Asti menatap jam dinding dengan mata penuh kemarahan. Jarum pendek menunjukkan pukul sebelas siang, namun Nathan belum juga pulang sejak kemarin. Dalam hatinya, ia tahu ke mana suaminya itu pergi—pasti ke kontrakan Juwita. Pikiran itu membuat darahnya mendidih. "Dasar wanita tidak tahu diri!" gumam Asti sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, tangannya mengepal erat. "Kalau memang dia berani menggoda suamiku, aku akan pastikan dia menyesal seumur hidup!" Asti meraih ponselnya dari meja dan mencoba menelepon Nathan untuk kesekian kalinya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Amarahnya semakin memuncak. Baginya, ini bukan hanya soal pernikahannya dengan Nathan, tetapi juga soal harga dirinya. "Aku yang memenangkan Nathan dulu! Aku yang dipilih