Bahaya yang Mengintai

1511 Kata
Sebuah sepatu berhak yang hanya memiliki tinggi dua senti itupun keluar lebih dulu dari pintu mobil yang sudah terbuka, bersama sebuah kaki mulus, yang terbungkus stocking berwarna senada seperti warna kulit. Wanita yang bertubuh tinggi semampai itupun sudah sepenuhnya keluar dari dalam mobil dan sekarang ini, nampak telah berdiri di sisi mobil sambil memperhatikan ke arah sekeliling tempat, yang katanya merupakan sebuah perusahaan milik ayah mertuanya. Namun, saking asyiknya memperhatikan sekeliling tempat ini, rupanya, ia malah ditinggalkan oleh pria, yang sudah lebih dulu berjalan duluan di depan sana. "Hei! Ayo cepatlah!!" seru orang yang tiba-tiba saja menghardiknya dengan kencang, di depan banyak orang. Megan menundukkan kepalanya dan berjalan mendekati pria, yang malah sudah kembali berjalan lagi itu. Bukannya menunggunya, ia malah ditinggalkan seperti ini dan lagi, kenapa mendadak galak?? Biasanya tidak begitu saat di rumah. Giliran berada di luar dan di tempat ramai begini, dia malah berubah seratus delapan puluh derajat. "Hei, tunggu!" seru Megan dan pria itu pun berhenti dan memberinya tatapan yang dingin. "Apa kamu baru saja meneriaki saya??" tanya Maxime dan Megan pun langsung tersenyum masam dengan raut wajah yang ikut-ikutan masam juga. "Tidak, Pak. Maaf!" cetus Megan, yang akhirnya mengikuti aturan main dari pria ini. Tapi awas saja nanti, ia pasti akan membalasnya di rumah! Baru masuk hari pertama dan langsung disuruh mengatur pertemuan. Ia mana mengerti?? Tapi untung saja, ada yang mau membantu. Kalau tidak, ia pasti akan bingung setengah mati. Mana laki-laki tadi, malah langsung masuk saja ke ruangannya dan ia ditinggalkan di luar sini, untuk mengurusi berkas ini dan itu. Lebih baik pekerjaannya yang dulu. Biarpun lelah seharian, ia tidak sampai pusing tujuh keliling begini. Telepon di atas meja Megan tiba-tiba saja mengeluarkan suara. Megan ambil gagangnya dengan ragu-ragu dan meletakkannya di daun telinganya sendiri. "Ya halo, dengan Megan di sini," sapa Megan terlebih dahulu. "Baby, apa kamu sudah atur pertemuannya?? Aku ingin bicara dengan para kepala divisi dalam lima menit lagi," ucap si penelepon yang ternyata adalah Maxime. "Sudah, Pak. Sudah saya minta untuk berkumpul di ruang rapat," jawab Megan. "Ok baiklah. Sebentar lagi aku keluar dan kita akan pergi ke sana bersama-sama." "Baik, Pak. Ditunggu," timpal Megan yang kemudian menaruh gagang teleponnya lagi. Megan cepat-cepat membereskan mejanya dan bangun dari kursi, ketika laki-laki yang habis meneleponnya itu keluar. "Ayo cepat!" cetus Maxime, yang kembali dalam mode kulkas empat pintu. "Iya, Pak," jawab Megan yang mengimbangi langkah kaki Maxime yang begitu cepat itu, hingga ke ruang rapat dimana semua kepala divisi telah menunggu kedatangan pria yang satu itu. Maxime duduk pada kursi depan, yang dimana kanan kirinya telah diduduki oleh masing-masing dari kepala divisi dari perusahaan ini. Dia, nampak memperhatikan wajah orang-orang, yang sebagian dari mereka tidaklah asing, karena di setiap pertemuan, sang ayah sesekali mengajaknya dan juga mengenalkannya, pada orang-orang tersebut. "Selamat pagi semuanya," sapa Maxime yang sedang dalam mode serius. "Selamat pagi, Pak," jawab mereka hampir serentak, biarpun tidak semuanya menjawab. Bahkan, ada salah seorang yang kelihatan meremehkan pria muda di depan mereka ini. Biarpun ayahnya ada pemilik dari perusahaan ini sekalipun, tapi kalau yang memegang kendali, adalah anak kemarin sore, bagaimana mereka tidak merasa ragu. Sebenarnya, keraguan yang sama dirasakan oleh hampir semua orang yang hadir di ruangan ini. Tidak ada pengalaman kerja. Tidak tahu seluk beluk pekerjaan juga. Apa mungkin dia benar-benar bisa, untuk menjalankan perusahaan ini dengan baik?? "Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih banyak, atas kehadiran kalian semua di sini. Mungkin, sebagian dari semua yang hadir, sudah tahu siapa saya dan ada yang ingin tahu juga, apa kepentingan saya berada di sini. Maka dari itu, saya ada di sini, untuk menjelaskan semuanya, agar tidak ada berita yang simpang siur juga tentang saya di luaran sana dan agar kita semua juga saling mengenal dan kompak, demi kemajuan dari perusahaan ini juga tentunya. Perkenalkan, saya adalah Maxime Flint Hamilton, anak dari pemilik perusahaan ini, yaitu ayah saya sendiri dan saya umumkan juga, bila mulai hari ini, jabatan sebagai CEO di perusahaan ini saya yang menempatinya. Jika ada keluhan atau apapun itu, boleh diutarakan di meja ini, detik ini juga. Karena, saya ingin kita saling percaya, kita bekerja tim juga. Bukan sendiri sendiri. Bukan saling sikut dan kita bisa maju bersama-sama juga." Orang yang sejak tadi, memang sudah sangat menunggu moment inipun terlihat mengangkat tangannya dan memberikan pertanyaan, bagi atasan baru mereka itu. "Ya, silahkan," ucap Maxime sembari menunjuk orang yang langsung duduk dengan tegak itu. "Selamat pagi. Perkenalkan, saya Nico Hutama, kepala bagian produksi di perusahaan ini. Ada beberapa point yang ingin saya tanyakan di sini, yang pertama, bagaimana cara anda untuk menjalankan perusahaan, bila belum memiliki pengalaman sama sekali di bidang ini dan yang kedua, di usia anda yang masih tergolong sangat muda, rasa-rasanya, apa tidak terlalu berlebihan, bila langsung menduduki posisi ini??" tanya pria tersebut dengan begitu berani. Tapi benar-benar mewakili isi kepala orang-orang yang berada di sini juga. Maxime tersenyum. Rasa-rasanya, ia sudah ingin mengeluarkan benda yang tersembunyi di balik jas nya ini. Tetapi, ia pun takjub juga, karena ada orang yang dengan sangat lantang, menyuarakan isi pikirannya itu. "Baiklah. Terima kasih atas pertanyaannya, Tuan Nico Hutama. Saya benar-benar senang, ada yang berani bicara di depan saya secara langsung, dibandingkan hanya berkasak-kusuk di belakang saya saja," ucap Maxime sembari memandangi orang-orang yang berada di ruangan ini satu persatu. "Ok, akan saya jawab. Pertama, soal pengalaman kerja. Saya memang belum pernah bekerja di perusahaan manapun. Tapi, bukan berarti saya tidak memahami mekanisme, untuk menjalankan suatu perusahaan. Apa lagi, perusahaan itu adalah milik orang tua sendiri. Kebetulan sekali ada pertanyaan ini. Sebenarnya, sebelum ayah saya meninggal dan sebelum saya pergi ke luar negeri, untuk melanjutkan pendidikan, hampir setiap hari, saya digembleng oleh mendiang ayah saya. Beliau sudah mengajarkan banyak hal. Termasuk, bagaimana cara beliau, untuk memajukan perusahaan miliknya ini dan tentunya, saya tidak ingin sesumbar saja. Sambil berjalan, saya akan buktikan ucapan saya ini dan mungkin, untuk pertanyaan yang kedua, akan saya jawab dengan kerja nyata saja. Bukan hanya dengan omong besar, tanpa ada bukti apapun itu. Beri saja saya waktu, satu atau mungkin dua bulan ke depan dan saat itu juga, kalian semua boleh menilai sendiri, apakah pantas, bila jabatan ini saya yang mendudukinya. Bagaimana??" ucap Maxime dan yang lain nampak mengangguk setuju. Sementara yang bertanya itu sendiri, masih belum puas dengan jawaban, yang Maxime lontarkan. Terlalu dini untuk menilai, bila belum ada bukti dari ucapan-ucapan Maxime tadi dan ia masih akan mengamati, apakah perusahaan ini akan memiliki kemajuan atau justru malah kemunduran. "Baiklah. Bila ingin mendiskusikan tentang pekerjaan, akan saya buka juga pembahasannya di sini. Ada keluhan apapun itu, akan saya tampung sekaligus dengan mencari solusinya juga, kita bisa bertukar pikiran secara terbuka di sini. Silahkan, blak-blakan saja. Sekali lagi, jangan ada yang dipendam. Utarakan, supaya tidak ada kesalahpahaman di kemudian hari nanti," ucap Maxime dan satu persatu dari mereka itu mulai mengutamakan isi pemikiran mereka. Tidak ada sekat dan tentunya, Maxime terima semua kritik maupun saran mereka semua. Megan nampak menguap. Jam-jam rawan kantuk sudah dimulai. Apa lagi, perut yang sudah diisi ini, malah terasa kosong lagi saja. "Bagaimana? Sudah kamu catat??" tanya Maxime dan Megan pun hanya manggut-manggut dengan lemas. Maxime melihat jam di menempel di dinding ruangan dan mulai berbicara lagi, kepada mereka semua yang hadir di sini. "Sepertinya, untuk diskusi kali ini, saya cukupkan sampai di sini. Kita akan sambung di lain waktu lagi ya?? Bagaimana??" tanya Maxime. "Iya, boleh," ucap dari beberapa orang yang bersuara. "Baiklah. Selamat siang dan selamat bekerja," ucap Maxime, seraya menoleh kepada Megan terlebih dahulu. "Ayo keluar," ajak Maxime. Megan mengikuti Maxime di belakang dan saat tiba di depan ruangannya. Maxime meminta Megan masuk juga, dengan alasan ingin meminta catatan rapat tadi. Namun, ketika tiba di dalam, Megan malah langsung di dorong ke dinding dan pria gila satu ini, malah menautkan bibir mereka. "Ck! Sana ah!" seru Megan seraya mendorong tubuh Maxime. Sedang lapar begini, bukannya diberi makanan, malah diberi ciuman. Mana kenyang kalau cuma makan ciuman! "Kenapa galak sekali?". tanya Maxime sembari menyunggingkan senyumnya. "Aku lapar! Aku ingin makan sesuatu. Apapun itu pokoknya makanan!" cetus Megan. Maxime mengusap kasar wajahnya sendiri dan kembali ke tempat duduknya lagi, lalu menelepon dengan telepon yang ada di atas meja. "Tolong bawakan makanan ke sini secepatnya. Saya tunggu!" ucap Maxime ketika gagang telepon sudah menempel di daun telinganya itu. "Ayo duduk dulu. Sebentar lagi, makanannya datang," ucap Maxime dan Megan pun menaruh catatannya di atas meja, lalu kemudian menyusul tubuhnya di atas sofa. Ponsel milik Maxime berdering dan secepatnya, dia jawab panggilan yang datangnya dari Gerald. "Max, gawat. Sepertinya, ada yang sedang memata-matai kita. Berhati-hatilah di sana dan selalu waspada. Tadi pagi, Derrick diikuti orang dan ditembak, untungnya hanya mengenai lengannya. Kalau sampai menembus jantung, mungkin nyawanya sudah melayang. Kamu harus lebih berhati-hati lagi. Bukan tidak mungkin, dia akan mendatangi kita satu persatu," ucap Gerald dan Maxime nampak meneguk salivanya sendiri, sembari menatap wanita, yang sedang berada di atas sofa dan tengah mengusap-usap perutnya sendiri. "Iya baiklah. Aku akan lebih berhati-hati lagi. Kabari aku, bila ada informasi tentang apapun itu," ucap Maxime. "Iya. Kamu tenang saja. Ya sudah. Aku akan mengurusi Derrick dulu," ucap Gerald seraya mengakhiri panggilan teleponnya bersama Maxime.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN