Maxime mendekatkan wajahnya dengan perlahan-lahan kepada Megan. Hingga wanita itu memunculkan kerutan di keningnya, yang lama kelamaan semakin kelihatan banyak.
Megan cepat-cepat menahan tubuh Maxime dengan kedua tangannya. Namun, Maxime malah menarik tangan Megan dan mendekapnya dengan erat.
"Hei! Kamu sedang apa! Kita ada di...,"
Mulut Megan dibungkam dengan menggunakan bibir oleh Maxime. Tidak boleh banyak protes. Siapa suruh, dia main-main dengan pria lain, di saat ia sedang tidak berada di rumah. Sekarang, terimalah hukuman darinya!
Sementara itu di jalan. Gerald yang belum pergi terlalu jauh. Nampak kembali ke kediaman Maxime lagi. Ada yang ketinggalan dan harus diambil. Tetapi, saat baru sampai di depan pintu, Gerald malah tertegun di sana, sambil mempertajam indra pendengarannya.
"Ahh... Kamu gila! Kenapa di sini?? Uhh... Sudah hentikan! Nanti ada yang melihat kita di sini!! Ah!!" seru Megan dengan lumayan kencang dan dengan diiringi dengan banyaknya suara desahan.
Gerald garuk-garuk kepala di depan pintu. Ia jadi bingung. Mau masuk ataupun tidak. Suaranya terdengar dekat dan jelas sekali dari pintu. Bagaimana, ia bisa mengambil barangnya yang tertinggal?? Mana barang yang akan ia ambil itu, adalah kunci tempat tinggalnya sekarang. Kalau tidak diambil, bagaimana ia bisa masuk??
"Ugh... Sudah berhenti aku bilang!" seru Megan lagi dan yang tengah mendengarkan diluar, malah berdenyut jantung serta bagian yang lainnya juga.
Gerald maju mundur. Ia jadi bingung. Mereka, tidak sedang melakukannya di dekat pintu kan?? Tadi, ia tinggalkan kunci miliknya di meja dekat sofa. Masuk dan lalu keluar saja mungkin, tanpa harus mengganggu dua sejoli, yang sedang asyik bergumul itu.
Gerald mendorong pelan, pintu yang tidak tertutup dengan rapat. Namun, saat pintunya sedikit terbuka, ia malah melihat pemandangan yang cukup membuatnya jadi gila.
Si wanita menelungkup di atas sofa dan si pria brengsekk satu itu, malah sedang asyik menghujam dari belakangnya. Gerald segera mundur dan menutup pintunya lagi, tapi tidak rapat. Ia menjauh sedikit dan bertolak pinggang di luar rumah.
"Ah gila sekali dia! Kenapa malah melakukan hal itu di sofa?? Pintunya juga malah tidak dikunci dulu!!" gerutu Gerald, yang bukannya senang mendapatkan tontonan gratis, tetapi malah kesal sendiri jadinya.
Tidak bisa pergi kemana-mana, sebelum kunci ia dapatkan. Jadi, Gerald memutuskan untuk menunggu, sampai si gila itu selesai dengan urusannya dulu.
Gerald duduk diam di depan rumah, dengan jarak dua meter dari sana. Tapi suara-suara itu bahkan masih terdengar juga. Gerald usap-usap wajahnya sendiri, yang kelihatan frustasi sekali. Harus menunggu lama dan yang ditunggu malah sedang asyik-asyikan berdua.
Dasar, bocah tengik itu!
Sementara dua sejoli, yang ada di dalam tadi, baru selesai dengan urusan mereka. Megan meringkuk lemas dan Maxime malah sedang duduk sambil tersenyum puas.
"Dasar gila! Aku bilang jangan di sini kan!" protes Megan, biarpun urusan sudah dituntaskan. Tapi tetap saja kesalnya masih tersisa.
"Makanya, lain kali, jangan macam-macam! Jangan mentang-mentang aku tidak ada di rumah. Kamu malah asyik-asyikan dengannya! Kamu lupa, kalau sudah punya suami huh??" ucap Maxime.
"Ya kan aku bilang juga nggak sengaja! Orang aku reflek kok tadi. Kecoaknya naik ke kaki. Gimana aku nggak panik coba??" ucap Megan bersungut-sungut.
"Ya harusnya. Kamu pukul saja binatang itu! Bukannya malah lompat ke pelukan orang!" ucap Maxime yang masih saja meneruskan perdebatan mereka. Tetapi tidak dengan Megan. Sudah malas. Di bahas bagaimana pun, ya tetap saja salah terus!
Sementara itu, orang yang sejak tadi sudah kelihatan stres sekali di luar sana, agaknya sudah merasakan keheningan. Dia mendekati pintu pelan-pelan dan menguping dulu dari sana. Setelah dirasa aman terkendali. Gagang pintu ditahan dan daun pintunya pun ia ketuk-ketuk dulu.
"Max!" panggil Gerald yang berbarengan dengan pintu yang sedang diketuk.
Megan melonjak bangun dan cepat-cepat mengambil pakaiannya lagi, lalu pergi ke arah dapur. Sementara Maxime sedang mengancingkan celananya lagi dan segera mendekati pintu dan menarik pintu, yang tidaklah tertutup rapat, hingga dahinya berkerut sekilas.
"Ada apa??" tanya Maxime dengan raut wajah yang sama sekali tidak menampakkan rasa bersalah.
"Kunciku ketinggalan di dalam!" cetus Gerald.
"Hm?? Kunci apa??" tanya Maxime.
"Kunci rumah. Ada di meja. Ambilkan cepat!" perintah Gerald.
Maxime kembali masuk lagi. Sementara Megan masih berada di dekat pintu dapur dan menguping dulu di sana.
Maxime raih kunci yang banyak itu dari atas meja dan membawanya keluar.
"Ini?" ucap Maxime sembari mengulurkan tangannya.
"Iya ini," ucap Gerald seraya mengambil kunci miliknya itu dan langsung pergi. Tapi malah kembali lagi ke hadapan Maxime, yang baru akan menutup pintunya lagi.
"Oh iya, tunggu dulu!" seru Gerald.
"Ada apa??" tanya Maxime.
"Lain kali. Kunci lah pintunya dulu! Dan lagi, apa salahnya kamu bawa dia ke kamar?? Kamu... Ah sudahlah! Aku pergi dulu!!" seru Gerald dan Megan yang tengah menguping, langsung menutupi wajahnya yang merah padam itu dengan pakaiannya. Lalu kemudian pergi ke kamar mandi.
Maxime tersenyum miring dan menunggu Gerald pergi dengan mobilnya dulu. Setelah pria itu sudah benar-benar pergi. Maxime baru menutup pintunya lagi dan juga mengunci pintu rumah.
Maxime berjalan ke arah dapur dan mengambil segelas air soda, lalu menepuknya. Ia bersandar di sisi meja sambil menikmati setiap tegukan, yang terasa menyegarkan itu.
Megan pun keluar dari dalam kamar mandi yang ada di dapur dan langsung mendekat kepada Maxime. Maxime sudah tersenyum saja sampai merentangkan satu tangannya. Ia kira, Megan ingin memeluknya. Tapi ternyata...
"Aarghhhhh!!" pekik Maxime yang reflek mengusap perut sixpack nya itu, yang sekarang berubah merah, setelah mendapatkan sentuhan penuh cinta dari Megan.
"Aduhhh sakit! Kenapa aku dicubit??" ringis Maxime yang masih mengusap-usap perut sixpack nya itu.
"Habisnya kamu duluan! Aku bilang juga jangan di sofa! Kenapa malah di sana! Tadi kita diintip kan??" cecar Megan.
"Tidak. Siapa yang mengintip memangnya??" tanya Maxime, yang malah berpura-pura seperti orang yang bodoh saja.
"Pakai tanya lagi! Pokoknya jangan aneh-aneh! Jangan begitu lagi!" seru Megan.
"Aku tidak janji," ucap Maxime dengan entengnya dan Megan hendak mencubit lagi. Tapi tangannya malah dicengkeram dan tubuhnya dibalikkan, lalu dipeluk oleh Maxime dari belakang.
"Lepas!" seru Megan.
"Kalau aku lepas. Nanti, kamu malah mencubit ku lagi," ucap Maxime yang bicara dari belakang kepala Megan.
"Nggak akan!" timpal Megan.
"Jangan bohong."
"Siapa yang bohong?? Aku serius! Ayo cepat lepaskan aku dulu!" pinta Megan dan benar saja kan, jemari megan sudah menjepit kulit perut Maxime lagi saja.
"Aduh aduhhh!! Sudah hentikan!!" seru Maxime.
"Makanya, kamu jangan aneh-aneh! Aku malu tahu! Aku sudah bilang berkali-kali, tapi tetap kamu tidak mau dengar!" gerutu Megan.
"Ya tidak apa-apalah. Lagi pula, yang sedang aku kerjai istri sendiri. Bukan istri orang. Cuma tadinya, calon istri sepupu sendiri saja," celetuk Maxime dan Megan malah jadi terdiam, setelah mendengar perkataannya itu.
Ingat lagi saja kan. Kepikiran. Karena memang, pria yang sedang ia pikirkan sekarang, ada pria yang ia taksir sejak lama. Sudah berhasil menarik perhatiannya dan bahkan hampir menikah. Tetapi malah digagalkan oleh laki-laki yang ini.
"Hei! Apa yang sedang kamu lamun kan??" tanya Maxime, yang tidak mau memberikan kesempatan bagi Megan, untuk memikirkan laki-laki lain selain dirinya saja.
"Tidak ada!" ketus Megan.
"Benarkah?? Bukannya, kamu sedang memikirkan pecundang itu??" ujar Maxime.
"Memikirkan juga bukan urusan kamu!" cetus Megan.
"Apa?? Bukan urusanku?? Apa kamu sudah lupa, apa yang kita lakukan di catatan sipil waktu itu??"
"Ya kan kita menikah karena aku sedang mengandung anak kamu saja kan??" ucap Megan dan Maxime sontak terdiam.
"Sudah ah! Aku mau ke kamar," ucap Megan yang hendak kabur tapi tangannya malah dicekal oleh Maxime.
"Kalau mau pergi, cium aku dulu," permintaan nyeleh yang tentu saja membuat Megan hampir saja menyatukan kedua alisnya itu.