Bab 14

1180 Kata
Frans mendorong pintu rumahnya dengan sedikit keras. Udara malam Jakarta yang lembap seolah menempel di tubuhnya, menambah berat langkahnya. Helaan napas kasar keluar, seperti beban di dadanya belum juga terangkat. Percuma! Pikirnya. Mengadu ke Papa hanya berakhir dengan satu hal: Celine dibela habis-habisan. Begitu kakinya melewati ambang pintu, aroma lembut parfum bunga menyusup ke hidungnya. Celine berdiri di ruang tamu, mengenakan gaun tidur tipis berwarna pastel yang jatuh lembut di bahunya. Rambutnya terurai, sedikit bergelombang, dan dengan gerakan pelan ia mengibaskannya ke belakang sambil menatap Frans penuh arti. “Selamat malam, sayang,” ucap Celine manis, bibirnya melengkung dalam senyum yang—ia tahu betul—bisa membuat banyak pria kehilangan akal sehat. “Capek ya? Mau aku pijitin?” Frans hanya menggumam, “Tidak usah,” tanpa menoleh terlalu lama. Celine mendekat, langkahnya pelan, seperti kucing yang sedang mengendap. “Aku sudah siapkan teh hangat di meja. Atau…” ia menyandarkan sedikit tubuhnya ke arah Frans, “kalau mau… kita bisa langsung ke kamar. Aku tahu kamu pasti lelah. Aku bisa bikin kamu rileks dengan cara lain.” Frans menghela napas berat sekali. Tanpa menjawab, ia langsung berjalan melewatinya menuju lorong, langkahnya mantap. “Frans…” panggil Celine, sedikit nada kecewa tapi masih ada usilnya. Dia berhenti sebentar, menoleh dengan ekspresi datar. “Aku tidur di kamar tamu.” Celine mengerjapkan mata, lalu tertawa pendek, meski tawa itu jelas-jelas ada nada kesal di dalamnya. “Serius? Setelah aku berpenampilan seksi gini, kamu malah milih kamar tamu? Apa aku segitu nyebelnya buat kamu?” Frans tidak menjawab, hanya melanjutkan langkah. Celine mengepalkan tangan di samping tubuhnya. “Baiklah. Kalau kamu pikir aku akan menyerah, kamu salah besar,” gumamnya pelan tapi cukup keras untuk Frans dengar. Frans membuka pintu kamar tamu, masuk, lalu menutupnya. Sementara di luar, Celine berdiri menatap pintu itu dengan tatapan penuh tekad. Aku akan buat kamu bertekuk lutut suatu hari nanti, Frans. Lihat saja. --- Malam itu, Celine duduk di ruang tamu sendirian, memainkan gelas teh yang sudah mulai dingin. Ia menatap ke arah pintu kamar tamu beberapa kali, tapi tidak ada tanda-tanda Frans akan keluar. Ia menggigit bibir, lalu senyum licik mulai terbentuk. Kalau dia nggak mau datang padaku, aku yang akan mendekatinya. --- Pagi berikutnya, Frans keluar dari kamar tamu dengan rambut sedikit berantakan. Di meja makan, Celine sudah duduk, menyilangkan kaki, memakai gaun kerja yang entah kenapa terasa terlalu… mencolok untuk kantor. Blazer putih tipis, rok pensil ketat, dan kancing atas blusnya yang sengaja tidak dikaitkan sepenuhnya. “Pagi,” ucapnya sambil tersenyum manis. “Kita sarapan bareng? Sekalian aku ikut kamu ke kantor, kan aku sekarang sekretaris kedua kamu.” Frans menatapnya lama. “Celine… pakaian seperti itu… nggak pantas untuk meeting bisnis.” Celine mengedipkan mata. “Kenapa? Takut kamu nggak bisa fokus?” Frans mendengus, mengambil kopi dari meja, dan berjalan keluar tanpa menyentuh sarapan. “Cepat ganti baju kalau mau ikut.” Celine justru tertawa kecil, lalu meminum jus jeruknya. “Nggak perlu, sayang. Justru aku mau semua orang di kantor tahu kalau bosnya ini punya istri yang… begitu cantik dan seksi.” *** Langkah-langkah sepatu hak tinggi Celine terdengar nyaring di lantai marmer kantor pusat Grup Devaron. Setiap klik-klak membuat kepala beberapa karyawan menoleh, tapi buru-buru memalingkan wajah saat melihat apa yang dipakai istri bos besar mereka. Blus putih tipis dengan potongan leher yang rendah, rok mini ketat yang nyaris tak menutupi paha, dan tumit tinggi yang membuat langkahnya semakin memikat perhatian. Frans berjalan di sampingnya, rahangnya mengeras, tangan kirinya menggenggam map berisi dokumen kontrak, tangan kanannya menahan diri untuk tidak menarik Celine ke arah lift dan memarahinya di tempat. Di ujung lorong, tiga orang klien—dua pria paruh baya dan satu wanita muda—sudah berdiri menunggu di depan ruang meeting. Mereka sempat melirik ke arah Frans, namun begitu mata mereka tanpa sengaja turun ke tubuh Celine, refleks mereka menunduk cepat-cepat, seakan takut kepala mereka dipenggal. Frans memperhatikan itu semua. Nada suaranya dingin ketika ia berbisik ke telinga Celine. “Senang, ya? Bikin semua orang susah ngeliat ke arah kita.” Celine malah tersenyum manis. “Lho, kan itu bagus. Berarti aku menarik. Istrimu cantik, semua orang tahu.” “Celine…” Frans menahan napasnya supaya nada marahnya tidak terdengar semua orang. “Pakaian ini… terlalu—” “—terlalu mempesona?” Celine memotong kalimatnya dengan tatapan jahil. “Aku cuma mau kelihatan presentable di depan klien pentingmu.” Frans menatapnya dengan sorot mata yang jelas-jelas berkata jangan main-main sama aku, tapi ia harus menahan diri. Ini bukan tempatnya untuk adu mulut. Begitu masuk ruang meeting, Frans memberi kode pada asistennya untuk menutup pintu rapat. Para klien sudah duduk, tapi tatapan mereka—meski hanya sekilas—masih sempat melirik ke arah Celine. “Silakan duduk,” kata Frans, nada formalnya mencoba menutupi kemarahan yang menggelora. Celine tidak langsung duduk di kursi biasa. Ia memilih kursi di sebelah Frans, jaraknya terlalu dekat untuk ukuran pertemuan bisnis, lalu menyilangkan kaki perlahan. Roknya tersingkap sedikit, cukup untuk membuat Frans memalingkan wajah sambil meremas map di tangannya. Salah satu klien, Pak Arman, mencoba berbicara dengan sopan. “Ah… ini berarti… istri Anda, Pak Frans?” Frans mengangguk singkat. “Ya. Dia hanya akan… mengamati.” Celine tersenyum lebar, menyandarkan dagu di telapak tangan. “Tepat sekali. Saya ingin melihat bagaimana suami saya bekerja. Mungkin saja saya bisa… membantu.” Frans meliriknya tajam. “Kamu di sini cukup diam saja, Celine.” “Aku akan diam,” Celine menjawab sambil tersenyum manis. “Asal kamu nanti mau ngobrol berdua setelah rapat selesai.” Frans menghela napas panjang. “Fokus, Celine. Kita sedang—” “—bisnis, ya, aku tahu.” Celine menahan tawa, seolah menikmati setiap detik Frans menahan emosi. Sepanjang meeting, Celine tidak benar-benar diam. Kadang ia menggeser kursinya mendekat, pura-pura melihat dokumen di tangan Frans. Kadang ia mencondongkan tubuhnya, membisikkan komentar yang sebenarnya tidak penting sama sekali—tentang dasi Frans yang katanya miring sedikit, atau tentang cara klien tersenyum. Frans beberapa kali memijat pelipisnya. Para klien menahan senyum kaku, seolah paham ada badai rumah tangga yang sedang ditahan di ruang ini. Akhirnya rapat selesai. Para klien berdiri, menjabat tangan Frans, lalu cepat-cepat keluar. Begitu pintu tertutup, Frans menoleh penuh ke arah Celine. “Kita perlu bicara. Sekarang.” Celine berdiri santai, memungut tasnya. “Oke. Tapi aku yang tentuin tempatnya.” Frans menatapnya tak percaya. “Celine—” “Tenang, sayang. Aku janji… tempatnya nggak jauh-jauh kok,” jawabnya sambil berjalan keluar, melenggang tanpa rasa bersalah. Frans tahu satu hal pasti: mengatur Celine rasanya seperti mencoba memegang pasir basah—semakin dia genggam, semakin banyak yang lolos dari tangan. Frans tidak tahu sampai kapan dirinya akan bertahan dengan perangai Celine seperti ini. Yang membuat kepalanya rasanya mau pecah setiap saat dengan kelakuan istri kecilnya ini. Benar-benar Celine menguji kesabarannya sebagai seorang suami. Dan mana Celine selalu dibela oleh orang tua Frans dan Frans yang disuruh mengerti Celine. Mengerti?! Yang ada Frans akan terkena penyakit jantung meladeni Celine terus menerus. Membuat dirinya akan masuk rumah sakit jiwa juga karena menghadapi tingkah Celine yang gila ini!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN