Bab 12

1459 Kata
Pintu kamar hotel mewah itu terbuka dengan suara klik. Frans mendorong Celine masuk, langkahnya tegas dan tanpa kompromi. Celine terhuyung sedikit, tapi tetap berdiri tegak, lalu memutar tubuhnya menghadap Frans dengan senyum miring. “Astaga… galak amat. Kayak aku maling aja,” godanya sambil melepas sandal hak tingginya. Frans menutup pintu di belakangnya, lalu berdiri bersandar sebentar, menatap Celine dengan mata dingin. “Besok subuh kita terbang ke Jakarta. Semua barang-barangmu di villa udah aku suruh asisten bawa ke bandara. Nggak ada alasan lagi untuk kamu kelayapan di sini.” Celine tersenyum lebih lebar, berjalan pelan mendekat. “Cepet banget ngatur-ngatur hidup aku, Frans. Kayaknya kamu lupa… aku ini istri kamu.” Ia berhenti tepat di depannya, tangannya naik melingkari leher Frans, tubuhnya menempel. “Daripada marah-marah terus… gimana kalau kita bikin malam ini lebih… hangat?” Frans menahan nafas sejenak, lalu mendengkus keras. “Berhenti, Celine.” “Oh, jadi kamu takut?” Celine menyipitkan mata, suaranya lirih tapi penuh tantangan. “Takut kalau kamu nggak bisa nahan diri?” Frans melepaskan tangan Celine dari lehernya satu per satu. “Bukan takut. Aku nggak mau. Aku nggak mencintai kamu. Dan aku nggak akan… menyentuh kamu seperti itu.” Celine tertawa pendek, tapi ada kilatan terluka di matanya. “Lucu. Kamu bisa nikahin aku, bisa bawa aku kemana-mana, tapi sentuh pun nggak mau? Lalu, buat apa aku ada di sini?” Frans melangkah melewatinya, menuju jendela besar kamar yang menampilkan pemandangan pantai Bali di malam hari. “Untuk jaga nama baik keluarga. Itu saja.” Kata-kata itu menusuk. Celine melipat tangan di d**a, lalu berjalan pelan mendekati Frans lagi. “Nama baik keluarga? Jadi aku cuma… hiasan di samping kamu?” Frans tak berbalik, hanya menatap keluar jendela. “Kalau kamu mau mikir begitu, terserah.” Celine berdiri di belakangnya, menatap punggungnya yang tegap itu. “Kamu pikir aku akan menyerah cuma karena kamu ngomong nggak mau? Frans… semua laki-laki punya titik lemah. Aku akan temukan punyamu.” Frans menghela napas, lalu menoleh, tatapannya tajam. “Kamu membuang waktu.” “Bukan buang waktu kalau taruhannya… hati kamu,” jawab Celine cepat, tersenyum tipis. Frans terdiam beberapa detik, lalu berjalan ke meja, meraih ponselnya. “Tidur. Jam empat pagi kita berangkat.” Celine mengangkat alis. “Kamu tidur di sini atau mau kabur ke kamar lain?” Frans menatapnya sekali lagi, lalu berkata singkat, “Aku tidur di sofa.” Celine tersenyum licik, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Ia melangkah ke ranjang besar itu, rebahan, lalu menatap langit-langit. Sementara Frans duduk di sofa dengan wajah dingin, tapi pikirannya entah kenapa terasa sedikit… terusik. *** Udara pagi di bandara masih terasa dingin. Lampu-lampu di langit-langit terminal memantulkan cahaya pucat di lantai mengilap. Frans berjalan cepat sambil menyeret koper kabinnya, wajahnya tegang, sedangkan di sebelahnya Celine melangkah santai, heelsnya berderap pelan di lantai. “Cepet dikit, Celine,” ucap Frans pendek tanpa menoleh. Celine malah tersenyum dan memperlambat langkah. “Kenapa buru-buru banget, sih? Pesawatnya masih satu jam lagi.” Frans menghela napas kasar, matanya menyipit. “Karena aku nggak mau telat. Aku benci telat.” “Benci telat atau benci jalan bareng aku?” Celine menatapnya dengan tatapan nakal. Frans melirik sebentar, lalu mengalihkan pandangan. “Jangan mulai.” Celine terkikik kecil. “Kamu nggak bisa nyembunyiin ekspresi, Frans. Wajah kamu itu kayak papan pengumuman gratis.” Mereka sampai di konter check-in. Frans langsung menyerahkan dokumen dan tiket, sementara Celine bersandar santai di meja, memerhatikan petugas yang sesekali melirik dirinya. Dia sengaja tersenyum manis, membuat Frans menggeram pelan. “Hentikan itu,” bisik Frans pelan tapi penuh tekanan. “Apa?” Celine menaikkan alis pura-pura polos. “Senyum?” Frans hanya mendengkus, mengambil boarding pass, lalu menyerahkan satu ke Celine. “Pegang. Jangan hilang.” Saat mereka berjalan menuju pemeriksaan keamanan, Celine mendekatkan wajahnya ke telinga Frans. “Kamu cemburu?” “Tidak,” jawab Frans cepat. “Kamu cemburu,” balas Celine yakin. Frans menatapnya tajam. “Celine, tolong diam.” “Kalau kamu mau aku diam… ada caranya,” bisik Celine sambil tersenyum penuh arti. Frans memutuskan tidak membalas. Mereka melewati pemeriksaan, lalu menuju ruang tunggu. Celine memilih duduk di kursi dekat jendela yang menghadap landasan pacu, sedangkan Frans berdiri sambil memeriksa ponselnya. “Kamu nggak duduk?” tanya Celine sambil memiringkan kepala. “Kalau aku duduk, nanti kamu mulai ngomong lagi,” jawab Frans datar. Celine menghela napas dramatis. “Sombong banget, kayak aku bakal ganggu kamu.” “Memang iya,” Frans menanggapi tanpa menoleh. Panggilan boarding terdengar, dan mereka bergerak ke pintu masuk pesawat. Di lorong sempit menuju pintu pesawat, Celine sengaja berjalan sedikit di depan, melirik ke belakang dengan tatapan menantang. “Kamu yakin nggak mau duduk sebelahan sama aku? Nanti aku bisa pindah loh, duduk sama orang lain.” Frans meraih lengannya pelan, tapi cukup kuat. “Kamu duduk di sebelah aku. Titik.” Celine tersenyum puas. “Nah, gitu dong. Ada juga sisi posesifnya.” Begitu duduk di kursi pesawat, Frans bersandar, menutup mata, mencoba memanfaatkan waktu satu setengah jam penerbangan untuk istirahat. Celine menatapnya lama, lalu bersandar juga. “Tidurlah, Frans,” katanya pelan. “Nanti sampai Jakarta kamu bisa kerja tenang… setelah aku kasih kejutan.” Frans membuka mata sedikit. “Kejutan apalagi?” “Rahasia.” Frans menutup mata lagi, tapi hatinya sedikit tidak tenang. ** Begitu roda pesawat menyentuh landasan Halim, Frans hanya ingin satu hal: pulang sebentar mandi, lalu langsung ke kantornya untuk membereskan masalah yang sudah menumpuk. Tapi semua rencana itu buyar seketika. Begitu mereka keluar dari terminal kedatangan, Frans melihat supir keluarga sudah berdiri di dekat mobil hitam mewah, menunduk sopan. Frans melangkah ke arahnya… tapi tiba-tiba suara manja sekaligus memerintah dari sebelahnya membuat darahnya naik ke kepala. “Kamu boleh pulang, Pak Supir,” kata Celine sambil tersenyum lebar. Supir itu menatap bingung. “Eh… tapi Nyonya, saya disuruh—” “Aku yang nyetir.” Celine menepuk kap mobil. “Biar aku bawa suamiku tercinta langsung ke kantornya. Lebih cepat, lebih seru.” Frans menatapnya dengan tatapan yang kalau bisa membunuh, Celine sudah jadi arang. “Celine. Jangan macam-macam. Kita naik mobil ini, dan dia yang nyetir.” Celine malah mengambil kunci dari tangan supir. “Nggak. Aku udah janji mau kasih kejutan, dan ini baru pemanasannya.” Frans menggeram. “Kembalikan kuncinya. Sekarang.” Celine menaikkan alis, tersenyum nakal. “Kalau nggak mau, kejar aku.” Dengan lincah, dia membuka pintu pengemudi dan duduk, lalu menyalakan mesin. Supir melangkah mundur, jelas takut terjebak di tengah kemarahan majikan. Frans terpaksa masuk ke kursi penumpang depan sambil menahan diri agar tidak meledak di depan umum. Mobil melaju keluar dari bandara. Frans memijat pelipisnya. “Celine, kamu pikir ini lucu? Aku capek, dan aku mau—” “Tahu nggak kejutan utamanya apa?” potong Celine. Frans menatapnya curiga. “Jangan bilang kamu beli racun buat aku.” Celine tertawa. “Bukan. Mulai hari ini… aku resmi jadi sekretaris keduamu di kantor.” Frans membeku. “Apa?” Celine mengangkat dagu, bangga. “Udah disetujui Papa kamu. Jadi aku akan selalu ada di samping kamu, nemenin kerja, bikin kopi, ngatur jadwal… dan mungkin ngacak-ngacak sedikit hidupmu biar nggak terlalu kaku.” Frans menoleh penuh ke arahnya, matanya tajam seperti pisau. “Kamu gila. Itu kantor, bukan panggung sandiwara. Aku nggak mau ada drama di sana.” “Sayangnya…” Celine meliriknya sambil tersenyum licik, “aku udah tanda tangan kontrak, dan HRD udah siapin meja kerja di ruangan kamu.” Frans mendengkus keras. “Ayahku memang senang bikin aku gila.” Mobil mereka akhirnya sampai di depan gedung perusahaan Frans yang menjulang tinggi. Begitu turun, beberapa karyawan yang baru datang pagi itu langsung terbelalak melihat bos mereka datang bersama… istrinya, yang cantik tapi terkenal punya reputasi ‘meledak-ledak sekaligus nakal’. Celine berjalan percaya diri ke lobby, heels-nya berketuk-ketuk lantai marmer. Resepsionis langsung berdiri. “Selamat pagi, Nyonya.” “Pagi juga,” jawab Celine manis. “Tolong siapkan kopi untuk suamiku. Hitam, tanpa gula. Dan…” ia menoleh pada Frans, “…untuk aku, latte caramel extra whipped cream.” Frans menahan napas. “Celine…” “Tenang, aku sekretaris sekarang. Harusnya aku yang pesenin kopi buat kamu, kan?” Mereka masuk lift. Frans bersandar di dinding lift, menatap langit-langit seolah memohon kekuatan Tuhan. “Kamu sadar nggak, semua mata bakal tertuju ke kamu? Dan aku nggak mau orang kantor ngomongin kita.” Celine hanya tersenyum tipis. “Biarkan mereka ngomong. Lagian… bukankah lebih enak kalau semua orang tahu aku ini milikmu? Jadi nggak ada perempuan lain yang coba-coba.” Frans menghela napas panjang, mencoba menahan emosi. “Kamu akan bikin aku gila, Celine.” Celine mendekat, berbisik di telinganya. “Itu kan targetku. Kamu tergila-gila padaku sayang.” Celine mencolek dagu Frans sembari tertawa kecil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN