Rendi mendesah panjang. Helaan nafasnya berat, seperti menyeret semua penyesalan yang selama ini ia pendam. Ia menatap kosong ke arah dinding kamar kos yang pengap itu, sebelum akhirnya menggeleng pelan dan berbisik lirih, “Gue capek bohong, Ki.” Fikri menoleh, keningnya berkerut. “Bohong soal apa?” “Bohong sama Dewi... dan sama gue sendiri.” Fikri tidak menyela. Hanya duduk sedikit lebih dekat, mendengarkan dengan mata yang tak lepas dari wajah sahabatnya. “Sejak awal menikah, aku dan Dewi sepakat... uang gajiku ditabung buat beli atau bangun rumah. Dan gaji Dewi yang dipakai buat operasional rumah tangga, termasuk rokokku. Tapi kenyataannya, aku bohong, Ki.” Rendi menunduk, suaranya mulai bergetar. “Aku justru menabung untuk DP rumah atas nama mbak Roro. Dan setelah DP, semua gajiku

