemari tangan kanannya mengisi satu sama lain dengan sela jemari tangan kiri Langit yang ia genggam sekaligus gandeng. Di lantai bawah kediamannya, Langit yang terlalu mengkhawatirkan kondisi Audi, terus berusaha mengimbangi. Karena itu juga, ia jadi lupa jika beberapa saat lalu, mantan istri yang statusnya kembali menjadi kekasihnya, tengah menunggunya di luar sana. Mengobrol bahkan berinteraksi melalui sentuhan dengan Audi, membuat Langit merasa sangat nyaman. Rasa nyaman tersebut pula yang menjadi alasannya lupa kepada Titian. Terlebih sejauh ini, Langit selalu salah di mata Titian. Ada saja yang membuat Titian kurang berkenan dan berakhir merajuk tak berkesudahan, meski Langit sudah berusaha memberi yang terbaik. “Ambil kanan, lurus, ujung, ... itu dapur. Tetap hati-hati. Kamu bahkan tidak memakai alas kaki begitu," ucap Langit. Kedua matanya mengawasi kedua kaki putih mulus milik Audi. Kaki wanita muda nan cantik itu memiliki kemulusan layaknya kulit bayi. “Om ... Om mau aku masakin apa? Tapi jangan yang ribet-ribet, ya. Tenagaku belum terkumpul. Mmm ... jadi, belum aku pergi dari sini, aku mau buatin Om nasi goreng spesial yang biasanya papa aku masakin buat aku.” “Gimana? Apa nasi goreng terlalu sederhana buat Om? Harusnya bukan nasi goreng, ya?” sergah Audi masih tetap menggandeng tangan kiri Langit, selain pria dewasa itu yang terus saja mengimbangi setiap langkahnya. Dari tatapan, gerak, dan juga cara Langit bersikap kepada Audi, memang menegaskan bahwa pria itu tulus kepada wanita muda yang tak sengaja dirinya tabrak. “Duduk Om. Hanya masak nasi goreng aku bisa. Mbak, tolong dong ambilkan si Om kursi. Maaf ya, Mbak, ngerepotin. Soalnya kalau gitu, si Om pasti tetap enggak mau duduk.” Audi memang sedang bersandiwara. Ia bertingkah, seolah dirinya sedang di rumahnya sendiri. Namun entah kenapa, Audi merasa apa yang ia lakukan, bukan lagi sandiwara. Mungkin karena meski selalu irit bicara dan cenderung dingin mirip Aksara, Langit tipikal yang sangat bertanggung jawab kepadanya. Hingga yang ada, bersama Langit membuatnya merasa sedang bersama sang ayah. “Kamu juga sambil duduk biar enggak lemes,” ucap Langit sesaat setelah meraih kursi plastik warna merah, dari sebelahnya. “Tapi aku kalau sambil duduk, kerjanya lama. Nanti aku kelamaan di sini,” ucap Audi. “Memangnya kamu mau ke mana?” sergah Langit yang pada akhirnya bangkit kemudian berdiri di sebelah Audi. “Ke tempat yang benar-benar jauh. Tempat di mana tak ada seorang pun yang aku kenal apalagi mengenalku. Tempat baru, yang tidak mengandung lokasi penuh kenangan dengan masa laluku,” ucap Audi yang refleks berpegangan pada pinggang Langit. Tubuhnya sempoyongan, tapi untungnya, Langit yang berdiri di sebelahnya, sigap mendekapnya. Tanpa direncanakan, tatapan mereka bertemu. Mereka bertatapan intens dan refleks mengawasi setiap lekuk wajah mereka tanpa terkecuali. “Kok jadi canggung mirip orang pacaran beneran gini?” pikir Audi jadi bingung sendiri. Namun, Audi tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengulurkan tangan kanannya kemudian membingkai pipi kiri Langit. Entah kenapa, apa yang tengah terjadi membuat dunia kedua sejoli itu seolah berhenti berputar. Langit sampai menepis tatapan mata Audi yang baginya begitu jernih sekaligus tak berdosa. Padahal, Audi harus terus menengadah hanya untuk menatapnya. “Sumpah, mirip banget sama Aksara. Berasa kakak adik saja mereka. Cuman, ... Om Langit jauh lebih maco dan bentuk tubuhnya saja jauh lebih berotot. Saking berototnya, di setiap memeluk atau malah dipeluk om Langit, rasanya tubuhku jadi mendadak kokoh dan tahan banting!” batin Audi yang memang sedang berusaha menarik perhatian seorang Langit. Bagi Audi, harusnya pria seperti Langit yang sudah terbiasa menjalani kehidupan lajang, tetap akan terbuai oleh perhatian wanita muda nan cantik layaknya dirinya. “Om ... sepertinya Om seumuran sama papa aku. Kalau boleh tahu, usia Om berapa?” lembut Audi benar-benar manis kepada Langit. Tangan kanannya mengelus pipi dan juga dagu tegas milik Langit. Sempat terlena pada cara Audi menyikapinya, Langit bergegas menepisnya. Ia melakukannya dengan hati-hati. “Aku sampai kesulitan bernapas. Dia ... dia menarik,” batin Langit amat sangat gugup. Di hadapannya, Audi kembali lanjut mengiris bawang, sesaat setelah mengambil alih pisau dari tangan kanannya. Interaksi Langit dan Audi yang kelewat manis, menjadi alasan ART yang sempat ada di dapur bersih dan tengah beres-beres, sengaja undur. Keduanya memilih mengerjakan pekerjaan lain. Sebab interaksi Audi dan bos mereka, membuat mereka merasa sangat gugup. Mereka bahkan jadi merasa malu sendiri. Terlebih, di setiap Langit dan Audi bertatapan, wajah keduanya selalu meniadakan jarak. Seolah, di wajah kedua sejoli itu ada medan magnet yang saling tarik menarik. Hingga di setiap bertatapan, wajah khususnya bibir keduanya pasti berakhir nyaris menempel. “Kenapa aku jadi sangat gugup? Jantungku berdebar sangat kacau gini!” batin Langit maupun Audi, kalang kabut sendiri. Di luar, Titian sudah sangat emosi karena teleponnya kepada Langit tak kunjung direspon. Begitu juga dengan pesan-pesan bernada ancaman yang ia kirimkan. “Bajiiiingan, ... mereka lagi ngapain? Beneran masak, atau malah ... arghhh!” batin Titian yang pada akhirnya menyerah. Ia menerima tawaran satpam di sebelahnya. Satpam tersebut memanggil ART lewat hate, agar segera membukakan pintu untuknya. “Ini si Titian mana, ya? Lama banget. Beneran ke sini dan sudah di luar, apa gimana? Rasanya tuh orang meski sudah tua, masih suka tantrum nuntut ini itu ke Om Langit,” pikir Audi. Nasi goreng sudah nyaris matang, tetapi Titian yang akan Audi buat cemburu tak kunjung datang. “Pedesnya jangan pakai cabai. Pakai lada hitam saja lebih cocok karena kita pakai daging dan juga seafood!” ucap Langit. “Sepertinya tetap butuh lada biasa juga, dikit gitu biar rasanya lebih masuk. Dikit ya, Om. Ini beneran dikit,” ucap Audi sambil menatap saksama kedua mata Langit. Kedua mata yang awalnya selalu menatap tajam itu, perlahan menjadi mirip kuncup bunga yang mekar. Sungguh, Langit tersenyum. Senyum yang juga jadi menular kepada Audi. “Pas senyum gitu, dia cantik banget! Sumpah. Apalagi sikapnya yang selalu dipenuhi kelembutan,” batin Langit berinisiatif mengambil alih botol berisi bubuk lada biasa yang tengah Audi buka. “Aku belum punya banyak tenaga,” lirih Audi merengek dan bibirnya pun jadi agak manyun. Langit yang awalnya langsung tersenyum hanya karena mendengar suara manja dari Audi, refleks bengong. Sungguh, melihat bibir Audi yang sedang manyun saja, Langit menjadi mendadak linglung. Terlebih jarak mereka nyaris tidak ada. Karena kedua ujung kaki mereka saja, nyaris saling sentuh. Karena melamun dan terlalu baper pada bibir tipis milik Audi, Langit jadi melakukan kesalahan fatal. Ia yang memakai tenaga lebih lantaran tutup botol lada yang awalnya sulit ia buka, justru kebablasan. Sebagian lada bubuk di dalam botol, mengenai wajah Audi yang ada tepat di hadapannya. Audi langsung terbatuk-batuk maupun bersin. Sementara Langit dengan sigap meminta maaf kemudian menggunakan rambut panjang Audi yang tergerai, untuk mengisap wajah Audi. “Kompor matiin, Om. Kompor matiin dulu. Takut gosong,'' sergah Audi belum berani membuka matanya. “Ayo ...!” sergah Langit langsung membimbing Audi ke wastafel. Ia membantu Audi membasuh wajah. Kejadian tersebut benar-benar murni kecelakaan. Kejadian yang tak ada dalam bayangan Langit maupun Audi yang sedang memainkan perannya untuk balas dendam. “Sori ... saya benar-benar minta maaf!” ucap Langit sambil mengelap wajah cantik tanpa rias milik Audi, menggunakan tisu. Wajah Audi yang basah, juga masih merah merona. Audi jadi menertawakan dirinya sendiri. Apalagi ketika kedua matanya terbuka dan langsung disuguhi kedua mata Langit yang menatapnya sangat khawatir. “Kenapa, Om?” “Saya nyaris jantungan. Jantung saya seperti rusak. Khawatir banget mata maupun hidung kamu.” “Tetap sih, ... ini di dalam hidung aku kayak masih banyak ladanya.” Audi mengucek-ucek hidungnya menggunakan jemari tangan kanannya. “Jangan dikucek-kucek gitu. Aku panggilkan perawat saja buat cek," sergah Langit sambil meraih tangan kanan Audi. Bersamaan dengan itu, Langit jadi tidak bisa menahan diri. Langit terus menunduk, dan bibirnya mengincar bibir Audi. Bibir tipis dan awalnya kering khas orang sakit itu jadi merah merona setelah terkena lada maupun air. Di lain sisi, alasan Audi menyambut baik ciuman bibir yang Langit lakukan, tentu karena beberapa langkah yang terdengar mendekat. Beberapa langkah tersebut disertai aroma parfum mawar sangat wangi dan Audi yakini, hanya orang kaya yang akan memakainya. Parfum sangat wangi yang Audi yakini milik Titian. Kedua tangan Audi meraih lengan kokoh milik Langit, seiring kedua tangan Langit yang membingkai wajah mungil milik Audi. “Oouuh ....” Titian layaknya tersambar petir di siang bolong. Ciuman nikmat yang menyatukan bibir berisi milik mantan suaminya dan bibir tipis wanita muda di hadapannya lah, penyebabnya. Detik itu juga Titian murka, tetapi jantungnya mendadak terasa sangat sakit. Ia terjatuh tak sadarkan diri di lantai dapur yang begitu dingin. Sebab kehangatan di sana seolah habis oleh ciuman yang dilakukan mantan suaminya dan si wanita muda nan cantik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN