“Bingung. Sampai kapan terus begini? Aku bahkan enggak punya tujuan hidup.”
“Hari-hariku begitu sepi. Bahkan ketika aku berada di keramaian sekalipun.”
“Bangun pagi-pagi buat kerja seperti ini, juga buat apa?”
Audi yang baru turun dari ojek tepat di depan perusahaan dirinya bekerja, terdiam loyo. Dunia Audi mendadak sunyi, selain segala sesuatunya yang jadi terlihat bergerak sangat lambat. Namun di depan sana, Audi melihat Ken sudah berdiri menunggu. Gadis cantik itu yakin, Ken sengaja datang lebih awal hanya untuk menemuinya.
Bingung. Pikiran Audi sungguh sulit dikontrol. Apalagi jika kondisi tersebut terjadi, yang ada Audi hanya sibuk menangis. Karenanya, Audi memutuskan tak jadi masuk kerja.
“Aku sakit. Iya, ... ini aku sakit!” Audi bergegas pergi dari sana. Ia berjalan di bagian pinggir jalan.
Tak begitu jauh dari jalan menuju perusahaan, Audi berpapasan dengan mobil yang membawa Langit. Audi yang memakai kemeja lengan panjang putih dipadukan dengan rok selutut warna maroon, memang melihat Langit. Namun, Langit yang memakai setelan jas warna maroon, tak melihatnya.
Langit tengah fokus pada ponsel seiring kaca jendela di sebelahnya yang perlahan naik dan menutup.
“Serius, itu tadi papanya Aksara? Kok ... kok dia ada di sini? Eh, itu tadi papanya Aksara, apa memang Aksara? Kok kayak enggak ada bedanya?” batin Audi buru-buru kabur.
Audi benar-benar memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor. Bahkan walau dirinya tahu, hari ini bos besar di kantornya akan datang. Audi merasa, kewarasannya jauh lebih harus ia jaga. Hingga setelah mencari banyak informasi, sampailah dirinya di sebuah rumah sakit ‘khusus’. Audi akan mengobati luka mental berikut traumanya pada psikiater kunjungannya.
***
Di kantor, Langit sudah memeriksa setiap ruang kerja. Sebenarnya, kantor Audi bekerja merupakan kantor cabang milik Langit yang ada di Jakarta. Hanya saja, Langit sama sekali tidak berpikir, bahwa wanita yang ia cari justru bekerja di sana.
Dari semua meja kerja, hanya meja milik Audi yang kelewat bersih. Tak ada riasan apa pun, hingga Langit terusik. Terlebih, kursi di depan meja kosong tersebut juga turut kosong. Langit berpikir bahwa meja kerja Audi, memang tak ada yang punya. Hingga Langit meminta manager yang menemaninya, untuk menyingkirkannya.
“Meja tersebut berpenghuni, Pak. Milik Audi, kebetulan hari ini orangnya izin—”
Mendengar nama Audi disebut oleh sang manager, pikiran Langit mendadak oleng. “Siapa tadi? Berasa kenal,” pikir Langit yang malah kebablasan lupa pada nama Audi yang sempat disebutkan.
Ingin bertanya untuk memastikan, hari ini pekerjaan Langit sangatlah banyak. Bergegas ia keluar dari ruang kerja yang di dalamnya juga berisi Ken. Ken yang tampil rapi, tak hentinya gelisah. Di tengah fokusnya pada laptop di hadapannya, Ken masih kerap memastikan layar ponsel yang kerap pria itu nyalakan.
“Si Audi beneran menghindari aku. Dia lagi di rumah sakit mana? Bilangnya privasi, tetapi dia asli jadi pasien,” batin Ken benar-benar gelisah.
***
“Di beberapa kesempatan, ... saya tidak pernah punya pikiran lain selain ... bunuh diri.” Audi membagi kisahnya yang penuh luka dan lebih mirip dengan tragedi. Di hadapannya, dan hanya dipisahkan oleh meja kayu, sang dokter jadi menatapnya iba. Kedua mata wanita cantik yang memakai kacamata bening itu jadi berkaca-kaca.
“Boleh saya minta ... resep? Semacam ... obat penenang apa obat tidur. Karena terkadang, dalam dua hari, saya benar-benar tidak tidur.”
“Sudah sangat lama saya tidak mengonsumsi kafein. Baik itu teh, apalagi kopi, ... sejak tiga bulan terakhir setelah papa meninggal dan ... itu karena ... bunuh diri ....”
Seiring cerita yang ia lakukan, air mata Audi berjatuhan. Namun di beberapa kesempatan, Audi sama sekali tidak menyadarinya. Audi baru menyadarinya ketika dokter yang ia hadapi, memberinya beberapa helai tisu kering untuk ia gunakan mengelap air mata.
***
Hari ini, semuanya terasa sama saja. Audi merasa dunianya hampa, tak bernyawa. Ia keluar dari rumah sakit yang ia kunjungi dengan tidak bersemangat. Kedua tangannya mencengkeram kaitan tas di pundak tangan kanannya.
Layaknya sebelumnya, tempat tinggal baru Audi juga masih kos khusus putri. Audi menjalani semuanya dengan sesemangat mungkin. Meski yang ada, semuanya tetap sama saja.
“Dokter bilang, ... aku harus punya teman. Aku harus bergaul, dan ... dan bila perlu aku harus coba kencan.”
Memikirkan kencan, Audi yang sudah tiduran di kasur busa lantai, berangsur meringkuk. Pandangannya tertuju ke ponselnya yang ada di meja.
“Aku memang harus punya pacar. Agar Ken juga tidak berharap kepadaku. Namun dengan siapa?”
“Sejak dengan Aksara, aku menutup diri dari laki-laki mana pun.”
“Iya ih ... sesulit apa pun, aku tetap harus punya pacar. Masa iya, Aksara dan mama saja selingkuh, dan mama sampai hamil. Namun, kenapa aku malah makin hancur? Mereka menang banyak, dong!”
Setelah merenung serius, Audi berangsur meraih ponselnya kemudian duduk. Menggunakan ponselnya, Audi mencari aplikasi kencan dengan rate tertinggi.
“Mereka yang kenal aku, pasti akan mikir ulang buat dekat aku. Andai mereka enjoy-enjoy saja dan enggak mempermasalahkan latar belakangku, pasti orang tua mereka yang ketar-ketir. Kayak mamanya Ken.”
Namun di lain sisi, Audi jadi takut. Bahwa menjalin hubungan melalui aplikasi kencan, hanya akan menjadi sumber masalah baru untuknya.
“Jangan aplikasi kencan deh. Download aplikasi curhat saja. Ngeri kalau lihat berita-berita yang lagi viral, dihabisi oleh teman kencan. Innalilahi!” pikir Audi yang langsung mengganti pencariannya.
***
Setelah selesai merenung, Audi memutuskan keluar dari kos untuk mencari makanan maupun keperluan lainnya. Selagi ada waktu. Karena besok-besok, Audi tidak yakin dirinya punya waktu.
Mengunjungi indomart terdekat menjadi tujuan pertama Audi. Tanpa curiga pada keberadaan mobil range rover hitam yang terparkir di depannya, Audi langsung masuk. Kali ini, Langit yang sudah ada di dalam, juga belum melihat Audi. Barulah ketika Langit hendak melakukan tarik tunai dan tak sengaja menoleh ke lorong makanan siap saji, pandangan Langit yang awalnya hanya melihat kilat ke sana, refleks kembali mengawasi.
“Audi ...?” batin Langit jadi cengar-cengir sendiri mengawasi wanita cantik yang tengah memilih aneka mi instan.
Langit bergegas melanjutkan transaksi tarik tunai. Namun selama dirinya melakukannya, pandangannya kerap mengawasi Audi. Meski sudah ada di depan mata, Langit sengaja hanya mengawasi Audi dari kejauhan. Ia sengaja melakukannya agar ia tak lagi kehilangan jejak Audi.