Happy Reading
Mata Kinan terbuka perlahan, dia menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Setelah mengerjab beberapa kali, akhirnya Kinan bisa melihat dengan jelas. Ruangan ini bau disinfektan dan Kinan tidak pernah butuh penjelasan lagi di mana dia saat ini.
Kinan mendesis saat merasakan tubuhnya sakit semua, terutama kepalanya yang masih pusing. Kinan ingat jika dia tadi menabrak sebuah mobil dan membuatnya jatuh pingsan.
"Eeuh!" lenguh Kinan saat berusaha untuk duduk, dia harus segera menghubungi ibunya atau pulang secepatnya. Dia tidak ingin membuat sang ibu khawatir kalau tidak segera pulang.
Kinan sebenarnya punya dua adik laki-laki, yang satu masih kuliah di Jogja dengan beasiswa dan yang satu lagi ikut pamannya di Sulawesi. Keduanya masih harus mengenyam pendidikan dan hanya Kinan yang menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal.
Ibunya sudah sakit-sakitan sejak bertahun-tahun lalu dan puncaknya ketika diketahui bersemayam tumor di perutnya. Saat masih kuliah, Kinan bahkan sudah bekerja paruh waktu hingga akhirnya dia bisa wisuda tiga tahun lalu dan mendapatkan pekerjaan yang layak di sebuah perusahaan besar dengan gaji yang lumayan.
Kinan menurunkan kakinya dari ranjang, yang dipikirkan saat ini adalah sang ibu yang pasti sedang menunggunya dengan khawatir.
"Aku harus pulang, entah siapa yang telah membawaku ke sini, tapi aku akan berterima kasih nanti," gumam Kinan.
Tiba-tiba pintu terbuka, Kinan melihat seorang pria yang tidak asing masuk ke dalam sambil membawa dua kresek di tangannya.
Valen yang melihat Kinan sudah sadar bergegas menghampiri. "Kamu sudah bangun? Apa yang dirasakan? Mana yang sakit?" Terlihat kekhawatiran di wajah Valen.
"Maaf, apa Anda yang menyelamatkan saya?" Kinan bertanya, rasanya canggung sekali, sungguh kali ini dia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan pria itu lagi.
"Mobilku yang nabrak kamu, kata sekretarisku kamu bawa motornya tiba-tiba oleng ke tengah jalan dan tabrakan itu tidak bisa dihindari," jawab Valen.
"Terima kasih, biayanya—"
"Sudah aku bayar, itu jadi tanggung jawabku."
Kinan mengangguk, memang sudah seharusnya Valen yang membayar administrasinya karena Kinan tahu, Valen itu orang yang kaya. Kinan berusaha mengatur napasnya, kemudian dia menatap Valen dengan tatapan sendu. "Saya harus pulang."
"Tidak bisa, kamu harus istirahat. Kandunganmu lemah dan harus bed rest," ujar Valen berusaha menahan Kinan yang sudah mau turun, tetapi tidak jadi karena terkejut dengan ucapannya.
"Apa?" Mata Kinan membulat mendengar hal itu. Jadi, dia benar-benar hamil?
"Sekarang kamu rebahan dulu, ya? Jangan banyak gerak," ucap Valen mengangkat kaki Kinan dan menaruhnya kembali ke atas ranjang.
Kini Kinan menjadi semakin tidak enak, sikap Valen terlihat begitu peduli dan perhatian, apakah Valen tahu jika dia mengandung anaknya? Ah, sepertinya tidak mungkin. Bisa saja Valen menganggap dia wanita malam yang menjajakan dirinya dan menganggapnya hamil dengan pria lain.
Namun, meskipun begitu Kinan tidak akan pernah menggugurkan kandungannya. Dia akan memikirkan nanti bagaimana caranya agar sang ibu tidak terkejut jika mengetahui kehamilannya.
Tiba-tiba hati Kinan terasa sakit, masa depannya sudah hancur sekarang, dia belum menikah dan sekarang malah hamil. Bagaimana dia menghadap ibunya nanti. Rasanya sekarang dia ingin menangis. Dadanya sudah terasa sesak, seperti ada batu besar yang menghimpitnya.
Valen yang mengetahui hal itu langsung memegang tangannya, berusaha menenangkan Kinan, tetapi yang ada Kinan semakin tidak bisa menyembunyikan air matanya.
Kinan menarik tangannya yang berada di genggaman Valen, kemudian wanita itu menutup wajahnya dengan keduanya tangan, bahunya naik turun dan terdengar isakan tertahan, bahkan Valen bisa melihat tubuh Kinan yang bergetar.
"Hiks, hiks!" Kinan hanya bisa meluapkan kesedihannya dengan menangis.
Valen memilih untuk tetap diam dan hanya melihat Kinan menangis, terkadang suaranya sedikit meninggi untuk meluapkan emosi yang tak terbendung. Valen jadi merasa iba, pasti keadaan Kinan sebenarnya tidak baik-baik saja. Dia menjual tubuhnya hanya untuk mendapatkan uang, Valen tahu jika Kinan bukankah wanita malam, buktinya dia masih perawan saat malam itu.
Setelah menghabiskan beberapa menit untuk menangis, tiba-tiba Kinan erhenti dan mengusap air matanya dengan kasar. Dia tetap harus menjalankan hidup, tidak mau terus berlarut dalam kesedihan. Mungkin memang ini sudah menjadi takdirnya dan dia tidak tahu apa yang direncanakan Tuhan. Dia hanya berniat untuk mencari uang untuk menyelamatkan nyawa ibunya, tetapi mungkin yang dilakukannya salah. Ini sebuah harga yang harus dia bayar dengan sebuah kehamilan.
"Aku harus pulang."
"Aku akan bertanggung jawab," ujar Valen membuat Kinan langsung menoleh dengan mata yang merah dan sisa air mata di sana. "Kamu hamil anakku, kan? Kenapa kamu nggak kasih tahu? Apakah kamu juga belum tahu kalau kamu hamil?"
Kinan menggeleng, tetapi kemudian mengangguk. "Sebenarnya udah curiga, tapi aku belum periksa," lirih Kinan. Entah kenapa dia merasa tidak lega mendengar ucapan Valen yang akan bertanggung jawab.
Kinan bisa melihat jika Valen bukan orang biasa, dia pasti berasal dari keluarga kaya raya atau bahkan mungkin konglomerat di negeri ini. Namun, kenapa Valen dengan mudah mengatakan hal itu. Bukankah biasanya orang-orang kaya tidak akan pernah mau berurusan dengan orang miskin sepertinya?
Kinan pernah nonton drama-drama di mana si kaya pasti akan mengeluarkan kekuasaannya untuk menyingkirkan si miskin. Padahal tadi Kinan merasa jika Valen akan melemparkan kartu kreditnya untuk menggugurkan kandungan itu jika dia mengakui itu anaknya.
Valen mengambil tangan Kinan dan menggenggamnya ketika melihat keraguan di mata wanita itu. "Kita harus segera nikah, setelah kamu sembuh, aku akan langsung melamar mu. Nanti aku akan bilang sama orang tuaku jika aku akan menikahi seorang wanita."
"Tapi, apa tidak janggal jika semuanya mendadak?" tanya Kinan ragu. Harap-harap cemas jika dia malah akan diculik atau dijual ke Kamboja karena telah hamil anaknya di luar nikah.
"Kamu tenang saja, aku pasti bisa mengatasinya, mamaku Valen, kamu Kinan, kan? Aku masih ingat namamu. Sekarang kamu istirahat dulu, ya? Setelah ini kita bicarakan pernikahan kita," ujar Valen tersenyum lembut.
Kinan menggeleng cepat, dia tidak kenal Valen, tetapi dia juga bingung harus bagaimana.
"Aku mau pulang, ibuku pasti khawatir."
Valen langsung paham, sejak tadi Kinan selalu mengatakan ingin pulang, pastinya memang dia harus menghubungi ibunya dan mengatakan jika dia dirawat di rumah sakit.
"Boleh aku menghubungi ibumu?"
"Tidak! Maksudku jangan sampai ibu tahu aku masuk rumah sakit. Kalau memang keadaanku baik-baik saja, lebih baik aku rawat jalan saja."
"Kamu tidak berusaha untuk kabur dariku, kan? Atau kamu tidak percaya padaku? Ah... kamu pasti merasa aku orang jahat, ya? Hahaha, Kinan, aku benar-benar serius ingin bertanggung jawab dengan menikahi mu. Meskipun kita belum saling kenal, tapi aku akan berusaha untuk memberikan yang terbaik buat ibu dari anakku. Aku nggak mau dia lahir di luar pernikahan dan tidak mengenal ayahnya."
Karena Valen sudah merasakan bagaimana rasanya tidak mengenal ayahnya sejak lahir dan hanya ibunya yang selalu ada untuknya sebelum kemudian dia bertemu dengan ayah dan setelah berusia 6 tahun. Valen tidak mau anaknya mengalami seperti dirinya. Setelah dia besar, akhirnya dia tahu kisah hidup kedua orang tuanya, meskipun akhirnya mereka kini hidup bahagia dengan penuh cinta.
Valen akan belajar mengenal sosok Kinan, dia sekarang sudah tidak perlu menjaga hatinya untuk Vanessa karena sekarang Valen tahu jika alur hidupnya di mulai dari sekarang. Membuang perasaan cintanya untuk Vanessa dan memulai lembaran hidup baru dengan orang yang baru.
***
"Jadi, boleh pulang, kan?" tanya Kinan lagi. Sudah berkali-kali wanita itu bertanya.
Valen yang tidak tega akhirnya memanggil dokter dan meminta dokter memberikan obat dan vitamin untuk Kinan. Dokter juga mengatakan jika Kinan harus benar-benar istirahat jika di rumah. Meksi kecelakaan itu memang tidak fatal, tetapi pasti akan menimbulkan rasa sakit di seluruh tubuhnya.
"Iya, tapi aku akan mengantarmu pulang, aku ingin kenalan sama calon mertua," jawab Valen mengelus rambut Kinan.
Tangan Valen merasa jika rambut Kinan begitu lembut dan wangi, dia masih ingat aroma shampo Kinan saat malam panas itu dan hal itu membuat tubuhnya langsung panas.
"Egem, baiklah. Aku nggak akan menolak," ujar Kinan berusaha menyembunyikan kegugupannya karena sikap Valen benar-benar membuatnya salah tingkah.
"Kenapa? Kamu nggak nyaman aku sentuh? Aku cuma mau pendekatan, kita kan bakal nikah?"
Kinan merasa terharu, dia nangis lagi. "Kamu beneran baik kan?"
"Kamu tenang aja, aku bukan orang jahat. Aku nggak tahu kenapa kita bertemu dengan cara seperti itu, tapi dengan pertemuan kedua ini, aku yakin Tuhan memang telah menuliskan jalan takdir kita. Awalnya aku juga merasa nggak akan pernah ketemu kamu lagi, berharap jika malam itu adalah malam pertama dan terakhir kita berinteraksi, tapi nyatanya Tuhan berkata lain. Jadi, aku anggap semua ini sebagai takdir Tuhan."
"Tapi, gimana dengan keluargamu?" tanya Kinan.
"Kedua orang tuaku pasti akan menerimamu, mereka orang baik. Aku yakin kamu pasti juga akan menyukai mereka," jawab Valen.
"Benarkah? Kalian orang kaya, apa mereka benar-benar bisa menerimaku?"
Valen mengangguk mantap. "Nanti aku akan kenalkan mereka padamu."
Kinan menangis lagi, dia akhirnya hanya pasrah saja, entah bagaimana selanjutnya kehidupan yang harus dia lalui. Semoga saja semuanya berjalan dengan baik.
Valen tersenyum melihat Kinan yang sejak tadi menangis, kemudian dia membawa Kinan ke dalam pelukannya. Mengelus punggung wanita itu dengan sayang dan memberi ketenangan.
Akhirnya mereka memutuskan untuk merahasiakan kehamilan itu dan Valen akan langsung mengatakan pada kedua orang tuanya jika dia akan menikah.
Agar semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada yang menggunjing ataupun mengatakan jika mereka menikah dengan tergesa-gesa, Valen akan menikah dengan acara sederhana saja, yang penting mereka sah.
Tentu saja mereka harus bisa merahasiakan dan menutup rapat kehamilan itu demi nama baik kedua keluarga.
Valen juga tidak mau jika Papinya tau kalau dia telah menghamili seorang wanita, dia pasti akan dibuang ke Antartika. Apalagi Maminya yang begitu menyayanginya, beliau pasti akan kecewa karena telah membuat malu keluarga besar Xanders.
Akhirnya sore itu Valen mengantarkan Kinan pulang ke rumahnya. Menyapa calon ibu mertua dan mengatakan jika dia adalah kekasih Kinan yang belum lama jadian.
Setelah beberapa saat, dia pulang ke rumah dan harus segera bicara pada orang tuanya. Namun, saat ditengah jalan, Valen mendapatkan telepon dari Vanessa. Sejak kemarin dia memang tidak mau mengangkat panggilan dari temannya itu. Tetapi Valen tidak bisa terus-terusan menghindar. Sebulan sudah dia menghindari Vanessa karena ingin menjaga hatinya, sekarang dia sudah siap untuk menghadapi Vanessa karena merasa jika sudah saatnya dia move on.
"Halo?"
"Valen, akhirnya kamu angkat panggilanku!"
"Kenapa? Maaf aku benar-benar sibuk akhir-akhir ini."
"Kamu bisa ke rumahku? Aku kesepian, Juna masih di rumah sakit, dia lembur."
Bersambung.