Hari ini adalah kencan kedua. Sebenarnya aku ingin menunda, tetapi dengan tak tahu dirinya Mas Kian malah langsung datang ke rumah tanpa bilang padaku lebih dulu. Sudah pasti, dia langsung disambut baik oleh Ayah dan Bunda. Itu membuatku jadi tidak bisa berkutik. Jika mengenyampingkan perasaanku, melihat Ayah dan Bunda tersenyum lebar— karena kedatangan Mas Kian, itu membuatku senang. Mas Kian terlihat seperti keluarga dekat yang sudah lama tidak berkunjung. Namun, jika perasaanku sudah dilibatkan, aku mulai kesal. Kesal karena rasa-rasanya kebahagiaan mereka harus mengorbankan kebahagiaanku. Kenapa kusebut mengorbankan? Karena di sini hanya dirikulah yang tidak setuju dengan adanya perjodohan ini. Di sini benar-benar hanya aku yang tidak ‘bahagia’. “Nafi!!!” “Hah?” aku tersentak keti