Araz nampak kebingungan melihat Vania menunduk menyembunyikan wajahnya di balik meja. Apa gadis itu sedang sakit?
Araz menendang pelan kaki Vania di bawah meja. " Woi, lo sakit kah? apa lo cuma cari-cari perhatian gue? "
Vania masih tidak bergeming dan tetap berada di posisinya. Araz memberanikan diri mengusap kepala Vania untuk mengecek suhu tubuhnya. Tapi sebelum tangannya menyentuh kepala Vania, Vania sudah lebih dulu mewanti-wantinya.
"Jangan sentuh gue sembarangan b******k! "
Araz menjauhkan tangannya dengan perasaan malu luar biasa. Selama ini tidak pernah ada satu pun wanita yang menolak sentuhannya. Dia melihat ke sekitarnya, sepertinya anak-anak tidak terlalu memperhatikannya dan lebih memperhatikan kehadiran guru baru di depan kelas mereka. Bagaimana cewek-cewek di kelas ini tidak kecentilan, guru baru itu memiliki paras yang tampan, memiliki mata oriental, berkulit putih, memiliki tubuh tegap dan tinggi sekitar 184cm.
Setelah bapak Kepala Sekolah keluar dari kelas mereka, pak James Wang sudah berdiri di depan kelas dan memerintahkan anak-anak untuk membuka bukunya.
"Anak-anak sekarang buka buku Biologinya halaman 115 tentang organ-organ tubuh manusia. Saya akan menjelaskannya lebih rinci di papan tulis. "
"Baik pak! " sahut hampir seluruh anak-anak cewek di kelas ini kecuali Vania. Mereka semua tak berhenti menatap ketampanan pak James sembari berbisik-bisik menggosipinya.
Pak James menggambar sebuah benda yang berbentuk lonjong di depan kelas. Benda itu memiliki dua bulatan berbentuk telur di belakangnya dan memiliki ujung seperti jamur.
"Anak-anak ini adalah p***s, p***s berfungsi untuk mengeluarkan urine melalui saluran uretra. Selain itu, p***s juga berperan dalam kenikmatan seksual karena memiliki banyak ujung syaraf yang dapat merangsang, " jelas pak James.
Salah satu dari anak-anak cewek itu langsung menanggapi penjelasannya. " Kalau itu sih kita-kita udah tau bapak, kita 'kan udah biasa melihatnya. Kalau punya bapak ukurannya berapa? pasti punya bapak gede banget. "
Seluruh anak-anak di kelas ini tertawa terbahak-bahak setelah mendengarnya. Pak James hanya tersenyum miring seraya berjalan menghampiri anak itu dan berdiri tepat di depannya.
"Siapa namamu? " tanya pak James.
Anak itu membusungkan dadanya dan menjawab, " Nama saya Hannah Addison pak."
Pak James menatapnya tajam dan berkata, "Hannah Addison, kalau sekali kamu mengatakan hal seperti tadi, saya tidak akan segan merobek mulutmu. Apa kamu paham? "
Tawa anak-anak di kelas ini perlahan-lahan menghilang. Seketika suasana berubah menjadi hening.
Wajah Hannah berubah menjadi pucat pasi dan menjawab dengan gugup. " I... iya pak. "
Saat pak James akan berbalik, matanya tak sengaja melihat Vania yang sedang menunduk menutupi wajahnya di balik meja seperti orang lagi tidur.
"Bangun, " perintah pak James dengan wajah dingin.
Araz menyenggol kakinya Vania agar gadis itu segera bangun. Vania tidak punya pilihan lain dan terpaksa mengangkat wajahnya. Untuk pertama kalinya setelah setahun berpisah, Vania kembali menatap wajah mantan kekasihnya itu. Ada kerinduan sekaligus rasa sakit yang terpendam di dalam hatinya.
Baginya James adalah satu-satunya harapan yang dia miliki karena dia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. James adalah rumah untuknya pulang dan tempatnya bersandar ketika dia merasa lelah, tapi James juga lah yang sudah mengusirnya dan mencampakkan dirinya demi menikahi wanita lain. Padahal waktu itu dia sedang hamil 16 minggu, buah cinta mereka yang selama ini mereka idam-idamkan. Di saat pernikahan James dan wanita itu digelar, dia mengalami kecelakaan hingga mengakibatkan janinnya keguguran. Bukan hanya itu saja, wajahnya juga mengalami kerusakan dan dokter terpaksa melakukan operasi pada wajahnya.
Mata mereka sempat bersitatap untuk beberapa detik. James terpaku melihat netra mata kecoklatan Vania karena mengingatkan dirinya pada Isabella, mantan kekasihnya yang menghilang setelah mengalami kecelakaan mobil di hari pernikahannya.
"Maafkan saya pak, kepala saya sangat pusing. Boleh saya minta izin ke ruang kesehatan? " tanya Vania meminta izin, dia sudah tidak tahan berlama-lama berada di satu ruang yang sama bersama James. Dadanya begitu sesak mengingat kembali masa lalunya yang pahit. Dia menggigit bibir bawahnya menahan air mata yang hampir saja luruh. Sekuat hati dia menahan dirinya untuk tidak menangis meski matanya sudah berkaca-kaca menatap James dalam jarak sedekat ini.
"Baiklah, kamu boleh keluar sekarang," ucap James langsung memberikan ijin padanya untuk meninggalkan kelasnya.
"Terima kasih pak, " Vania segera bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan pergi meninggalkan kelasnya secepat mungkin. Sedangkan James hanya bisa menatap kepergiannya hingga punggungnya benar-benar menghilang dari balik pintu kelas.
Sementara itu Vania sudah masuk ke dalam ruang kesehatan. Dia menutup hordeng untuk menutupi dirinya lalu duduk di pinggir bangsal sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya jatuh juga. Dia sudah berjanji untuk tidak lagi menangis dan berusaha melupakan James. Tapi semakin dia berusaha untuk melupakannya, semakin dia terus mengingatnya.
Perlahan dia mengeluarkan dompetnya dan membukanya. Disana masih ada foto USG calon janin mereka. Tanpa sadar air matanya jatuh mengenai foto itu. Dia mengusapnya pelan dan berkata dengan bibir bergetar, "Little Wang, mommy sangat merindukanmu. Semoga kau akan kembali hidup di rahim mommy. Mommy sangat mencintaimu sayang. "
Vania mencium foto itu untuk meredakan rasa rindunya. Setelah itu dia kembali menyimpan dompetnya lalu berbaring di atas bangsal dalam posisi miring ke kanan. Rasa sesak itu tidak kunjung menghilang di dalam hatinya. Bahkan untuk menarik nafas saja rasanya sangat berat sekali.
Sampai detik ini dia tidak bisa melupakan James Wang. Mereka sudah berpacaran dan tinggal bersama selama 2 tahun di sebuah apartemen. James berjanji akan menikahinya beberapa tahun lagi, tapi nyatanya pria itu malah pergi meninggalkannya dan mengusirnya. Dia tidak tau harus pergi kemana lagi saat itu. Tidak ada satu orang pun yang mau membantunya kala itu. Sebenarnya dia masih memiliki mommy, tapi mommy nya telah menikah lagi dan tidak mengakuinya sebagai anak. Selama ini dia tinggal bersama neneknya, namun neneknya meninggal akibat penyakit komplikasi jantung dan paru-paru. Di masa sulitnya, hanya James yang datang membantunya dan mengajaknya tinggal bersama di apartemennya. Tapi kebahagiaan itu tidaklah bertahan lama, James tiba-tiba berubah dan membuangnya begitu saja bagaikan seonggok sampah yang tak berguna.
***
Daddy Arthur semakin frustasi karena Rebecca belum juga pulang ke rumah. Beberapa hari ini dia hanya bisa bisa menuntaskan hasratnya sendirian di kamar mandi. Hari ini dia pulang lebih cepat dari biasanya. Baru saja melangkah masuk ke dalam rumah, samar-samar dia mendengarkan bunyi piano yang dimainkan oleh seseorang di ruang keluarga. Dia melihat Vania duduk disana sambil memainkan instrumental River Flows In You karya Yiruma dengan sangat indah.
Perlahan langkah kakinya membawanya kesana. Dia tidak menyangka Vania sangat pintar memainkan piano karena hanya kalangan kelas atas saja yang bisa memainkannya. Sedangkan Vania baru dia adopsi dari panti asuhan sekitar 2 minggu yang lalu.
Vania menyadari ada seseorang yang mendekatinya dan terpaksa menghentikan permainan pianonya.
"Daddy? bukannya Daddy lembur malam ini? " tanya Vania.
Daddy Arthur ikut duduk di samping Vania dan menjawab pertanyaannya, "Pekerjaan Daddy selesai lebih cepat jadi Daddy memutuskan untuk pulang secepatnya. Kamu belajar piano dari mana? permainan pianomu sangat indah sekali. "
"Aku... aku belajar piano di gereja Daddy."
Vania sangat menyukai musik, dia sering ikut paduan suara dan belajar piano di gereja jika ada perkumpulan.
Daddy Arthur mengangguk mengerti. Matanya tak sengaja melihat sesuatu yang mencuat dari balik baju yang dikenakan oleh Vania. Apa Vania tidak memakai bra? dia segera memalingkan pandangannya, lagi-lagi dia teringat percintaan mereka pada malam itu. Miliknya sampai mengeras dari balik celananya. Sebelum situasinya berubah semakin buruk, lebih baik dia cepat-cepat pergi dari sini.
Vania tiba-tiba saja menahan tangannya. " Daddy mau kemana? apa Daddy tidak bisa menemani aku lebih lama? "
"Daddy harus ke kamar sekarang Vania. Daddy ingin mandi. "
"Aku tau Daddy sedang frustasi karena mommy belum kembali ke rumah. Aku tidak sengaja melihat milik Daddy membesar tadi. Jujur aku kasihan melihat Daddy seperti ini. Aku tau Daddy tidak mau mengkhianati Mommy. Kalau Daddy keberatan kita melakukannya, aku bisa memakai mulutku untuk meredakan rasa frustasi yang Daddy rasakan sekarang. Bagaimana? apakah Daddy mau? "