Rendra merasa ucapan Pak Satria ada benarnya, sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyapa Ayunda. Rendra butuh waktu dan tempat yang tepat. Pak Satria melepaskan tangannya dan membiarkan Rendra menatap panjang Ayunda yang masih sibuk bermain dengan bonekanya.
"Ayo Mas, lebih baik kita pulang. Sepertinya Mas sangat lelah hari ini," ajak Pak Satria. Rendra mengangguk meski matanya tidak berhenti mengagumi sosok Ayunda yang sangat mirip dengan Ratu.
Pembicaraan Rendra dan Pak Satria tidak luput dari perhatian Raja yang sengaja menguping dari balik pintu ruang kerjanya dan keputusannya sudah bulat meski keputusan itu menanggung banyak resiko nantinya.
Resiko Ratu kembali hancur seperti dulu dan menyakiti dirinya sendiri, tapi tawaran Rendra sedikit menggugah nuraninya.
"Ratu akan terus seperti itu jika dia tidak bisa melupakan masa lalunya dan aku akan mengambil resiko apapun asal Ratukembali seperti Ratu yang dulu," gumam Rendra dalam hati.
****
"Ayolah nak, berhenti menatap langit. Langit tidak akan berubah meski kamu tatap seumur hidup kamu. Lebih baik kamu temani Mama ke mall dan Mama janji akan membelikan apapun yang kamu mau. Hp? Baju? Tas? Make up? Apapun akan Mama belikan asal kamu mau pergi sama Mama," bujuk Hana.
Hana menjadi orang pertama yang tahu tentang pertemuan Rendra dan Raja. Raja menceritakan semua rencana Rendra dan Hana mendukung apapun keputusan Raja asal Ratu sembuh dari traumanya.
"Aku malas Ma," balas Ratu singkat dan kembali menatap langit dengan tatapan kosong.
"Ayolah, Mama mau kita seperti dulu. Jalan-jalan berdua sambil bergandengan tangan. Mama rindu suasana itu," ajak Hana lagi. Hana berjanji tidak akan menyerah meski Ratu akan terus menolaknya.
"Ajak saja anak kesayangan Mama," ujar Ratu dingin.
"Nggak ah, Mama maunya ajak kamu. Lagipula Ayu dan adik-adik kamu lagi ke toko buku sama Papa," balas Hana.
Ratu melihat wajah penuh harap Hana dan tidak ada salahnya mengabulkan keinginan ibunya setelah bertahun-tahun berkutat dengan dunianya sendiri.
"Hanya ke mall ya dan nggak ada cerita bertemu teman-teman Mama," balas Ratu dengan ancaman. Hana buru-buru menganggukkan kepalanya dan membuat tanpa dengan jarinya.
"Iya, kita ke mall dan nggak ada cerita bertemu teman rumpi Mama," ujar Hana agar Ratu tidak berubah pikiran lagi. Ratu akhirnya berdiri dari kursi malasnya dan beranjak masuk ke dalam untuk mengganti bajunya.
"Yeahhh, nah gitu donk! Ini baru anak Mama. Makasih ya nak, mudah-mudahan ini awal hidup kamu."
"Nggak usah lebay Ma, aku nggak akan seperti dulu lagi. Ini hanya untuk membalas kesedihan yang aku beri untuk Mama," jawab Ratu singkat sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
"Ya ya ya, ini jalan awal nak."
****
Hana sengaja memilih mall yang tidak terlalu ramai agar Ratu tidak risih dan minder. Hana menikmati setiap detik bisa jalan berdua bersama anak sulungnya. Hana yakin waktu perlahan demi perlahan akan mengembalikan sosok Ratu seperti dulu.
"Aduhhhhh,"
"Kenapa Ma?" tanya Ratu saat Hana memegang perutnya.
"Mama kebelet pipis. Kamu tunggu di sini dan pilih saja apapun barang yang kamu inginkan. Mbak tolong layani anak saya ya," ujar Hana ke pelayan toko yang melayani mereka.
"Baik Bu,"
"Jangan lama-lama atau aku pulang naik taksi," ancam Ratu. Hana mengangguk dan menyerahkan barang-barang belanjaannya ke tangan Ratu. Hana mengangguk dan meninggalkan Ratu sendirian, setelah merasa aman barulah Hana bersembunyi sambil mengamati gerak gerik Ratu.
"Mudah-mudahan Rendra bisa mengambil kesempatan ini dengan baik. Aduh, kok aku gugup gini ya," gumam Hana. Telapak tangannya dingin dan berharap Ratu tidak sadar kalau Hana sedang berupaya mempertemukannya dengan Rendra.
Setelah lima menit menunggu dan melihat dari kejauhan barulah Hana melihat Rendra masuk ke dalam butik, Hana tidak berhenti berdoa agar rencananya tidak gagal.
"Ini cocok loh untuk Mbak," ujar pelayan toko. Ratu mengambil baju dari tangan pelayan itu dan tidak berhenti mengagumi setiap potongan baju itu.
"Andai b******n itu tidak merusak hidupku, mungkin aku bisa melakukan hal yang sama dengan pemilik butik ini," gumam Ratu dalam hati.
"Gaun ini bagus tapi saya tidak punya kesempatan memakai baju sebagus ini, jadi lebih baik Mbak carikan saya baju santai dan kasual saja," ujar Ratu lagi.
"Mbak saya mau gaun itu, bisa?" ujar Rendra yang berdiri di belakang Ratu. Tubuh Ratu langsung menegang saat mendengar suara yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.
Rendra tidak berhenti menatap punggung Ratu, berulang kali ia mencoba menahan diri untuk tidak langsung memeluk Ratu. Andai sikap egoisnya masih seperti dulu, mungkin Rendra tidak peduli dan akan langsung memeluk Ratu.
"Mbak ... baik-baik saja?" tanya pelayan saat wajah Ratu terlihat pucat dan peluh membasahi wajahnya.
"U ... us ... ir ..." Ratu menggelengkan kepalanya dan meminta pelayan mengusir Rendra.
"Mbak, saya mau gaun itu." Rendra mencoba membuka suaranya sekali lagi.
"Sebentar Mas, Mbak ini sepertinya sakit," ujar pelayan itu.
"Tidak, b******n itu masih di penjara. Itu mungkin suara orang lain. Aku tidak boleh menunjukkan kelemahanku di depan orang lain. Aku harus kuat!" Ratu merampas gaun itu dan memegangnya dengan erat agar laki-laki tadi tidak merampasnya.
"Baik Mbak, saya akan persiapkan gaunnya untuk Mbak," ujar pelayan dengan senyum sumringah.
"Jadi saya nggak bisa beli gaun itu?" tanya Rendra pura-pura kecewa.
"Maaf Mas, gaun ini limited edition dan Mbak ini lebih duluan."
Ratu membuang napasnya dan mencoba bersikap selayaknya wanita angkuh di depan laki-laki yang suaranya sangat mirip dengan Rendra. Ratu mengibaskan rambutnya pelan dan ingin menunjukkan kemenangannya dengan menunjukkan gaun itu.
"So ... rry," senyum angkuh Ratu hilang saat matanya melihat sosok yang sedang berdiri di depannya. Sosok yang sangat amat dibencinya dan ia kutuk setiap malam.
"Ra ... tu," panggil Rendra seolah ini pertemuan yang tidak pernah ia rencanakan.
"Baj ..." semua u*****n yang ingin Ratu keluarkan saat bertemu lagi dengan Rendra tiba-tiba sulit untuk Ratu ucapkan. Lidahnya kelu dan dadanya sesak. Ratu mulai kesulitan bernapas dan perlahan demi perlahan matanya mulai mengeluarkan bayangan gelap.
Ratu sadar kesadarannya sebentar lagi akan hilang dan kesempatan besar untuk membalas sakit hatinya akan sia-sia kalau sampai ia menyerah dengan ketakutan dan rasa traumanya.
Perlahan demi perlahan Ratu melangkah walau terasa berat. Peluh makin membasahi badannya, matanya masih menatap Rendra dengan rasa benci dan penuh dendam.
"Apa kabar?" tanya Rendra pelan.
"Tidak pernah ... sebaik hari ... ini!"
Plakkk
Ratu melayangkan tangannya ke pipi Rendra dengan sangat keras dan membuat semua pengunjung butik melihat ke arah mereka.
"Aku harap tamparan ini bisa mengurangi rasa sakit dan bencimu, Ratu" ujar Rendra lirih. Tidak ada rasa sakit ataupun marah dipermalukan di depan umum seperti tadi. Rendra bahkan bersyukur Ratu masih mau menamparnya.
"Manusia nista!" teriak Ratu dengan suara menggelegar dan emosi tinggi membuatnya sulit menahan kesadarannya dan Ratu pun jatuh pingsan di pelukan Rendra.
Semua pengunjung saling berbisik dan penasaran dengan drama yang dipertontonkan Ratu dan Rendra tadi. Rendra tidak peduli dan masih memegang tubuh Ratu yang terkulai lemah.
"Ratu ... Ratu ..." teriakan Hana membuyarkan lamunan dan tatapan panjang Rendra. Rendra membuang mukanya agar Hana tidak melihat mata merah akibat menahan airmata penyesalan yang sejak tadi ia tahan. Hana mengambil tubuh Ratu dari pelukan Rendra dan meninggalkan butik tanpa mempedulikan bisik-bisik pelayan serta pengunjung butik lainnya.
"Mas baik-baik saja?" tanya salah satu pelayan.
"Tolong gaun tadi kamu kirim ke alamat ini," Rendra menulis alamat rumah Ratu dan menyerahkan secarik kertas ke tangan pelayan.
"Mas baik banget padahal Mbak tadi sudah mempermalukan Mas."
"Dia istri saya," ujar Rendra pelan setelah membayar gaun tadi. Rendra memasang kembali kacamatanya dan meninggalkan butik dengan hati masih terasa hampa.
"Beuhhhh ternyata drama rumah tangga toh," ujar pelayan kesal.
****