Pacar Sea

823 Kata
Selama lima hari, Sea mengurung diri di kamar, terjebak dalam lubang nestapa yang dalam. Trauma berat, ketakutan akan kehilangan, dan rasa penasaran, semua bergumul menjadi satu dan mencabik-cabik secara perlahan. Tidak jarang, perkataan Amora terngiang di kepalanya, "Mungkin... ada yang menjebakmu, Sea. Mana mungkin kamu bisa tiba-tiba berada di hotel!" Perkataan Amora masuk akal, tapi Sea juga tidak bisa sembarangan menuduh. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, termasuk bagaimana dirinya bisa sampai di hotel itu. Dalam kebingungan dan dilema, kekasihnya, David Horton, yang baru saja kembali dari luar kota, datang berkunjung. Pria berusia 30 tahun itu duduk gelisah di ruang tamu, merasakan ketegangan yang menggelayuti suasana. Akhir-akhir ini dia merasa Sea sedang menjauhinya. "Sayang," panggil David lembut begitu Sea mendekat. Dia segera berdiri, meraih tangan Sea, dan mengajaknya duduk di sampingnya. "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku? Samantha bilang kamu tidak masuk kerja selama empat hari. Aku khawatir." Sea diam membisu. Jujur saja, dia belum siap bertemu David. Lebih tepatnya, tidak tahu harus mengungkapkan kebenaran atau menyimpannya rapat-rapat. Dia tidak bisa berbohong, tapi juga takut David meninggalkannya jika mengaku. "Sea... Sayang, beritahu aku jika ada masalah. Apapun itu, aku di sini untukmu." David berbicara lagi dengan lembut, matanya terpancar ketulusan. Mendengar ini, hati Sea jadi semakin teriris. Dia mengerang di dalam hati, terjepit antara harapan dan ketakutan. Haruskah dia berkata jujur seperti saran Amora? Tapi dia tidak punya ‘sesuatu’ untuk membuktikan kalau dirinya tidak bersalah. Kesuciannya direnggut secara paksa. “David... aku... maaf,” suaranya gemetar, seperti sayup-sayup datang dari jauh. Air mata mulai menggenang di matanya, berusaha tidak jatuh, tapi tak bisa lagi ditahan. "Maaf? Ada apa sebenarnya?" David merengkuh tangannya, berusaha mencari jawaban di balik tatapan kosong Sea yang dipenuhi rasa bersalah. Sebelum Sea bisa merangkai kalimatnya, ketukan di pintu mengguncang suasana. Seorang kurir datang mengantar paket. Natasya, adik tirinya, buru-buru menerima paket dan membukanya. “Apa ini?” Natasya berteriak histeris, menarik perhatian semua orang. “Ibu … Ibu. Lihat!” “Kenapa, ada apa?” Pamela berteriak heboh, berlari kecil mendatangi putrinya. Sea dan David menatap keduanya dengan rasa penasaran, tapi tidak berani bertanya apapun. Entah apa isi paket itu, tapi wajah Pamela langsung merah padam begitu melihat isinya. Wanita paruh baya berumur 45 tahun itu menyambar isi paket, lalu melemparkannya tepat di wajah Sea. “Kau … kau ini! Dasar anak tidak tahu diri, buat malu keluarga!” teriak Pamela geram. Foto-foto berhamburan di udara dan jatuh berserak. Sea bisa melihat, lembaran-lembaran yang jatuh adalah foto dirinya dan pria asing malam itu. Tangan dan tubuhnya bergetar, dia ingin memunguti semuanya. Tapi terlambat. David sudah memungut satu dan melihat seberapa intim foto Sea di sana. “Sea!” suara David pecah, seolah terbelah oleh kegetiran yang tak terkatakan. “Apa ini? Katakan sesuatu!” Sea jatuh terduduk di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mengalir deras di pipinya, dan rasa bersalah yang selama ini dipendam kini meledak dalam bentuk kepanikan yang tak bisa ia kendalikan. Dunia sekitarnya bergetar, hancur berantakan seperti foto-foto di tangannya. "Sa–Sayang, aku tidak ..." Suara Sea hanya bisa keluar sebagai bisikan, penuh ketidakberdayaan. Hatinya remuk, terjebak dalam kesedihan yang tiada akhir. Dalam momen itu, ia merasa terasing, tidak berdaya, seolah semua orang di sekitarnya memandangnya dengan penghinaan. Pamela tersenyum puas, melirik Natasya yang segera beraksi. “Kau berselingkuh, Sea?” Natasya bertanya dengan nada mengejek. “Astaga, kau sudah punya David! Bagaimana bisa…” Setiap kata seperti belati yang menghujam hati Sea. Dia hanya bisa menunduk, berusaha menahan isak tangis yang semakin pecah. “Lubangmu gatal ya sampai minta dibelai pria lain, padahal David hanya keluar kota seminggu,” Natasya melanjutkan, senyumnya penuh sarkasme. Lalu dia menatap David dan bertanya, “Apa gaya pacaran kalian seberani ini?” “Tidak! Kami bahkan belum—” David mencoba membela diri, tetapi Natasya tidak memberi ampun. “Jadi kalian belum pernah?” teriak Natasya berpura-pura terkejut sambil menutup mulut dengan tangannya. Manik matanya melirik Sea dengan jijik. “Tapi kakakku…. Astaga, Kak. Kamu benar-benar murahan. Bisa-bisanya kamu berselingkuh dari David. Aku malu punya kakak sepertimu!” Natasya menambahkan sebelum berbalik pergi. Kata-kata Natasya seperti menghancurkan sisa harapan Sea. Dia merasa terbuang, napasnya terhimpit rasa bersalah. “David, maafkan aku… Aku sungguh tidak melakukan itu dengan sengaja. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berakhir di sana.” Tenggorokan Sea tercekat. David menatapnya dengan penuh kekecewaan. “Aku … aku di paksa. Aku diperkorsa, David.” Sea menangis histeris. “Aku bersumpah. Dia mengambilnya dengan paksa.” “Kalau tidak percaya, aku bisa melakukan visum. Biar polisi yang mengurus ini.” Sea melanjutkan, hanya ini satu-satunya cara terakhir untuk membuktikan dirinya. Dan perkataan Sea, berhasil membuat Pamela cemas. Dia tidak ingin masalah ini berakhir di kepolisian. Natasya, yang sempat pergi, kembali dan menyela, “Visum? Untuk apa? Kau hanya akan membuat kita tambah malu!” Sea menjawab tegas, “Membuktikan aku dijebak! Aku tidak berselingkuh. Mereka akan tahu kalau ‘itu’ direnggut secara paksa!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN