Bab 1
"Hah ...."
Helaan napas itu terdengar seperti kipas angin rusak di telinga Pak Aksa, sang CEO.
Dina tahu manusia kaku itu mendengarnya, karena bola mata robotnya yang diselimuti kacamata dengan bingkai tipis itu sedikit melirik ke arahnya. Ekspresi wajahnya datar, seolah dia sedang mencoba memahami fisika kuantum, padahal dia cuma duduk di sofa kulit hitam di ruang rapat pribadinya, menunggunya menandatangani kontrak pernikahan mereka.
Ruangan itu terasa dingin dengan AC 16°C, sunyi, dan terlalu banyak uang. Dina yakin, jika dia menjatuhkan remah roti di karpet wol tebal itu, Aksa akan memanggil tim forensik untuk menyelidiki kejahatannya.
Pulpen mewah di tangan Dina terasa licin oleh keringat dingin. Di hadapannya, terbentang dokumen setebal dua puluh halaman penuh font Times New Roman ukuran 12. Rasanya seperti membaca kitab suci tentang penderitaan yang ditulis oleh penulis yang tidak punya jiwa.
Di halaman pertama, ada tulisan tebal: PERJANJIAN PERKAWINAN SEMENTARA DENGAN KLAUSUL NON-NEGOSIASI.
"Nona Dina," kata Aksa, suaranya sedingin air yang sudah berjam-jam di kulkas. "Anda sudah menghabiskan empat puluh lima menit hanya untuk melihat-lihat. Apa ada yang tidak Anda mengerti? Semua sudah jelas."
Dina berusaha tersenyum, senyum yang terasa seperti tarikan otot yang menyakitkan. "Jelas, Pak. Saya hanya mencoba memahami kenapa di poin 14.C disebutkan bahwa saya tidak boleh mengonsumsi mi instan rasa kari ayam. Itu spesifik sekali, Pak. Apakah Bapak pernah trauma dengan aroma kari?"
Aksa membetulkan posisi kacamatanya, seolah dia baru saja mengoreksi ujian nasional Dina. "Itu adalah klausul kebersihan. Bau mi instan yang menempel di lingkungan kami dapat mengganggu estetika dan suasana kantor—"
"Lingkungan mana, Pak?" potong Dina. "Di vila mewah Anda? Saya kan cuma akan tinggal di bangunan terpisah. Atau Anda khawatir saya akan merusak aura uang triliunan Anda dengan aroma bumbu sasetan?"
'Tarik napas, Dina. Jangan sampai utang keluarga 5 Miliar ini gagal lunas hanya karena kamu mendebatkan mi instan. Ingatlah harga dirimu yang sebentar lagi akan mati. Kebebasan itu kini hanya sehelai debu yang terbawa angin janji palsu. Ini adalah peti mati emas yang harus kamu terima dengan senyuman sarkastik terbaikmu.'
Kali ini, Dina menghela napas pelan, demi menjaga kesopanan, lalu menunjuk pasal lain dengan pulpen. "Pasal 8.A: Saya diwajibkan menghadiri minimal dua kali acara sosial per bulan, dengan busana yang disiapkan oleh stylist Anda. Apakah ini pernikahan, Pak, atau pertunjukan fashion show yang diiringi derita batin?"
"Ini adalah kemitraan bisnis," jawab Aksa, sama sekali tidak terhibur. "Perkawinan ini adalah formalitas untuk menstabilkan saham perusahaan yang sempat terganggu isu moralitas, dan Anda adalah mitra saya dalam pencitraan. Anda harus terlihat ... pantas dan tidak mencolok."
"Baik, pantas. Jangan bilang style saya seperti tukang pijat," kata Dina, memiringkan kepala, lalu menatap roknya yang bermotif bunga-bunga. Namun, Dina segera melupakan perkataannya. "Jadi, saya tidak boleh mengumpat di depan umum, saya harus tersenyum palsu seolah saya baru saja memenangkan lotre, dan saya harus pura-pura mencintai Anda di hadapan media?"
"Itu adalah ringkasan yang akurat," ujar Aksa.
"Dan sebagai imbalannya, Anda melunasi utang keluarga saya. Lima miliar rupiah. Dan memberikan saya uang saku bulanan yang besarnya ... bahkan tidak akan saya habiskan untuk makan mi instan sekalipun," gumam Dina.
"Uang saku itu bukan untuk mi instan, Nona Dina. Itu untuk kebutuhan pribadi Anda. Dan tolong, jangan panggil saya 'Pak Aksa' setelah kontrak ini ditandatangani. Panggil saya Suami," katanya, menekankan kata terakhir tanpa emosi sedikit pun.
Dina menahan diri untuk tidak tertawa histeris. "Suami? Bapak bercanda? Bapak ini lebih mirip diktator yang baru memenangkan pemilu daripada suami."
Aksa mencondongkan tubuh sedikit. Dina bisa mencium aroma cologne mahal berbau kayu dan mint. Ini pertama kalinya Aksa menunjukkan gerakan yang tidak kaku di hadapannya.
"Saya adalah penyelamat Anda. Dan Anda adalah boneka yang saya bayar untuk menjalankan peran. Ini bukan cinta, Nona Dina. Ini adalah transaksi. Jadi, jangan berlebihan dalam peran Anda, dan jangan pernah melupakan batasan kita," tegasnya.
'Laki-laki ini adalah definisi sempurna dari kekakuan dan keserakahan. Tapi matanya ... matanya terlalu kosong untuk ukuran orang yang memiliki segalanya,' batin Dina melirik Aksa dari ujung matanya.
Di baliknya, Dina seolah melihat cermin dari kesepiannya sendiri, hanya saja kesepian pria itu terbuat dari berlian, sementara kesepiannya terbuat dari kepingan piring pecah. 'Aku tidak boleh jatuh pada rasa kasihan. Aku hanya harus bertahan.'
Dina meraih pulpen, mencoba menstabilkan tangannya yang gemetar. Dia menatap lagi wajah Aksa. Sempurna, mulus, dan tanpa jerawat, pasti Tuhan sedang senang saat membuatnya.
"Baiklah, Suami," kata Dina, dengan nada yang dibuat semanis mungkin, yang terdengar sangat menjijikkan di telinganya sendiri. "Saya punya satu permintaan terakhir sebelum saya menandatangani jiwa saya kepada Anda."
Aksa menyandarkan punggungnya, menunggu dengan sabar. "Apa itu?"
"Setelah kontrak ini selesai, setelah satu tahun, Anda harus menjamin saya tidak akan pernah melihat wajah Anda, mobil Anda, atau bahkan iklan shampo Anda di TV lagi," pinta Dina. "Kita akan menjadi orang asing yang paling sukses melupakan satu sama lain."
Aksa tersenyum tipis. Senyumnya seperti retakan di patung marmer itu. Senyum yang tidak ikhlas.
"Tentu, Nona Dina. Setelah ini selesai, Anda boleh menganggap saya sebagai bayangan hitam yang tidak pernah ada dalam hidup Anda," janjinya.
Dina mengangguk. Cukup. Dia tidak tahan lagi dengan permainan ini.
Dia mengambil pulpen dan menekan kuat-kuat di atas materai. Tanda tangannya terlihat buruk, karena terburu-buru, seperti jejak kaki ceker ayam di lantai yang baru dipel.
"Selesai," kata Dina, melempar pulpen itu kembali ke meja.
Aksa mengambil dokumen itu, memeriksanya sebentar dengan tatapan tajam, lalu menyerahkannya pada asistennya yang sedari tadi diam seperti patung di sudut ruangan.
"Selamat, Nona Dina. Sekarang Anda adalah Nyonya Aksa. Saya harap Anda menjaga kesepakatan ini, dan jangan merusaknya dengan perkara yang tidak perlu."
"Tentu saja, Suami," kata Dina, menyeringai. "Saya ini profesional. Lalu, apa yang harus saya lakukan sekarang? Berlutut dan mencium sepatu kulit buaya Anda? Atau saya harus mulai latihan senyum palsu saya?"
Aksa berdiri. Tingginya membuat Dina harus mendongak. Dia tampak seperti dewa uang yang kejam.
"Tidak perlu drama," katanya. "Sekarang, kita harus pergi ke rumah baru Anda. Kita harus mulai menyesuaikan diri."
"Rumah baru? Bukannya saya tinggal di vila Anda?"
"Vila utama adalah properti pribadi. Anda akan tinggal di penthouse yang saya sediakan, di gedung terpisah. Itu lebih nyaman. Dan lebih aman dari pandangan media," jelasnya.
Dina mengambil tas jinjingnya. Dia merasa lelah sekali, padahal dia hanya duduk dan bertengkar.
"Baiklah," katanya. "Tapi sebelum itu, bolehkah saya minta izin? Saya harus menelepon seseorang dan memberitahu bahwa saya baru saja menjadi istri kontrak seorang diktator. Dan saya butuh mi instan kari ayam segera, untuk merayakan hilangnya kebebasan saya."
Aksa menghela napas panjang. Itu adalah suara kekalahan. Kipas angin rusak itu ternyata Dina.
"Asisten saya akan menyiapkan koper Anda. Mobil sudah menunggu. Dan mi instan ... anggap saja itu sebagai pengecualian pertama. Baiklah, hanya hari ini, di penthouse Anda. Saya tidak mau ada jejak mi instan di Villa," katanya, membalikkan badan, berjalan menuju pintu keluar tanpa menunggunya.
Dina menyambar tasnya dan bergegas mengikutinya. Dia tahu. Babak baru dalam hidupnya sudah dimulai. Babak yang penuh dengan uang, kebohongan, dan larangan mi instan.
'Terkutuklah lima miliar kesialan ini. Tapi aku sudah menandatanganinya. Sabar, Dina ... hanya satu tahun. Aku harus bertahan satu tahun di samping patung marmer dingin ini. Aku harus ingat, ini semua hanyalah akting. Setelah ini, aku bebas.'