Di dalam mobil, suara mesin mengaum pelan, tapi udara di antara mereka penuh ketegangan. Sadewa memegang setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapannya lurus ke depan, seakan mencoba menahan amarah yang mendidih. Dewi duduk diam di kursi penumpang, jemarinya saling menggenggam. Nafasnya masih belum teratur, bayangan wajah Rendi yang penuh amarah tadi masih jelas terpatri di kepalanya. “Aku sudah bilang…” suara Sadewa memecah hening, nadanya dingin namun bergetar, “…Rendi itu bahaya. Mulai sekarang kamu nggak boleh keluar sendirian, bahkan sekadar untuk belanja.” Dewi menunduk, mencoba menenangkan hatinya. “Aku nggak nyangka dia bisa datang ke sana. Aku kira setelah keluar dari penjara, dia bakal—” “Bakal apa?” potong Sadewa cepat, matanya sekilas melirik Dewi. “Orang se

