Rendra berulang kali membuang napasnya sambil mematut diri di depan cermin yang ada di depannya. Rendra menatap sendu sosok laki-laki b******n, monster, dan manusia paling kejam yang terpampang nyata di cermin itu.
"Masihkah ada kesempatan itu?" tanya Rendra pelan dan berbentuk gumaman.
Hari ini Rendra berencana menemui Raja untuk membicarakan urusan yang belum sempat terselesaikan sejak ia mendekam di balik jeruji penjara. Pertemuan pertama setelah enam tahun lamanya.
"Tuhan selalu memberi kesempatan kepada umatnya, Mas." Pak Satria menjawab gumaman Rendra dari belakang sambil membawa stelan jas formal. Rendra memutar tubuhnya dan menggelengkan kepalanya pelan. Rasa percaya diri untuk bertatap muka dengan Raja dan Ratu masih sulit terkumpul.
"Baju itu terlalu formal, Pak." Rendra menyuruh Pak Satria menukar jas tadi dengan pakaian yang lebih kasual, ini bukan pertemuan dengan klien bisnis tapi pertemuan dengan orang yang dulu amat sangat Rendra hormati walau akhirnya Rendra mengkhianati kepercayaan Raja.
Pak Satria mengangguk lalu memilih kemeja lengan pendek warna abu dan celana berwarna senada. Rendra lalu membuka satu persatu kancing kemeja yang terpasang di tubuhnya. Matanya menatap tajam bekas luka yang tidak akan pernah bisa ia lupakan.
"Tidak inginkah Mas menghapus bekas luka itu?" tanya Pak Satria.
"Luka ini bukti kebejatan saya, Pak. Luka ini adalah pertukaran di antara kami," jawab Rendra pelan. Rendra menundukkan kepalanya dan berulang kali menatap bekas luka itu.
"Aku harus membunuhmu dan setelah itu aku akan melahirkan anak ini. Kamu tinggal pilih, mati dan anak ini hidup atau kamu hidup tapi anak ini mati!" teriakan Ratu malam itu masih terngiang-ngiang di kepala Rendra dan Rendra lebih rela mati daripada melihat anaknya yang tidak berdosa menanggung semua kesalahannya dan beruntungnya malam itu Tuhan masih berbaik hati untuk tidak mencabut nyawanya.
"Saya akan mempersiapkan mobil dulu," sela Pak Satria. Kenangan malam itu langsung buyar dan Rendra mencoba melupakan kejadian masa lalu yang menyedihkan itu.
Bagi Rendra hari ini adalah awal mula hidup barunya. Tekadnya sudah bulat untuk mendapatkan maaf kedua orangtua Ratu dan keluarga kecilnya yang belum sempat Rendra miliki.
****
"Tuan, ada tamu ingin bertemu dengan Tuan," ujar sekretaris Raja melalui speaker telepon. Raja mengernyitkan keningnya, rasanya hari ini ia tidak ada janji temu dengan siapa pun.
"Siapa?"
"Namanya Tuan Rendra, katanya Tuan pasti tahu siapa dia," sambung sekretarisnya.
"Suruh masuk," jawab Raja.
Raja mematikan speaker dan membuang napas nya.
"Akhirnya dia berani untuk datang," ujar Raja dalam hati. Mau tidak mau Raja harus menemui Rendra meski rasa sakit di hatinya masih sulit sembuh walau waktu sudah berjalan enam tahun.
Tok tok tok
"Masuk," balas Raja. Tak lama pintu terbuka, sekretaris Raja mempersilakan Rendra masuk. Raja masih duduk di kursinya dan menatap penampilan Rendra dari atas sampai bawah.
"Tidak ada yang berubah dari anak ini. Tampan, pintar, gagah, baik, dan sopan. Hanya saja nafsu membutakan matanya. Andai dulu dia tidak mengecewakan aku ... ah sudahlah! Sesempurna apapun dirinya, tetap saja dia itu b******n yang merusak anakmu Raja!" gumam Raja dalam hati.
"Silakan duduk," pinta Raja dengan dingin. Rendra masih merasa ada kemarahan di balik tatapan Raja sejak kakinya melangkah masuk.
"Terima kasih, Tuan," balas Rendra dengan gugup. Rendra lalu duduk di sofa dan menyatukan kedua tangannya yang sudah dingin.
"Buat apa kamu datang lagi?"
"Saya ... saya ..." Rendra terbata-bata. Keberaniannya hilang saat Raja enggan duduk di sofa dan memilih duduk di kursi kerjanya. Itu sudah cukup menjadi alasan Rendra untuk percaya kalau Raja akan sulit memaafkannya.
"Berhenti basa basi dan to the point saja. Saya masih banyak urusan," sela Raja dengan dingin.
"Saya minta maaf ..." Raja lalu mengangkat tangannya untuk menghentikan upaya Rendra.
"Maaf? Jadi kamu datang untuk minta maaf? Kalau iya, lebih baik sekarang kamu keluar dari sini dan jangan pernah datang lagi," ujar Raja tajam.
"Saya tahu kalau Tuan dan Ratu tidak akan pernah bisa memaafkan saya tapi saya akan terus ... terus ... dan terus meminta maaf sampai kalian bersedia memaafkan saya." Kali ini Rendra memberanikan diri menyuarakan hatinya.
Bughhhh
Raja menatap Rendra dengan amarah mendidih setelah menghantam meja kerja dengan tangannya.
"Maaf? Maaf? Orangtua mana yang akan memaafkan b******n yang telah merusak anak gadisnya? Orangtua mana yang akan memaafkan b******n yang membuat hidup anaknya bagai di neraka? Orangtua mana yang tidak akan sedih melihat masa depan anaknya hancur? Orangtua mana yang tidak hancur melihat anaknya berulang-ulang mencoba bunuh diri? Tidak ada! Begitupun saya! Saya hancur saat melihat kucuran darah di tangan Ratu, saya hancur saat dia menatap saya dengan tatapan kosong, saya hancur saat anak seusia dia terpaksa melahirkan bayi, saya hancur saat Ratu meminta saya membuang anaknya, saya ..." Raja memutar kursinya dan menghapus airmata yang sulit ia kontrol. Raja tidak ingin terlihat lemah di depan Rendra.
"Maaf ... maaf ..."
"Saya sulit memaafkan kamu," balas Raja.
Rendra menundukkan kepalanya. Nafsu merusak semua hal dan setelah merasa kuat barulah Rendra mengangkat kembali kepalanya dan menatap Raja yang sudah memutar kembali kursinya.
"Saya akan melakukan apapun demi bisa mendapatkan maaf Tuan dan Ratu. Saya akan mengembalikan apapun yang sudah saya rusak. Saya akan mengembalikan Ratu seperti Ratu sebelum b******n ini merusak hidupnya. Saya akan membuatnya tersenyum lagi, mengembalikan cita-citanya dan kalau perlu saya akan membayar setiap tetes darah yang dulu Ratu keluarkan dengan darah saya. Tuan hanya perlu memberi saya satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semua hal yang sudah saya hancurkan. Beri saya waktu satu tahun, ah tidak. Enam bulan ... ya enam bulan, beri saya waktu enam bulan dan saya akan mengembalikan Ratu seperti dulu," ujar Rendra penuh harap.
"Bicara kamu memang manis dan lihay, tapi tahukah kamu kalau Ratu akan kembali histeris saat kamu menampakkan wajahmu di depannya. Tidak! Saya tidak sebodoh itu, beberapa bulan ini Ratu sangat stabil dan pengobatannya sudah kami hentikan," tolak Raja. Bayangan buruk jika Rendra dan Ratu bertemu lagi membuatnya menolak langsung rencana Rendra.
"Saya tahu dan itu sudah saya pertimbangkan, tapi apa salahnya kita mencoba. Saya hanya minta waktu enam bulan dan setelah Ratu kembali seperti dulu, maka saya ..."
"Kamu akan menghilang dari hidup kami?" tanya Raja.
"Ya, saya terlalu tamak jika masih berharap bisa menjadi suami Ratu dan ayah Ayunda. Melihat mereka tersenyum lagi sudah lebih dari cukup. Saya akan menceraikan Ratu walau perjanjian masih mengikat sampai usia Ayunda lima belas tahun," jawab Rendra.
Raja sedikit tertarik dengan niat Rendra, tapi mulutnya masih sulit memberi izin Rendra.
"Tuan tidak perlu menjawabnya sekarang, silakan dipikirkan dulu dan kalau sudah ada jawabannya silakan hubungi saya." Rendra meletakkan kartu namanya di meja dan setelah itu langsung meninggalkan ruang kerja Raja.
Rendra membuang napasnya setelah keluar dari ruang kerja Raja. Matanya sibuk mencari Pak Satria dan tanpa sengaja ia melihat gadis kecil sedang duduk di kursi sambil memainkan boneka yang pernah ia kirim sebagai hadiah ulang tahun anaknya.
"Ayunda," ujar Rendra lirih. Saat hendak menghampiri Ayunda tiba-tiba tangannya ditarik Pak Satria.
"Jangan Mas,"
"Saya hanya ingin menyapanya. Dia putri saya Pak," ujar Rendra pelan.
"Jangan, sekarang bukan waktunya."
****