Merebut Kembali

1137 Kata
"Oh iya, aku harus pergi besok pagi. Kamu, tidak apa-apa kan, bila di sini sendirian??" tanya Maxime dan bibir Megan nampak meruncing serta dahi yang dipenuhi dengan kerutan. "Tidak mau!!" seru Megan. Maxime mengusap wajah dengan telapak tangan kanannya dan kemudian mengembuskan napas, melalui mulutnya. "Baiklah. Aku akan menyuruh temanku, untuk menemani kamu di sini," ucap Maxime. Maxime pergi, setelah menyediakan sarapan pagi untuk wanita, yang baru juga tersadar dari mimpinya semalam. Wanita itu turun ke bawah dan tidak melihat Maxime di sana. Akan tetapi, ia malah melihat pria lain, yang kini tengah duduk di sofa dan hanya menatap lurus ke depan, tanpa melihat ke arahnya sama sekali. Sapaan, senyuman dan apalah itu, tidak keluar dari mulutnya sama sekali. Dia terlihat dingin dan dia juga, nampak tidak peduli dengan kehadiran Megan di sana. Megan mendekat perlahan dan mencoba untuk melakukan komunikasi, dengan pria yang masih seperti tidak merasakan kehadirannya di sana. Atau lebih tepatnya, berpura-pura tidak melihat kedatangannya. Permisi, kamu siapa ya?" tanya Megan, setelah ia berada di dekat pria, yang sedang menghela napas dengan panjang ini dan baru menoleh, ketika Megan lebih dulu menyapanya seperti tadi. "Aku Gerald dan aku, akan berjaga di sini, sampai Max kembali," jawab pria tersebut yang kembali memalingkan wajahnya lagi. Megan mengangguk paham. Pasti, pria inilah yang katanya adalah teman itu. Yang diminta untuk menemaninya di sini. "Maxime kemana ya?? Kok dia tidak kelihatan??" tanya Megan. "Dia sedang pergi karena ada sedikit urusan," jawab Gerald dan Megan kembali mengangguk paham lagi saja. Memang sudah mengatakan akan pergi pagi-pagi. Ya, meskipun ia tidak tahu, kemana perginya laki-laki itu. "Em, mau dibuatkan teh, atau kopi?" tanya Megan, bukan hanya untuk sekedar basa basi. Pria ini adalah tamu dan tamu haruslah dijamu dengan sebaik-baiknya. "Tidak usah. Tidak perlu repot-repot. Aku bisa mengambilnya sendiri," jawab Gerald. "Oh, ok," balas Megan yang kini hanya diam sambil berdiri saja di sana. Tidak tahu harus melakukan apa. Inginnya, membuatkan teh atau minuman apapun itu, lalu menyajikannya dan mengobrol santai, dengan pria yang terlihat begitu kaku ini. Tapi, belum dilakukan sudah ditolak saja. Suara deringan ponsel terdengar, dari dalam jaket kulit pria yang berada di sofa ini. Pria itu juga, terlihat mengambil ponselnya dan meletakkannya di daun telinganya, serta nampak berbicara dengan seseorang di sana. "Apa dia sudah bangun??" tanya si penelepon yang tidak lain adalah Maxime. "Sudah," jawab Gerald singkat. "Ya sudah. Tolong katakan kepadanya, langsung sarapan saja. Sarapannya ada...," "Katakanlah sendiri kepadanya," ucap Gerald yang sembari memberikan ponselnya ini kepada Megan. "Megan??" panggil Maxime dan langsung disahuti oleh wanita yang sudah menggenggam ponselnya ini. "Iya. Kenapa??" tanya Megan. "Sarapan ada di dapur. Makanlah. Habiskan semuanya. Oh iya, aku akan kembali, mungkin saat sudah sore nanti." "Iya. Aku mengerti," jawab Megan. "Kalau kamu sedang ingin sesuatu, katakan saja. Nanti aku belikan di sini. Untuk makan siang nanti, makanlah yang ada dulu. Nanti aku bawakan banyak makanan, sepulang dari sini," pesan Maxime. "Iya baiklah." Panggilan telepon berakhir sudah dan Megan yang telah lapar ini, cepat-cepat pergi ke dapur. Namun sebelum itu, ia kembalikan dulu ponsel yang ia genggam ini kepada pemiliknya. "Ini handphone-nya. Terima kasih. Em, siapa tadi namanya?" tanya Megan, yang sudah lupa saja. "Gerald. Namaku Gerald." "Oh iya. Terima kasih. Eum, kak Gerald? Mas atau apa aku harus menyebutnya??" tanya Megan dengan cukup kebingungan. "Panggil saja Gerald!" cetusnya. "Oh, ok. Em aku mau ke dapur dulu. Mau sarapan. Apa mau sarapan bersama mungkin?" tanya Megan. "Tidak terima kasih. Aku sudah sarapan." "Oh ya sudah. Kalau begitu, aku pergi sarapan dulu ya," ucap Megan seraya pergi ke dapur. Megan tarik kursi dan duduk, lalu memakan makanan yang sudah tersedia di atas meja. Ia menyantapnya dengan lumayan lahap, karena memang sedang lapar-laparnya. Sementara itu di sebuah perusahaan, yang adalah milik ayah dari Maxime. Maxime mendatangi ruangan tanpa permisi. Bahkan, ada satu kaki tangan dari orang yang menguasai perusahaan itu pun seketika menjadi panik, dengan kehadiran Maxime di sana. "Pak, dia di sini. Dia ada di sini," bisik laki-laki, yang sedang melakukan panggilan telepon seluler dengan orang yang ada di ruangan sana. "Jaga dia. Halangi, jangan sampai masuk ke sini!" seru pria itu tapi terlambat, karena pria yang sedang dibicarakan di telepon itu malah mendobrak pintu, lalu masuk sembari tersenyum menyeringai, kepada pria yang tadinya hendak menelpon satpam. Namun, kemejanya sudah lebih dulu Maxime cengkeram, hingga ia tidak berkutik. "Apa maumu, Max!" seru Vincent, selaku paman dari Maxime sendiri dan juga ayah dari Freddy sepupunya. "Hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku paman," ucap Maxime sembari menghempaskan tubuh pamannya tersebut dan merampas ponsel, lalu melemparkan ponsel ke dinding, hingga hancur berkeping-keping. "A-apa maksudmu, Max?? Apanya yang milikmu??" ucap Vincent dengan tergagap. "Perusahaan ini. Semua yang ada di sini, bukannya milik Daddy?? Kenapa paman ada di sini hm??" tanya Maxime. "Ya itu... Ya itu karena ada beberapa hal yang harus diurus di sini!" "Jadi, masalah semua harta habis itu adalah bohong??" "Siapa bilang!!?" seru Vincent dan Maxime tersenyum masam seraya mengeluarkan ponselnya sendiri dan menunjukkan beberapa bukti, yang sudah ia kumpulkan beberapa bulan terakhir. Bola mata Vincent membulat sempurna. Saat melihat segala bukti, yang entah didapatkan dari mana. Maxime menarik ponselnya lagi dan menaruhnya di dalam saku celananya. Ia bersandar pada meja dan menaruh kedua tangannya di sisi kanan kiri, persis di tepian meja kaca tersebut. "Paman, Maxime benar-benar tidak menyangka, kenapa adik sendiri, begitu tega kepada kakaknya?? Padahal, kakaknya sudah berbaik hati, untuk memberikan jabatan sebagai CEO di perusahaan ini. Tetapi, kenapa masih dicelakai juga??" "Max, Maxime. Kamu jangan salah paham. Semuanya itu, tidak seperti yang kamu pikirkan. Semua itu...," "Sudah. Hentikanlah, paman. Sekarang, tolong kemasi barang-barang paman. Karena sekarang, Maxime yang akan menempati posisi ini!" "Max, tapi...," "Apa paman mau, video-video tadi sampai ke tangan pihak berwajib??" ancam Maxime. Vincent mengemasi barang-barangnya dan keluar detik itu juga. Lalu orang yang merupakan kaki tangan Vincent, sekaligus juga sebagai pengkhianat ayahnya, ikut terkena imbasnya juga. "Pergilah! Kau dipecat!" perintah Maxime ketika pria itu datang dan berdiri di hadapan Maxime, yang tengah duduk di kursi ruangan. "Tapi, saya... Saya cuma disuruh!!" seru pria itu lagi. "Salahnya kenapa mau?? Sana pergi!" usir Maxime. "Tapi, saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya...," ucapan pria itu terhenti mendadak, saat sebuah pistol, sudah diacungkan dan hanya tinggal menarik pelatuknya saja. "Ini bukan pistol mainan," ucap Maxime seraya melirik benda yang ada di tangannya. "Mau coba??" sambung Maxime sembari tersenyum miring. Pria itupun berlari tunggang langgang juga dan hanya tersisa Maxime saja, yang masukkan pistol ke dalam kantong celananya lagi dan menarik papan nama CEO di perusahaan ini, lalu melemparkannya ke samping kemudian ia pun menaikkan kedua kakinya dan bersandar pada kursi, yang tengah diduduki olehnya ini. Kedua mata Maxime terpejam dan lalu ia nampak tersenyum. Karena berhasil mendapatkan semua bukti-bukti dan mendepak pamannya sendiri. Tetapi setelah itu senyumannya pun hilang, bersamaan dengan datangnya perasaan kehilangan keluarga satu-satunya, tanpa sempat melihat orang tersebut untuk yang terakhir kalinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN