Bab 11

1323 Kata
Sudah tiga hari sejak Frans meninggalkan Bali. Meja kerjanya di kantor Jakarta penuh berkas dan laporan perusahaan, tapi pikirannya sama sekali tidak fokus. Ponsel di sampingnya berdering sesekali, sebagian besar dari orang-orangnya di Bali. Salah satu laporan terakhir yang masuk pagi ini: Celine belum pulang. Bahkan, menurut orang-orangnya, hampir setiap malam dia terlihat di klub malam yang berbeda, kadang bersama teman-teman perempuannya, kadang ditemani lelaki-lelaki yang Frans tidak kenal. Frans menghela napas panjang, meremas pelipisnya. “Perempuan itu…” gumamnya. Jay, yang duduk santai di kursi tamu sambil memainkan ponselnya, langsung tertawa kecil. “Wah, wah… ini baru tiga hari lo udah pusing kayak orang kurang tidur. Padahal waktu di Bali lo yang ninggalin dia.” Frans melirik tajam. “Dia itu… nggak ada kerjaan lain selain bikin orang repot, Jay.” Jay nyengir. “Lah, itu adik gue, Bro. Emang dari dulu kerjaannya bikin orang repot. Tapi gue seneng liatnya. Biasanya cowok-cowok yang dekat sama dia tuh cepat mundur. Lo beda, lo malah tahan banting… meskipun sekarang keliatan mau meledak.” Frans menggeser map di depannya, suaranya datar tapi matanya menyimpan kejengkelan. “Tahan banting? Dia itu terlalu bebas. Nggak tahu aturan. Dan sekarang malah… dugem tiap malam. Lo pikir itu pantas?” Jay memutar kursinya sedikit, lalu mencondongkan tubuh. “Frans… lo lupa? Dia itu Celine. Dia nggak bakal nurut kalau lo larang. Semakin lo tekan, semakin dia ngelawan. Makanya gue bilang, lo harus pintar mainin dia.” Frans menyipitkan mata. “Mainin dia?” Jay mengangguk sambil terkekeh. “Yup. Lo kasih sedikit tali, biar dia pikir bebas. Tapi ujung-ujungnya lo yang narik kendali. Gampang.” Frans mendengus. “Itu teori. Nyatanya, sekarang dia bikin semua orang di Bali ngomongin dia. Klub malam, minuman, cowok-cowok asing… Gue bahkan dapat foto dari orang gue—” Frans meraih ponselnya, mencari file, lalu melempar ponsel itu ke meja di depan Jay. Jay mengambil ponsel itu dan melihat fotonya. Tawa Jay langsung pecah. “Hahaha! Ya ampun, ini Celine banget! Liat nih, pose-nya tuh… sengaja banget buat bikin lo panas.” Frans menatap dingin. “Lo pikir gue nggak tahu?” Jay menyandarkan diri ke kursi lagi, masih tertawa. “Gue rasa dia memang sengaja, Bro. Lo tinggalin dia pas bulan madu? Wah, itu udah kayak ngasih bensin ke api. Sekarang dia balas dendam.” Frans tidak menjawab. Tangannya mengepal di atas meja. Kepalanya dipenuhi bayangan Celine yang menari di lantai klub, tertawa, mungkin dengan tangan seorang lelaki di pinggangnya. Jay mengamati wajah sahabatnya itu, lalu tersenyum miring. “Lo cemburu, kan?” Frans langsung menatap Jay. “Gue nggak cemburu.” Jay mengangkat alis, nada suaranya penuh godaan. “Yakin? Lo nggak cemburu sama cowok-cowok yang liat dia pakai dress ketat itu? Yang belahannya nyaris… yah, lo tahu lah. Gue bahkan bisa bayangin semua mata di klub itu ngikutin dia.” Frans menutup matanya sebentar, mencoba mengatur napas. “Gue cuma nggak mau dia bikin masalah. Itu aja.” Jay tertawa pelan. “Ah, alasan klasik. Padahal lo lagi kesel karena bukan lo yang ada di sebelah dia sekarang.” Frans berdiri, berjalan ke jendela besar kantornya yang menghadap kota Jakarta. Malam mulai turun, lampu-lampu jalan menyala. Suaranya terdengar berat. “Gue nggak ngerti kenapa dia kayak gini. Gue udah jelasin dari awal, hubungan kita ini… bukan tentang perasaan.” Jay bangkit dari kursinya, berjalan mendekat. “Nah itu masalahnya, Frans. Lo pikir hubungan itu bisa dijalanin tanpa perasaan? Celine bukan tipe yang bisa diperlakukan kayak kontrak bisnis. Dia mainnya di ranah yang lo nggak kuasai. Dan lo tahu sendiri kalau Celine itu suka sama Lo senjak dulu.” Frans tetap diam, menatap keluar. Tapi hatinya mulai gelisah. Jay tersenyum licik. “Gue kasih saran gratis nih. Lo mau bikin dia nurut? Lo harus kembali ke Bali, langsung tarik dia keluar dari klub itu di depan semua orang. Liat aja reaksinya.” Frans menoleh, matanya tajam. “Lo pikir gue akan melakukan itu?” Jay mengangkat bahu. “Gue pikir… lo udah mengarah ke sana sekarang. Bro! Jangan permainkan pernikahan. Gue tahu kalau lo malam itu nggak ada niat perkosa adek gue yang nakal itu, tapi, ayolah, kalian udah nikah. Apa salahnya belajar menyukai Celine balik, dia nggak seburuk itu, bahkan adek gue itu cantik dan nggak malu-maluin. Susulin gih! Ke Bali. Jangan sampai adek gue lepas perawan sama orang lain.” Hening sejenak. Frans menghela napas berat lagi, tapi kali ini lebih panjang. Jay sudah bisa membaca pikirannya. Pasti Frans akan menyusul Celine sekarang. ** Lampu neon warna-warni berkelip di langit malam Bali. Musik berdentum dari sebuah klub malam terbesar di kawasan itu, mengguncang lantai dari dalam. Orang-orang berdansa, minum, tertawa, dan berdesakan di ruang dansa yang penuh sesak. Di sudut VIP, Celine duduk dengan kaki disilangkan, mengenakan mini dress merah ketat yang memeluk tubuhnya. Gelas koktail berwarna biru di tangannya, bibirnya tersenyum tipis saat mendengar teman-temannya bercanda. Sesekali, beberapa pria yang lewat meliriknya, bahkan ada yang mencoba menyapa. Celine tahu dia mencuri perhatian—dan dia memang sengaja. Tiba-tiba, suasana meja itu berubah ketika pintu klub terbuka. Dari balik kerumunan, sosok tinggi berjas gelap berjalan masuk dengan tatapan tajam. Frans. Langkahnya mantap, matanya langsung mengunci pada satu titik: Celine. Seorang pria yang duduk di dekat Celine berdiri, ingin menyambut, tapi Frans tidak memperdulikannya. Dia terus berjalan, menembus keramaian. Beberapa orang menoleh, bahkan ada yang berbisik-bisik mengenali wajahnya. “Celine.” Suaranya berat, rendah, tapi cukup terdengar meski musik keras. Celine menoleh, terkejut setengah hati, tapi cepat mengganti ekspresinya jadi senyum manis. “Eh… suami tercinta datang juga,” katanya dengan nada menggoda, pura-pura kaget. “Aku kira kamu terlalu sibuk sama kerjaanmu.” Frans mendekat, menatapnya dari atas ke bawah. “Berdiri.” Celine menyandarkan punggungnya di kursi, meneguk minumannya dengan santai. “Kenapa? Aku lagi asik. Kamu mau gabung? Bisa duduk sini…” Ia menepuk kursi di sebelahnya, tatapannya penuh tantangan. Frans menghela napas kasar, lalu tanpa basa-basi, dia meraih pergelangan tangan Celine dan menariknya berdiri. “Hei!” Celine memprotes, setengah terkejut, setengah terhibur. “Kamu ini… bikin malu aja! Lepasin!” Frans menatap matanya tajam. “Kamu yang bikin malu, Celine. Berpesta kayak gini, pakai baju kayak gini, di depan semua orang. Cukup.” Celine tertawa pendek, suaranya menantang. “Oh, jadi kamu cemburu?” Frans mengetatkan genggamannya. “Bukan soal cemburu. Ini soal harga diri. Kamu istriku.” Celine mengangkat dagunya, senyum licik di bibirnya. “Tapi kamu sendiri yang ninggalin aku pas bulan madu. Aku cuma… cari hiburan.” “Hiburan?” Frans menunduk sedikit, suaranya makin dingin. “Kalau hiburannya begini, lebih baik kamu ikut aku sekarang.” Celine menoleh ke teman-temannya yang menatap penasaran. “Maaf ya guys, suami galak mau culik aku,” katanya sambil tersenyum tipis, tapi matanya tetap menatap Frans penuh perlawanan. Frans menariknya melewati kerumunan. Beberapa orang menoleh, bahkan ada yang bersiul menggoda, tapi tatapan Frans yang membunuh membuat mereka diam. Begitu keluar dari klub, udara malam Bali yang lembap menyambut mereka. Musik hanya terdengar samar dari dalam. Celine menarik tangannya keras-keras, tapi Frans tidak melepasnya. “Lepasin, Frans! Aku bisa jalan sendiri!” Frans membalik badannya menghadap Celine. “Kamu pikir aku ke sini cuma buat nonton kamu joget dengan gaun hampir tanpa kain itu?” Celine menyilangkan tangan di d**a, senyum tipisnya kembali. “Mungkin iya. Mungkin kamu mau lihat aku. Toh kamu datang jauh-jauh ke sini.” Frans menatapnya beberapa detik, lalu mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Aku datang karena aku nggak mau kamu jadi tontonan orang lain. Kalau kamu mau bikin aku marah, selamat… kamu berhasil.” Celine membalas tatapannya, kali ini sedikit terdiam. “Kalau begitu… jangan tinggalkan aku lagi.” Hening sebentar. Frans tidak menjawab, hanya menuntunnya menuju mobil yang terparkir di depan. Kali ini genggamannya sedikit lebih longgar, tapi tetap kuat. Celine mengulum bibirnya dan dia begitu senang sekali membuat Frans marah padanya. Dia berhasil! Membuat suaminya itu menyusul ke sini. Itu tandanya Frans sudah mulai menyukainya Bukan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN