Rencana Gagal

718 Kata
Pamela dan Natasya panik. Rencana mereka awalnya hanya ingin membatalkan pernikahan David dan Sea, tapi kini malah menjadi runyam sebab Sea ingin melakukan visum. Bagaimana jika dia terbukti dan David memaafkannya? Tidak bisa, Pamela tidak ingin rencananya gagal. “Nak, berhentilah. Biarpun terbukti begitu, kamu sudah tidak suci lagi. Kita tidak bisa menyinggung keluarga Horton,” kata Pamela lembut. David, yang sejak tadi mengamati gelagat Sea, mulai merasa bahwa ucapan Sea mungkin ada benarnya. Dia yakin jika Sea tidak mungkin selingkuh. “Kamu tahu siapa yang menjebakmu?” tanyanya. “Belum, tapi aku berjanji akan mencarinya. Aku akan membuktikan kalau aku tidak bersalah,” jawab Sea sambil mengusap air mata di pipinya. David merenung sejenak. Tentu berat menerima kekasihnya yang sudah tidak suci lagi, hanya saja ... ada beban lain jika dia melepaskannya. Dia menghela napas panjang, lalu berkata lembut, “Baiklah. Aku percaya padamu, Sayang.” Senyum Sea merekah, dia berdiri untuk memeluk David. “Terima kasih, terima kasih sudah percaya padaku. Aku akan membuktikannya, Sayang. Aku tidak berselingkuh, sungguh." "Iya, aku tahu. Kamu tidak mungkin mengkhianati aku." Pamela dan Natasya geram. Tangan mereka mengepal, bahkan Natasya langsung pergi dan masuk ke kamar. "Ibu! Aku tidak terima! Aku tidak rela dia mendapatkan pria baik dan kaya seperti David. Dia tidak layak menjadi bagian keluarga Horton!" protesnya begitu Pamela menerobos masuk dan langsung menutup pintu kamar. Pamela sangat menyayangi putrinya, tentu saja dia tidak bisa melihat anaknya menangis hanya karena seorang anak tiri. "Ibu juga tidak mau! Jangan khawatir, keluarga Hartanto tidak akan menerima menantu yang sudah ternoda. Mereka pasti akan menolak." “Ibu akan membuatnya ditolak!” - - Langit biru cerah menyelimuti gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawahnya. Milan memang selalu punya pesonanya sendiri, namun hari ini pemandangan itu terasa datar di mata Kaizen Lycus. Dia masih menghisap rokoknya dalam diam, menikmati udara dingin kota Milan yang tak sepenuhnya bisa menenangkan pikirannya. Anderson Hitler, pria berusia 35 tahun dengan penampilan rapi dan sikap tenang, mengamati dari kejauhan. Sepuluh tahun lebih bekerja sebagai asisten pribadi Kaizen membuatnya paham banyak hal, termasuk kebiasaan merokok di sela jam kerja saat pikiran pria itu suntuk. Dengan nada tenang, Anderson membuka suara, "Masih memikirkan wanita itu?" Kaizen tidak langsung menjawab. Asap rokok yang dihembuskannya melayang perlahan di udara, seakan membentuk tirai tak kasat mata yang membatasi mereka dalam suasana yang terasa berat. Dia tahu persis ke mana arah pembicaraan asistennya, tetapi memilih untuk tidak menanggapi. Bukannya menjawab, Kaizen melontarkan pertanyaan dingin untuk mengalihkan perhatian. "YG bagaimana? Akuisisi clear?" tanyanya, nada suaranya datar, berusaha menggeser topik pembicaraan ke hal yang lebih profesional. Anderson menarik napas dalam, mengamati dengan cermat perubahan di wajah bosnya. Meski pertanyaan tentang bisnis itu terucap, Anderson tahu bahwa Kaizen tidak sepenuhnya terfokus pada urusan pekerjaan. Sepuluh tahun bekerja bersama telah memberinya kemampuan membaca tanda-tanda halus ini. "Kalau Anda masih penasaran, saya bisa mencari tahu wanita itu lebih lanjut," tawar Anderson, suaranya tetap tenang namun menyelidik, tak ingin sepenuhnya melepaskan topik yang Kaizen coba hindari. Kaizen memicingkan mata, menatap kosong ke luar jendela. "Siapa yang penasaran?" jawabnya dingin. Kaizen bukan penggila wanita. Dia bahkan sudah punya kekasih dan hidupnya juga terlalu sibuk untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Malam itu, dia hanya sekadar iseng, mengikuti lelang aneh yang dia kira tak lebih dari permainan bodoh. Siapa sangka, dia yang akhirnya memenangkan tawaran tertinggi. Dia kira, Sea hanya w************n yang menjajakan tubuhnya, layaknya p*****r kelas atas. Namun, kenyataannya jauh dari ekspektasinya. Wanita itu masih perawan. Dan lebih dari itu—dia pergi begitu saja, tanpa sepatah kata pun setelah menghabiskan malam dengan gila. Kaizen merasa dicampakan. Habis manis sepah dibuang. Sudah pasti dia tidak terima. Dalam sejarah hidupnya, tidak ada yang pernah meninggalkan seorang Kaizen Lycus tanpa izin darinya. "Kalau Anda tidak penasaran, kenapa terus dipikirkan? Padahal sudah satu bulan berlalu," ejek Anderson. Anderson sudah paham, harga diri bosnya selalu setinggi langit, mustahil dia mau mengakui hal kecil seperti ‘wanita’ mengganggu pikirannya. Kaizen menoleh perlahan, wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Anderson Hilter," ucapnya pelan, namun tegas. Jika dia sudah memanggil nama belakang asistennya, itu berarti sebuah isyarat peringatan. Anderson langsung terdiam, menghela napas panjang sebelum menutup mulutnya. Ini peringatan berbahaya, dia harus berhenti. "Pergi ke YG. Beritahu Roana mengatur ulang jadwalku!" perintah Kaizen dengan nada tenang namun tak terbantahkan, kembali fokus pada urusan bisnisnya, seolah obrolan tadi tidak pernah terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN