Bab 15

1125 Kata
Frans melangkah masuk ke kamar hotel itu dengan langkah pelan, matanya langsung menyapu seluruh ruangan. Aroma bunga mawar segar bercampur dengan wangi lilin aromaterapi menyambutnya. Di tengah ruangan, ranjang besar dengan seprai putih bersih penuh dengan kelopak mawar merah yang tersusun membentuk hati. Dahi Frans berkerut. Rahangnya mengeras. “Celine… apa maksud semua ini?” tanyanya dengan nada datar, meski jelas terdengar nada peringatan. Celine berdiri di tepi ranjang, bibirnya tersenyum tipis. “Kejutan. Kamu selalu bilang tidak punya waktu untuk kita… jadi, aku memutuskan membuat waktu itu sendiri.” Frans menggeleng perlahan, matanya tajam. “Aku tidak tertarik bermain seperti ini. Kita pulang sekarang.” “Pulang?” Celine melangkah pelan, suara hak tingginya terdengar lembut di karpet tebal. “Kamu sudah ada di sini, Frans. Lihat sekelilingmu… ini sempurna. Kita bisa bicara di sini.” “Bicara?” Frans mengangkat alisnya. “Di kamar pengantin?” Celine terkekeh pelan. “Supaya kita bisa bicara… sambil melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan.” Frans mengangkat tangannya, menahan jarak ketika Celine mencoba mendekat. “Celine, hentikan. Aku tidak akan melakukannya.” “Oh? Karena kamu tidak mau… atau karena kamu takut nanti kamu menyukainya?” Nada suara Celine terdengar licik, matanya menatap penuh tantangan. Frans menarik napas panjang. “Aku tidak mencintaimu, Celine. Dan aku tidak akan memanfaatkan situasi ini.” Celine pura-pura terkejut, kedua tangannya terlipat di depan d**a. “Memanfaatkan? Frans, aku ini istrimu. Sah. Resmi. Semua orang tahu kita menikah. Apa salahnya jika kita… menjalani peran kita sepenuhnya?” “Peran kita,” Frans menekankan kata itu, “adalah menjalani pernikahan ini sesuai kesepakatan awal. Dan kesepakatannya jelas—jangan pernah menggoda aku.” Celine tersenyum tipis, berjalan memutari Frans seperti kucing yang sedang mengitari mangsanya. “Kesepakatan dibuat untuk dilanggar… apalagi kalau aku melihat kamu mulai gelisah seperti sekarang.” Frans menahan diri untuk tidak terpancing. “Aku tidak gelisah.” “Oh ya?” Celine berhenti tepat di belakangnya, ujung jarinya menyentuh bahunya dengan lembut. “Kalau begitu… kenapa kamu tidak berani menatapku sekarang?” Frans berbalik cepat, membuat Celine sedikit mundur. “Karena aku tahu, kalau aku ikut permainanmu, kamu akan menganggap dirimu menang.” Celine memiringkan kepala, senyumnya makin lebar. “Siapa bilang aku belum menang sekarang?” Frans menghela napas kasar. “Kita pulang.” Ia meraih ponselnya, menekan nomor sopir. Tapi Celine dengan cepat merebut ponsel itu, mematikannya, lalu meletakkannya di meja rias. “Tidak, Frans. Untuk kali ini… biarkan aku yang memutuskan kapan kita pergi.” Frans menatapnya lama, mencoba membaca niat di balik senyum itu. “Kamu benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti.” Celine mengangkat dagu, suaranya rendah dan mantap. “Dan kamu tidak tahu kapan harus mulai.” Keheningan memenuhi ruangan. Hanya terdengar dengung lembut dari AC dan gemeretak api lilin. Frans akhirnya mundur, membuka pintu. “Tidurlah sendiri di sini. Aku tidak akan menjadi bagian dari rencanamu.” Celine hanya menatap punggungnya yang menjauh, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Oh, Frans… kamu pikir kamu menang malam ini? Percayalah, ini baru permulaan.” Frans melangkah keluar, namun kata-kata itu terus bergema di kepalanya—membuatnya sadar bahwa permainan Celine baru saja dimulai. *** Celine duduk bersandar di kepala ranjang, matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar hotel yang gelap. Kelopak mawar masih berserakan di lantai, tapi suasana romantis yang ia siapkan sore tadi sudah hancur bersama harga dirinya ketika Frans menolak menyentuhnya. Ia menguap pelan, tapi kantuk sama sekali tidak datang. Sebaliknya, pikirannya malah semakin aktif. “Kalau aku terus menunggu… Frans tidak akan pernah luluh,” batinnya. Celine memutar otak. Cara manis? Sudah. Cara frontal? Ditolak mentah-mentah. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu senyum tipis mulai terbentuk di wajahnya. “Mungkin… aku harus sedikit nakal,” gumamnya, tatapannya tajam penuh rencana. Ia bangkit dari ranjang, berjalan ke meja rias, dan duduk di depan cermin. Jemarinya bermain dengan botol parfum, tapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat obrolan dengan salah satu temannya di klub malam—tentang “trik-trik” membuat pria tidak bisa menolak. Pikirannya berputar cepat. “Kalau Frans tidak mau dengan sadar… aku akan membuatnya mau tanpa sadar,” bisiknya. Senyum licik terukir di bibirnya. Ia membayangkan esok pagi, Frans duduk menikmati minumannya, tidak tahu bahwa Celine sudah mencampurkan sesuatu ke dalam gelas itu. Sesuatu yang akan membuat tubuhnya panas, pikirannya kabur, dan… tidak bisa lagi berpura-pura dingin padanya. Jantung Celine berdetak lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena antisipasi. Ia kembali ke ranjang, menarik selimut, dan memejamkan mata—kali ini bukan untuk tidur, melainkan untuk memvisualisasikan setiap detail rencananya. “Bersiaplah, Frans,” bisiknya di kegelapan. “Besok malam kamu tidak akan bisa lari dariku lagi.” *** Lampu neon berwarna biru, ungu, dan merah menyapu wajah Frans ketika ia melangkah masuk ke klub malam. Dentuman musik yang keras membuat dadanya bergetar. Aroma campuran alkohol, parfum mahal, dan asap rokok langsung menyeruak memenuhi hidungnya. Frans menurunkan resleting jaket kulitnya sedikit, lalu berjalan menuju bar dengan langkah mantap. Pandangan matanya lurus ke depan, sama sekali tidak memedulikan tatapan beberapa wanita yang langsung melirik ketika ia lewat. “Whisky on the rocks,” ujarnya datar kepada bartender. Gelas diletakkan di depannya, es batu beradu pelan dengan cairan keemasan. Frans meneguknya tanpa banyak pikir. Panas alkohol mengalir di tenggorokannya, sedikit mengurangi rasa tegang yang mengikat kepalanya sejak siang tadi. Sosok-sosok wanita mulai bergerak mendekat. Seorang perempuan berambut pirang duduk di sebelahnya, tangannya menyentuh pelan lengan Frans. “Sendirian?” tanyanya dengan suara manja. Frans menatap sekilas, kemudian memalingkan wajahnya. “Pergi.” Satu kata saja, dingin, tapi cukup untuk membuat perempuan itu tersenyum canggung lalu menjauh. Tidak lama kemudian, seorang lagi datang. Kali ini perempuan bergaun merah ketat yang bahkan lebih agresif. Ia mencondongkan tubuh, sengaja memperlihatkan belahan dadanya. “Kau kelihatan tegang. Mau aku temani?” Frans mendengus pelan. “Tidak tertarik.” Satu per satu mereka datang, mencoba berbagai cara untuk menarik perhatiannya, dan satu per satu pula ia singkirkan tanpa ampun. Malam ini bukan untuk bermain. Ia hanya ingin minum, melupakan keribetan yang dibawa Celine ke hidupnya. Namun meskipun begitu, bayangan Celine tetap muncul di pikirannya. Senyum licik gadis itu, tatapan matanya yang penuh tantangan… semua kembali mengganggu. Frans memijat pelipisnya sambil menghela napas berat. Di sudut matanya, ia menangkap kilasan gerakan. Seorang wanita berpakaian hitam sedang menatapnya dari jauh. Namun tatapan itu berbeda—tidak agresif, tidak mencoba memikat. Hanya diam, mengamati. Entah kenapa Frans merasa seperti sedang dijelajahi. Ia mengabaikannya, kembali meneguk whisky. Dentuman musik berubah, semakin cepat, menandakan malam semakin larut. Tapi di tengah hingar-bingar itu, Frans tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri, membiarkan rasa panas alkohol mengisi tubuhnya, sambil berharap bisa benar-benar melupakan Celine—setidaknya untuk malam ini. Yang tidak ia tahu, di kamar hotel, Celine sedang menyusun rencana liciknya. Untuk membuat Frans menjadi miliknya seutuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN