Kaizen menatap Sea dengan dingin, penuh penghinaan dan ketidakpedulian. Rasa takut yang terlihat jelas di wajah Sea tidak menggugah sedikitpun belas kasihan di hatinya. Sebaliknya, bibirnya melengkung ke dalam senyum tipis, kejam, seolah menikmati penderitaan wanita yang berlutut di depannya.
Seorang perawat yang datang hendak memberikan s**u hangat terjingkat kaget melihat pasien ibu hamil berlutut di lantai yang dingin.
“Nyonya … astaga! Apa yang Anda lakukan? Kenapa bersimpuh di lantai? Lantainya dingin, Nyonya.”
Buru-buru meletakkan gelas s**u, perawat membantu Sea berdiri. Anderson juga datang setelah mendengar sedikit keributan di kamar Sea, takut wanita itu mungkin histeris lagi.
“Tuan?”
Dia tersentak kaget mendapati bosnya yang arogan dan mendominasi itu ada di sana. Pasti pria itu datang untuk menyudutkan dan mengintimidasi Sea.
Menarik napas panjang, Anderson mendekati Kaizen yang belum melepaskan tatapan tajamnya pada Sea. “Tuan, sepertinya ada yang salah,” bisiknya lirih.
“Dia tidak tahu kalau dia dilelang.”
Kaizen menoleh pada Anderson, tatapannya penuh selidik, “Itu masalahku?”
“Dokter berkata kalau mentalnya terguncang. Dia terlalu banyak tekanan dan kekurangan darah. Dia benar-benar tidak menjual diri. Tuan, saya sudah mengkonfirmasinya.”
Kaizen diam cukup lama. Pandangannya beralih pada Sea lagi. Entah apa yang dia pikirkan saat itu. Tiba-tiba saja Kaizen menyuruh Anderson menenangkan Sea dan menemuinya di luar.
"Sea, tenanglah! Kami di sini untuk membantumu,” ucap Anderson lembut.
“Tuan, saya benar-benar tidak tahu, sungguh. Saya dijebak … saya bersumpah!”
-
-
Kepulan asap rokok mengepul ke udara, membaur dengan senja yang perlahan memudar. Kaizen berdiri di taman terbuka, wajahnya diliputi ketegangan. Tak ada ekspresi selain rasa frustasi yang memuncak dalam diam.
Anderson mendekat beberapa menit setelah berhasil menenangkan Sea, namun atmosfer antara mereka tetap berat, seperti udara yang dipenuhi oleh asap rokok yang belum terurai.
"Jangan beri aku omong kosong tanpa bukti!"
Kaizen memulai percakapan dengan nada dingin dan mendesak, emosinya tak terkontrol. Hari ini moodnya benar-benar buruk. Niat awalnya hanya membeli seorang wanita untuk bersenang-senang, tapi sekarang, situasinya jauh melampaui kendalinya.
Anderson tetap tenang di bawah tekanan yang begitu kuat. Dia menyerahkan ponselnya kepada Kaizen.
"Ada rekaman CCTV saat dia dibawa ke Bar Cosmo. Dia sudah tidak sadarkan diri saat itu. Untuk lebih detail, saya masih menunggu informasi dari Madam Gee."
Anderson tidak berbohong, rekaman itu membuktikannya. Pandangan Kaizen tetap tajam, tapi ada sesuatu di dalamnya yang sulit dijabarkan. Kebencian — mungkin, atau hanya rasa jengkel karena situasinya tidak berjalan sesuai rencana. Dia menghisap rokoknya dengan dalam, menghembuskan asap tebal ke udara yang semakin pekat.
Setelah diam beberapa saat, Kaizen berbicara dengan nada yang tak kalah dingin, "Suruh Victor menekan Madam Gee. Aku mau jawabannya besok. Satu miliarku—tidak boleh sia-sia. Kau paham, An?"
-
-
"Benih itu ... aku tanggung jawab dan menikahimu!” Kaizen berbicara tegas pada Sea, tanpa memperlihatkan kelembutan sedikit pun.
Padahal sebelum ini Anderson sudah memperingatkan bosnya untuk bicara dengan lembut pada Sea. Susah payah pria itu membuat Sea tenang. Namun, Kaizen tetap Kaizen—keras kepala, tegas, dan tidak peduli dengan perasaan orang lain.
Sea menatap Kaizen dengan pandangan nanar. Dia tidak terlihat tertarik dengan tawaran pernikahan yang diajukan Kaizen, meskipun pria itu adalah ayah dari anak yang kini tumbuh dalam rahimnya.
Menikah dengan pria yang sudah merebut paksa kesuciannya? Itu bukan solusi, itu hanya memperburuk situasi.
Melihat Sea yang tampak enggan, Anderson mencoba membujuk. "Nona, Anda tidak perlu khawatir. Tuan akan merawat Anda dan bayi Anda dengan baik.”
Tapi Sea menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu. Tolong sampaikan padanya, saya akan mengurus anak ini sendiri.”
Kaizen adalah pria yang tidak suka ditolak. Mendengar ini tentu membuat emosinya tersulut. Tangan Kaizen langsung mengepal, tatapannya menjadi tajam.
"Kalau begitu, gugurkan sekarang," katanya, suaranya rendah tapi penuh ancaman.
Kedua mata Sea membola. "Anak ini milikku!” Serunya tegas menolak.
“Dia tidak bersalah. Saya tidak mau menggugurkannya. Saya tidak minta apa pun, jadi tolong, biarkan saya dan anak ini pergi. Anggap saja tidak pernah terjadi apapun diantara kita.”
"Ingin pergi dengan membawa benihku? Jangan harap!" lantang Kaizen mendominasi suasana, membuat Sea merasa semakin kecil di hadapannya.
"Kau pikir, kau bisa merawatnya sendiri?"
Sea menggigit bibirnya, berusaha tegar meski gemetar. "Saya yakin bisa," jawabnya, tanpa berani menatap Kaizen.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan keturunanku hidup tanpa jaminan. Kau hanya punya dua pilihan: menikah denganku atau menggugurkannya sekarang juga!"
Tenggorokan Sea mendadak cekat, hatinya bimbang. Apa yang diinginkan pria itu sebenarnya. Dia sudah menidurinya, dan sekarang … ingin menikah dengannya sebagai bentuk tanggung jawab.
"Saya punya kekasih. Saya akan menikah bulan depan. Kami ... kami akan merawat anak ini bersama."
"Punya kekasih dan akan menikah." Mata Kaizen menjadi gelap, tatapannya semakin intens.
"Bagus! Suruh kekasihmu kemari, akan kuberikan kompensasi lima miliar, cukup bukan?"
Kata-kata itu menampar Sea. Hatinya terasa perih, harga dirinya diinjak-injak oleh pria ini.
"Dia tidak akan menerimanya!"
Kaizen mendekat, suara rendahnya penuh ancaman. "Benarkah? Kalau begitu, aku ingin mendengarnya sendiri, dia menolak kompensasi dari ku dan memilih membesarkan benih pria lain di perut calon istrinya."
Sea terpojok, tubuhnya menegang. Niatnya mencari alasan dan menjauh dari Kaizen malah semakin membuat dirinya terperangkap dalam permainan kekuasaan yang kejam.
“Kenapa diam? Haruskah aku yang menghubungi pria itu?” Kaizen mendesak, tatapan penuh tekanan.
“Tidak! Biar ... biar saya saja," Sea menjawab, suaranya hampir berbisik, mencoba menyelamatkan diri dari situasi yang semakin menghimpit.
-
-
Di rumah David. Kehebohan langsung tercipta begitu Sharon mendengar Sea telah hamil dan putranya ngotot ingin tetap menikahi wanita itu.
“Tidak! Mama tidak mau!” Sharon berteriak menentang keinginan putranya yang ngotot ingin menikahi Sea, padahal wanita itu sedang mengandung anak pria lain.
Saat Sea menghubungi David beberapa menit lalu, dia hanya mengatakan tentang kehamilannya dan menyuruh kekasihnya datang. Sea tidak mengatakan apapun soal Kaizen juga tentang uang kompensasi.
Namun tidak disangka, percakapan mereka didengar oleh Sharon, ibu David.
“Ma, ayolah. Aku mencintainya, dan dia mencintaiku. Itu hanya janin kecil," ujar David dengan suara lebih lembut, berusaha meredakan ketegangan.
"Sekali mama bilang tidak, itu mutlak, David!" Sharon menatap putranya tegas.
"Kemarin mama berlapang d**a menerima kenyataan gadis itu dinodai, tapi sekarang... hamil? Yang benar saja! Wajah keluarga Horton kita taruh di mana?”
David menatap ibunya dengan penuh harap, tetapi wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda melunak.
“Keluarga Hartono sudah di ambang batas. Sea bisa memberikan mahar besar, bahkan menyiapkan rumah untuk kami," ucap David, mencoba membujuk.
Sharon menulikan telinganya, tidak peduli dengan rengekan David. Hanya modal mahar dan rumah, lalu bisa seenaknya tidur dengan pria lain dan hamil? Tidak, Sharon menolak.
"Memang apa yang bisa gadis miskin itu berikan? Nama keluarga saja tidak punya!" Ayah David tiba-tiba datang dan ikut berkomentar.
David menyeringai, seakan sudah mempersiapkan jawabannya dengan matang. "Sea punya warisan dari ibunya. Nilainya cukup besar, Pa. Itu cukup untuk menyokong perusahaan. Kita bisa berinvestasi pada Delta dan meraup untung besar."
Kedua orang tuanya saling melempar tatapan. Keheningan yang memanjang terasa semakin berat, sampai akhirnya David melanjutkan dengan nada lebih lembut, namun penuh ketegasan.
“Ini hanya janin berusia enam minggu. Masih bisa digugurkan, aku akan membujuknya. Dia pasti akan menurut, kalian tenang saja."
-