Selama aku masak, Mas Kian duduk di pantri sembari terus menatapku. Senyumnya juga terus terbit, tetapi sesekali dia sembunyikan lewat tangannya yang setengah menutup mulut. Meski ditinggal pergi, ternyata kulkas tetap ada isinya. Kulihat ada telur, sayur, dan sisa daging dua potong yang masih bagus. Mas Kian bilang, semua itu Bu Siti yang belanja setelah tahu dia datang. Dia hanya sempat masak sekali, selebihnya selalu makan mie instan. “Maaas! Jangan dilihatin aku terus, ih!” akhirnya, aku protes juga. Masalahnya, cara Mas Kian menatapku benar-benar membuatku salah tingkah. Dia benar-benar mengekoriku dengan matanya, bahkan saat aku sekadar memilih bumbu dapur. “Mas! Ya ampun—” “Kenapa enggak mau dilihatin?” “Ini nanti masakanku enggak matang-matang!” “Emang kalau aku lihatin kamu,