Ruang meeting lantai 15 itu sunyi, hanya terdengar suara pendingin ruangan dan dentingan gelas kopi yang diletakkan di meja. Frans duduk di ujung meja panjang, jas hitamnya rapi, wajahnya serius. Di seberang, dua orang klien penting duduk sambil membuka dokumen proposal.
Namun fokus Frans bukan sepenuhnya ke dokumen di depannya. Pandangannya terus saja, tanpa mau, melirik ke kursi paling ujung… tempat Celine duduk.
Wanita itu tampak santai sekali, tidak peduli suasana formal. Satu tangan menopang dagu, tangan lain sibuk memutar-mutar ujung rambut panjangnya. Sesekali ia menguap kecil, lalu mengedarkan pandangan, bahkan tersenyum pada salah satu klien—yang tentu saja membuat Frans mengetatkan rahang.
Celine… aku bersumpah, kamu cari gara-gara di saat yang salah, pikir Frans sambil menarik napas kasar.
“Seperti yang ada di slide ini,” suara salah satu manajer memecah lamunannya, “proyeksi pertumbuhan bisa mencapai 20% tahun depan jika kita—”
“Permisi,” tiba-tiba Celine angkat tangan.
Semua kepala menoleh padanya. Frans langsung menatap tajam. “Celine.”
Celine tersenyum manis. “Aku cuma mau bilang… kalau warna di slide ini terlalu pucat. Kalau aku jadi investor, aku pasti bosan lihatnya. Lebih bagus kalau lebih cerah sedikit, kan?”
Klien saling pandang, salah satunya tertawa kecil. “Hmm… ya, mungkin ada benarnya.”
Frans memijat pelipisnya. “Celine, ini bukan—”
“Aku kan sekretaris, Frans,” potong Celine sambil menyandarkan punggung di kursi. “Masa aku nggak boleh kasih masukan?”
Frans menatapnya dengan tatapan ‘nanti kita bicara’, lalu melanjutkan presentasi dengan ekspresi setegang baja.
Setengah jam kemudian, meeting selesai. Klien keluar sambil tersenyum, bahkan sempat melirik Celine. “Senang sekali bertemu dengan istri Anda, Pak Frans. Cantik sekali dan… energik.”
Frans hanya tersenyum tipis, lalu menutup pintu ruang meeting begitu klien pergi. Begitu pintu menutup, dia langsung berbalik menghadap Celine.
“Keluar,” ucapnya pelan tapi penuh tekanan.
Celine berkedip polos. “Kenapa? Kan aku tadi bantu—”
“Kamu tadi bikin meeting jadi nggak fokus,” potong Frans. “Aku sudah bilang, ini tempat kerja, bukan tempat kamu main-main.”
Celine berdiri, berjalan pelan mendekat, lalu bersandar di meja meeting. “Kamu takut aku bikin kamu nggak fokus, ya?” suaranya sengaja dibuat rendah.
Frans mendengkus. “Aku akan bicara sama Papa. Kamu nggak akan lama di sini.”
“Silakan,” Celine tersenyum tipis. “Tapi Papa kamu yang nyuruh aku di sini, Frans. Jadi… mau nggak mau, kamu harus tahan aku setiap hari.”
Frans menatapnya lama, matanya dingin, tapi di dalam hatinya dia tahu satu hal: ini baru awal, dan Celine tidak akan menyerah begitu saja.
***
Langkah Frans terdengar mantap menapaki marmer mengkilap rumah besar keluarganya. Napasnya berat, matanya tajam, wajahnya menunjukkan jelas—dia datang bukan untuk bersilaturahmi manis, tapi untuk menyampaikan protes besar-besaran.
Dia memutari ruang tamu, lalu menoleh ke arah salah satu pelayan yang sedang menyusun vas bunga di meja.
“Pak Edo di mana?” tanya Frans singkat.
Pelayan itu menunduk sopan. “Tuan Besar ada di halaman belakang, Tuan Frans. Sedang minum teh bersama Nyonya Besar.”
Frans mengangguk sekali, langsung melangkah cepat. Setiap hentakan sepatunya di lantai terasa seperti dentum kecil kemarahan yang tertahan.
Begitu membuka pintu kaca besar menuju halaman belakang, aroma teh melati dan suara gemericik air kolam koi menyambutnya. Di bawah naungan payung besar, Papa dan Mama-nya duduk santai. Edo—lelaki paruh baya yang tetap tampak berwibawa meski rambutnya mulai memutih—menyandarkan punggung di kursi rotan, mengenakan kemeja putih santai. Di sebelahnya, Mama Frans, yang selalu anggun, sedang menyesap teh sambil tersenyum tipis melihat kedatangan putra mereka.
“Papa,” suara Frans langsung berat dan tegas.
Edo menoleh, bibirnya terangkat membentuk senyum kecil. “Wah, anak Papa datang tanpa kabar. Ada apa? Jangan bilang cuma mau makan gratis di sini. Suruh istrimu masak dong, jangan nikmati makanan buatan istri Papa kamu!”
Frans menarik kursi, duduk dengan gerakan agak keras. “Bukan soal makan, Pa. Ini soal Celine.”
Mama Frans mengangkat alis, lalu melirik suaminya. “Soal menantu kita? Apa lagi yang dia lakukan?”
Frans menghembuskan napas kasar. “Papa tahu nggak, Celine sekarang jadi sekretaris aku di kantor. Dan dia… dia bukan cuma datang duduk diam. Dia ganggu meeting, bikin suasana jadi nggak profesional, dan—”
Edo langsung tertawa lebar, menepuk meja sampai gelas teh sedikit berguncang. “Hahaha! Memangnya kenapa? Papa pikir itu lucu sekali. Anak muda itu pintar cari cara biar dekat sama suaminya. Cerdas!”
Frans menatap ayahnya tajam. “Lucu? Pa, ini kerjaan serius. Aku nggak bisa fokus kalau dia terus-terusan ikut campur urusan bisnis.”
Mama Frans tersenyum samar, tapi matanya penuh arti. “Kamu ini, Frans… dari dulu terlalu kaku. Celine kan istri kamu. Wajar kalau dia ingin ikut membangun bisnis keluarga. Lagipula, siapa tahu dia membawa sudut pandang baru. Dan sering marahh-marah sama Celine. Bidadari nggak layak dimarahin.”
Frans menggeleng keras. “Dia nggak tertarik membangun bisnis, Ma. Dia cuma tertarik membuat aku pusing. Dan Papa yang kasih izin dia masuk kantor?!”
Edo mengangkat bahu, santai. “Ya. Papa pikir ini cara yang bagus supaya kalian lebih sering bertemu. Mungkin kalau sering bersama, pernikahan kalian bisa… berkembang dan bisa kasih cucu secepatnya.”
Frans mengetukkan jarinya ke meja, menahan emosi. “Pa, yang ada aku nggak bisa kerja dengan tenang. Klien-ku malah memperhatikan dia lebih banyak daripada pembahasan proyek.”
Edo justru tersenyum semakin lebar. “Bagus dong. Artinya, klien senang.”
Frans bersandar di kursinya, menghela napas berat. “Ini bukan lelucon. Aku minta Papa tarik dia keluar dari kantor. Sekarang.”
Mama Frans ikut menatap suaminya. “Edo, kamu serius mau mempertahankan dia di sana?”
Edo menatap Frans tajam tapi santai, sambil mengangkat cangkir teh. “Bukan cuma mempertahankan, aku malah akan membuat dia ikut ke setiap pertemuan penting. Dan mulai minggu depan, Celine akan duduk di sebelahmu saat rapat direksi.”
Frans hampir tak percaya. “Papa… ini gila.”
Edo menaruh cangkirnya, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Yang gila itu kamu, Frans. Punya istri cantik, pintar, mau berusaha dekat denganmu, malah kamu tolak mentah-mentah. Papa sudah lihat banyak pernikahan gagal karena suami dan istri jarang bertemu. Aku nggak mau itu terjadi di keluarga ini.”
Frans terdiam, rahangnya mengeras. Dia tahu, kalau Papa sudah bicara seperti ini, membantah hanya akan membuatnya tampak tidak menghormati keputusan kepala keluarga.
Mama Frans kemudian tersenyum kecil, menambahkan garam ke luka putranya. “Lagipula, Celine itu punya pesona yang tidak kamu sadari. Mungkin suatu saat, kamu akan berterima kasih karena Papa tidak mendengarkan protesmu hari ini.”
Frans menunduk sebentar, menarik napas panjang, lalu berdiri. “Baik. Tapi kalau kantor jadi kacau karena dia, jangan salahkan aku.”
Edo hanya melambaikan tangan santai. “Kantor kita sudah pernah melewati badai yang lebih besar, Frans. Hadapi saja istrimu itu.”
Frans berjalan keluar dari halaman belakang dengan langkah panjang, tapi di dalam kepalanya, satu pikiran terus berputar: Ini belum berakhir. Kalau Papa pikir aku akan menyerah, dia salah besar. Aku akan membuat Celine keluar dengan sendirinya dari perusahaan. Gadis kecil tengik itu! Hanya buat onar saja!