"Buat apa??" tanya Megan dan senyuman Maxime pun berubah masam.
"Apa harus ada alasan?? Hanya tinggal cium saja apa susahnya??? Setelah itu, kamu baru boleh pergi dari sini."
"Kalau aku nggak mau??" tanya Megan dengan menantang
"Kalau tidak mau, mungkin besok-besok, kita bisa melakukannya di dapur, mobil atau bisa juga di teras rumah. Kamu tinggal pilih saja," ucap Maxime sembari tersenyum lebar.
Kerutan di dahi Megan semakin banyak. Tapi apakah dia setuju?? Tentunya tidak. Megan langsung melenggang pergi, tanpa takut gertakan pria yang tengah menganga itu.
"Hey! Kamu mau kemana?? Jangan pergi dulu!" cetus Maxime sembari memegangi tangan Megan.
"Ck! Lepas! Apa kamu masih belum puas??" tanya Megan.
Maxime menggigit bibir bawahnya sendiri dan menatap wanita, yang sedang dalam mode mengajak perang ini.
"Sepertinya, kata itu tidak pernah tercantum di dalam kamusku," ucap Maxime dan Megan pun mengembuskan napas dengan bola mata yang langsung berputar ke atas.
"Whatever you say!" ucap Megan yang menarik lengannya dengan cepat dan pergi dari hadapan Maxime.
"Hei tunggu dulu! Kamu belum... Ah!" Maxime berdecak.
Kini, bukannya mengurusi persenjataan seperti biasanya. Dia malah mendatangi wanita, yang sudah meninggalkan di dapur tadi. Ia ikuti sampai ke lantai atas dan saat Maxime membuka pintu, ia pun bersandar di dekat daun pintunya itu dan memperhatikan wanitayang nampak sedang berkemas, dengan memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam tas.
"Sedang apa??" tanya Maxime.
"Kamu bisa lihat sendiri," ucap Megan, yang tengah fokus mengumpulkan pakaiannya di dalam tas.
"Kita masih pergi besok. Untuk apa berkemas sekarang??" tanya Maxime.
"Ya siap-siap. Jadi nanti cuma tinggal berangkat," ucap Megan, yang masih kelihatan sibuk bolak balik mengambil baju-bajunya dari dalam lemari.
"Oh iya, baju kamu mau sekalian??" tanya Megan.
"Tidak usah. Aku bisa berkemas sendiri. Tapi, kalau kamu mau melakukannya, ya sudah," jawab Maxime.
"Ya udah. Aku packing sekalian deh!" cetus Megan yang kini beralih ke lemari yang satunya dan malah tertegun di sana.
"Ini, kamu nggak ada warna baju lain?? Kenapa hitam semua???" tanya Megan, sambil menatap tumpukan pakaian yang berwarna gelap dan suram itu.
"Aku memang suka warna hitam. Lagi pula, di pekerjaanku, tidak boleh memakai pakaian dengan warna yang terlalu mencolok. Bahaya."
"Emangnya, apa pekerjaan kamu??" tanya Megan.
"CEO, di perusahaan milik ayahku," jawab Maxime sembari tersenyum.
"Ck! Aku serius!" cetus Megan dengan alis yang sudah hampir menyatu.
"Iya. Akupun serius. Kamu bahkan akan jadi sekretarisku juga nanti kan??" ucap Maxime.
"Iya. Tapi sebelumnya, pekerjaan kamu itu apa?? Kenapa, kamu punya banyak senjata api?? Kamu polisi atau apa??" cecar Megan.
Maxime tersenyum miring. "Polisi?? Justru, mereka adalah salah satu musuh ku," jawab Maxime dan Megan pun seketika langsung menganga dengan biji mata yang bulat sempurna.
"Jangan-jangan, kamu itu penjahat ya?? Semacam perampok??" tanya Megan.
"Yaa... Apapun itu menurut kamu. Aku iyakan saja. Ya sudah. Aku mau siapkan perbekalan senjata untuk aku bawa besok," ucap Maxime yang lekas pergi dari kamar dan menyisakan kebingungan bersama Megan seorang.
"Aneh dan mencurigakan," ucap Megan yang kembali mengemasi pakaiannya lagi saja.
Keesokan harinya.
Megan sudah bersiap-siap, untuk berangkat bersama dengan pria yang bisa dikatakan adalah 'suaminya' ini. Mereka, kembali lagi pada hiruk pikuk ibu kota. Namun, ada yang membuatnya sedikit gusar.
Kalau kembali ke sana lagi, dia akan bertemu dengan mantan tunangannya itu kan?? Apa lagi, rumahnya dan perusahaan milik ayah dari Maxime itu begitu dekat dan seingatnya, ayahnya Freddy bekerja di sana juga. Bahkan Freddy pun sama.
"Aku, harus kerja di tempat Freddy dan ayahnya Freddy kerja??" tanya Megan kepada pria yang sedang mengemudi di sampingnya ini.
"Kata siapa??" tanya Maxime seraya tersenyum masam.
"Ya kan, setahuku itu, perusahaan yang kamu katakan tempat ayahnya Freddy bekerja. Freddy juga, belum lama ini kerja di sana. Benar kan??
"Hahh... Aku sudah mendepak mereka semua! Kamu tenang saja! Aku juga malas, bila harus berhadapan dengan orang-orang itu. Mereka itu hanya hama. Untuk apa dipertahankan. Iya kan??"
"Jadi, mereka sudah tidak bekerja di sana lagi??" tanya Megan.
"Iya. Mereka sudah tidak bekerja di sana. Lagi pula, perusahaan itu milik mendiang ayahku. Tapi mereka malah memanfaatkannya seenak mereka sendiri!" cetus Maxime.
"Jadi, aku tidak akan bertemu dia lagi kan?" tanya Megan pelan-pelan.
"Hahh... Tenang saja. Aku juga tidak akan mengizinkan dia untuk menemui kamu. Tidak semudah itu," ucap Maxime seraya melaju terus dengan mobilnya ini.
Setibanya di apartemen.
Maxime segera membawa koper-koper berisi pakaian itu dan meletakkannya di dekat tempat tidur.
"Ayo ganti," perintah Maxime.
"Hm? Ganti??" tanya Megan.
"Iya. Ganti. Kita berangkat ke kantor hari ini juga. Tapi kalau lelah. Ya sudah. Kamu tunggu saja di sini," ucap Maxime.
"Aku ikut! Akau nggak mau sendirian di sini," jawab Megan cepat.
"Ya sudah ganti. Apa perlu, aku gantikan pakaian kamu?" ucap Maxime sembari menaik-turunkan alisnya bersamaan.
"Hishh... Mulai. Aku bisa pakai sendiri kok!" cetus Megan yang segera membuka koper dan mengeluarkan pakaiannya dari dalam sana. Lalu kemudian mencari-cari kamar mandinya.
Setelah ketemu. Megan pun masuk dan mengganti pakaiannya di sana. Sementara Maxime sendiri, hanya membubuhkan jas saja, pada sweater rajut body fit-nya itu dan juga mengambil dua pistol, yang salah satunya ia taruh di dalam jasnya serta satunya lagi, di balik celana hitam panjangnya dan terikat rapi di atas mata kaki.
Setelah itu, sambil menunggu Megan keluar dari dalam kamar mandi. Maxime pun merapikan pakaian ke dalam lemari saja, satu persatu ia taruh hingga tidak ada yang tersisa satupun dan pas juga, dengan keluarnya Megan dari dalam kamar mandi.
Maxime nampak terpana, dengan wanita yang tubuhnya semakin berisi, semenjak berbadan dua ini dan yang pasti, sebuah rok di atas lutut berikut dengan kemeja yang berwarna putihnya itu, membuat darahnya seketika bergejolak dan ia hampir saja lupa, dengan tujuan awalnya tadi.
"You're so hot, Baby," ucap Maxime, yang sudah berdiri di belakang tubuh wanita yang sedang berdandan di depan kaca dan sambil menempelkan kedua tangannya, di pinggul kanan kiri Megan.
Megan pun menghela napas sembari memutar bola matanya ke atas.
Kumat. Tidak boleh kelihatan memakai pakaian yang sedikit ketat, pasti laki-laki ini pun langsung mendekat.
"Kita jadi ke kantor kan???" tegas Megan, kepada pria, yang sudah mulai mengendus-endus tengkuk lehernya ini.
"Iya. Tentu saja," jawab Maxime.
"Ya sudah kalau begitu awas! Jangan ganggu aku yang sedang berdandan ini! Kamu mau aku cepat selesai sekarang, atau malah selesai besok!!??" omel Megan dan secara otomatis, Maxime pun mundur beberapa langkah, dari wanita yang sensitifnya bukan main ini.
Dia menunggu, sambil menahan juga, keinginannya yang begitu menggebu-gebu. Tetapi sabar dulu. Ketika sudah berada di kantor nanti, baru sekretaris seksinya ini, akan segera ia eksekusi. Siapa suruh, berdandan dengan sangat berani begini.
"Sudah beres. Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Megan yang kini berjalan duluan. Sementara yang ada di belakangnya memperhatikan, sambil mengusap-usap janggut tipisnya itu. Sekaligus membayangkan juga, bagaimana saja caranya, untuk mengeksekusi santapan miliknya ini.