Akhirnya, aku benar-benar jatuh sakit. Aku demam tinggi, nyaris empat puluh derajat. Aku sudah tidak bisa pura-pura kuat lagi. Kali ini aku betul-betul tumbang. Itu berlangsung beberapa jam saja sejak aku pulang dari hotel. Ayah sudah menawariku untuk rawat inap di rumah sakit, tetapi aku menolak. Aku merasa hanya perlu istirahat yang banyak dan minum obat. Aku yakin, maksimal dua hari sudah enakan. Kalau bisa, malah sehari sudah cukup. “Diminum obatnya, Fi,” ucap Bunda sembari menyerahkan beberapa butir obat serta air putih satu gelas. Beberapa detik yang lalu, aku baru saja menghabiskan buburku. Meski rasanya pahit, aku memaksakan diri untuk tetap menghabiskannya. “Makasih, Bun.” “Ya.” “Bunda udah sehat?” tanyaku kemudian. Suaraku lemah, tak kuat keras-keras. “Udah. Bunda udah enak