Satu jam penuh Kaizen bergulat bersama Roana - sekretarisnya, mendengarkan William bicara rancangan kinerja YG ke depannya. Tapi pikiran Kaizen sudah tidak fokus sejak tadi, perasaannya juga mendadak tidak nyaman.
Entah apa penyebabnya. Tapi satu hal yang Kaizen akui, dia mulai memikirkan wanita satu miliar malam itu.
Sebenarnya, kemana dia pergi. Dan kenapa wanita itu belum mencarinya?
Oh, sialan! Kaizen benar-benar dicampakan ternyata!
Memikirkan ini, perutnya mendadak bergejolak. Seperti ada gelayar aneh yang berputar disana dan membuatnya … ingin muntah.
Dari keempat orang yang ada di ruangan, William yang pertama kali menyadari wajah Kaizen memucat. Dia segera berhenti bicara lalu menuangkan air hangat.
"Anda baik-baik saja?" tanyanya cemas.
Alih-alih menjawab atau menerima gelas dari William, Kaizen justru reflek menutup hidung dengan tangannya. Aroma parfum di tubuh William menguar tajam saat dia mendekat, dan entah kenapa Kaizen jadi makin mual.
"Apa yang kau pakai?" tanyanya.
“Anda... membicarakan apa, Tuan?" William bingung.
Kaizen menyipitkan mata. Semakin lama, hidungnya terasa makin sensitif. Kali ini tidak hanya parfum William, tapi juga parfum sekretarisnya yang tercium tajam, membuat rasa mualnya semakin parah.
Tidak tahan lagi, dia buru-buru bangkit berdiri dan pergi ke toilet, memuntahkan semua isi perutnya. Sambil menggenggam wastafel, dia mencoba mengatur napas, tapi rasa mualnya belum juga berkurang.
“Tuan ….” Roana menyodorkan sapu tangan begitu melihat Kaizen keluar.
Kaizen menerimanya tanpa bicara, mengelap mulutnya perlahan. “Istirahat setengah jam. Aku ingin mencari udara segar!”
Perintah Kaizen itu mutlak, tidak bisa dibantah atau ditolak. Sebagai sekretaris, Roana hanya mengangguk, lalu menyampaikan ini pada William dan beberapa anggota yang lain.
Kaizen hendak mengistirahatkan isi pikirannya. Mungkin dia terlalu lelah setelah beberapa hari ini begadang. Setelah meneguk air hangat, perutnya terasa lebih baik, tapi kepalanya belum. Rasa pusing masih menyiksanya.
Belum beres mengurus masalahnya, ponselnya berdering.
“Tuan … wanita itu hamil.” Suara Anderson di balik telepon membuat Kaizen menyipitkan mata.
Dia menggosok pelipisnya, kepalanya berdenyut kuat. "Kenapa repot melapor, panggil saja suaminya!" tegasnya.
"Tidak ada, Tuan. Tidak ada suami. Dan… dia histeris sekarang."
Kaizen mendesah, rasa pusing di kepalanya semakin menjadi. Bagaimana masalah pribadi seperti ini sampai menjadi tanggung jawabnya?
"Bukan urusanku!" tegasnya, menolak terlibat lebih jauh dalam urusan yang menurutnya tidak penting. Dia sudah punya cukup banyak hal yang harus diurus tanpa perlu menambahkan drama staf yang bahkan tidak dikenalnya.
Hati Anderson menolak untuk acuh. Dia yakin nama dan wajah Sea cukup familiar. Dan hal ini jelas ada hubungannya dengan Kaizen.
"Saya sudah mengirim data diri. Tolong Anda periksa. Jika setelah ini Anda tetap tidak peduli, saya akan langsung meninggalkan dia di sini dan kembali ke YG!"
Kaizen memijat pelipisnya, rasa mual dan pusingnya mendadak komplikasi. Dia berusaha mengabaikan perkataan Anderson dan kembali sibuk.
Sialnya, hatinya dan pikirannya cukup berisik, hingga tanpa sadar, data diri Sea sudah dibaca olehnya. Dia juga sudah melihat fotonya.
-
-
Sea akhirnya dipindahkan ke kamar rawat inap yang lebih nyaman. Dokter menyarankan perawatan lebih lanjut. Kondisi Sea terlalu lemah, dia juga mengalami Anemia. Jika tidak dirawat, ini akan berbahaya untuk janin. Anderson sudah mengatur semuanya, termasuk biaya rumah sakit.
Di kamar VIP, Sea terlihat termenung, memandangi langit-langit kamar rumah sakit yang putih, kosong dan dingin. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, terutama benih si berengsek yang tumbuh dalam tubuhnya.
Saat tangannya menyentuh perut datarnya, perasaan hampa dan bersalah menyergap hatinya. Ia merasa benar-benar sendirian, tanpa tempat berlari. Tak ada jalan keluar yang tampak jelas.
"Bagaimana kalau aku menggugurkannya?" pikirnya sejenak.
“Tanpa anak ini, hidupku bisa kembali normal. Aku bisa menikah dengan David dan menjalani hidupku, benar kan?”
Sea termenung, isi kepala dan hati kecilnya bentrok.
Tidak. Tidak boleh. Anak ini tidak bersalah. Meskipun ia lahir dari kekerasan yang menyakitkan, Sea tahu dia tidak bisa dengan mudah menghapus keberadaannya.
Bagaimanapun juga, janin dalam perut adalah darah dan dagingnya sendiri.
"Tuhan..." bisiknya dengan suara serak, "Kenapa harus begini?" Sea memejamkan mata, hatinya rapuh, pikirannya runyam.
Belum selesai menenangkan diri, suara pintu yang terbuka tanpa ketukan mengalihkan perhatian Sea. Kaizen masuk ke dalam, wajahnya dingin dan penuh kekuasaan.
Pria itu berjalan tanpa suara mendekati tempat tidur Sea, pandangannya tajam dan menusuk, seolah tak ada ruang untuk perasaan di dalam hatinya.
Dia … wanita satu miliar malam itu.
Sea membuka mulut hendak bertanya, tapi Kaizen lebih dulu bicara.
"Jadi seperti ini caramu menjeratku ... menggunakan benih dalam rahimmu?" Matanya tajam, ucapannya pun juga tajam.
Sea tidak mengerti perkataan pria itu. "A-apa maksud Anda? Anda salah kamar?"
Kaizen mengernyit. Dia yakin Sea sadar malam itu, wanita itu pasti tahu siapa yang menidurinya. Bodoh kalau dia masih terus bermain sandiwara.
Kaizen mengambil napas dalam, sebelum bicara, "Kau ... mau bermain kucing-kucingan?"
Sea tersentak, suara ini ... nada bicara ini. Adalah nada yang sama dengan yang dia dengar malam itu. Memori malam menyakitkan itu berputar cepat di kepala. Sea tidak bisa ingat wajah pria yang telah menodainya, tapi dia ingat, pria itu punya tato di pundak yang menjalar sampai punggung tangan.
Sea menoleh untuk memastikan pria yang berdiri di depannya. Meski saat itu Kaizen memakai kemeja dan jas, tapi Sea bisa melihat tato di punggung tangannya. Benar, Kaizen adalah pria itu!
Lelaki b******n yang sudah menidurinya.
Mata Sea melotot lebar, bulu kuduknya meremang. Rasa takut menjalar dengan hebat. Bagaimana pria itu bisa tau Sea ada di sana? Bagaimana dia bisa menemukannya?
"Jadi... sudah ingat atau masih mau berpura-pura?" Kaizen bertanya dengan nada dingin, menusuk seperti belati yang siap menancap kapan saja.
Sea tersentak. "K-Kau... apa yang kau inginkan dariku?" Suaranya terdengar lemah, nyaris hilang ditelan keheningan ruangan.
Kaizen mendekat, lalu berhenti di depan Sea. Menatapnya dari atas, seperti seorang raja yang memandang budaknya. Wanita ini seharusnya tahu konsekuensi dari menjual diri. Tapi malah membiarkan benih-benih miliknya tumbuh subur. Lalu sekarang, dia melontarkan pertanyaan konyol yang seharusnya Kaizen berikan.
Bukankah ini terdengar lucu? Kazien menyerngit kesal.
Namun Sea juga tidak sepenuhnya salah. Dia belum tahu kalau Pamela menjualnya dan Kaizen membelinya seharga satu miliar. Saat ini, dia hanya berpikir kalau dia dijebak dengan Kaizen … atau mungkin, seseorang telah membayar lelaki itu.
Entahlah.
Melihat ekspresi Kaizen semakin suram, Sea menjatuhkan diri, berlutut di bawah kaki Kaizen.
“Tuan, saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Kita … kita mungkin dijebak.”
Sea tidak bisa berpikir apapun. Kejadian hari ini terlalu bertubi-tubi memberikan hantaman keras pada pikirannya. Seperti badai yang datang tiba-tiba, semua terasa tak terkendali. Satu hal yang terus berputar di kepalanya adalah menghindari pria kejam itu.
Tubuhnya gemetar hanya dengan mengingat tatapan tajam dan ucapannya yang dingin. Pria itu bukan hanya ancaman bagi fisiknya, tetapi juga menghantui setiap sudut pikirannya, membuatnya merasa semakin kecil dan tak berdaya.
"Karena itu … tolong lepaskan saya, tinggalkan saya, tolong..." Air matanya mulai mengalir deras di pipi, memegang erat lantai dengan kedua tangannya, memohon dengan sisa kekuatannya.