Bab 16

1478 Kata
Sinar matahari menembus tirai tebal kamar hotel, menyentuh wajah Celine yang masih terlelap. Perlahan, kelopak matanya terbuka, dan detik berikutnya dia mengerang pelan. Tangannya mengusap wajah, lalu menyapu rambutnya yang sekarang berantakan luar biasa. Helai-helainya berdiri ke segala arah, membuatnya benar-benar seperti singa betina yang baru bangun dari tidur panjang. Dia bangkit dengan gerakan malas, duduk di tepi ranjang, lalu meraih cermin kecil di meja samping tempat tidur. Bibirnya mencebik ketika melihat pantulan dirinya. “Astaga… aku terlihat seperti habis bertengkar dengan angin topan,” gumamnya, tapi alih-alih memperbaiki, dia justru tersenyum puas. Celine tidak punya niat sedikit pun untuk pulang ke rumah hari ini. Apalagi menghadapi Frans yang selalu sibuk dan dingin seperti es batu. Dia butuh hiburan, dia butuh pelarian… dan apa yang lebih menyenangkan selain shopping? Tangannya meraih tas tangan mewah yang ia bawa semalam. Di dalamnya, tergeletak sebuah kartu kredit berwarna hitam dengan nama *Frans Alvaro Mahendra* terukir elegan di sudutnya. Matanya berkilat penuh semangat. “Hmm… suami sayang, maafkan istrimu yang cantik ini,” bisiknya dengan nada manja pada kartu itu, seolah sedang berbicara langsung pada Frans. “Tapi… aku akan memanfaatkannya hari ini sepuasnya.” Tanpa membuang waktu, Celine mandi cepat, lalu mengenakan gaun pendek putih dari sutra tipis yang memamerkan lekuk tubuhnya. Rambutnya ia tata dengan gaya *loose waves*, memberi kesan santai tapi tetap menggoda. Sepasang kacamata hitam besar bertengger di pangkal hidungnya, membuatnya terlihat seperti sosialita yang siap menguasai dunia. Satu jam kemudian, dia sudah berada di butik mewah pertama di pusat perbelanjaan paling elit di Bali. Para pramuniaga langsung mengenalinya—mereka mungkin sudah terbiasa melayani wanita-wanita kaya yang siap menggesek kartu tanpa berpikir panjang. “Pagi, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang pramuniaga sambil tersenyum sopan. Celine melirik rak tas terbaru, jemarinya langsung menyentuh kulit lembut sebuah tas keluaran terbatas. “Yang ini, warna hitam, juga warna merah,” katanya santai. “Ah, sekalian semua seri yang ada di sini bungkuskan untuk saya.” Pramuniaga itu sempat tertegun, tapi segera tersenyum lebar. “Tentu, Nyonya.” Begitu mudahnya, gesekan kartu pertama terjadi. Dan itu hanya awal. Butik kedua, butik ketiga, toko sepatu, perhiasan, parfum—Celine tidak berhenti. Setiap kali kantong belanjaan bertambah, senyumnya semakin lebar. Dia bahkan sempat berhenti di toko perhiasan terbesar, mencoba kalung berlian yang harganya cukup untuk membeli sebuah rumah. Ketika kartu kredit digesek untuk kesekian kalinya, pramuniaga berbisik pelan, “Nyonya, ini kartu dengan limit besar sekali. Suami Anda pasti orang yang sangat mencintai Anda.” Celine tertawa kecil sambil membetulkan kacamata hitamnya. “Oh, dia mencintai saya dengan caranya sendiri,” ujarnya penuh kesombongan. Menjelang sore, sebuah mobil mewah yang ia sewa hari itu penuh sesak dengan belanjaannya. Kotak-kotak besar bertumpuk di kursi belakang dan bagasi. Celine bersandar di kursi depan, membuka ponselnya, dan memotret kakinya yang terjulur santai sambil memamerkan sepatu barunya—mengirimnya langsung ke Frans. Pesan singkat menyusul setelah foto itu terkirim: *Terima kasih untuk kartu kreditnya, suamiku. Aku senang sekali hari ini.* Dia tersenyum puas membayangkan wajah Frans yang kemungkinan besar akan menghela napas panjang atau bahkan memijat pelipisnya begitu membaca pesan itu. Bagi Celine, hari ini baru awal dari permainan yang lebih panjang. Dia akan membuat Frans sadar bahwa tidak ada cara untuk mengabaikan dirinya. Dan kalau harus menghabiskan limit kartu kredit demi itu? Ah, itu harga yang pantas dibayar. *** Frans sedang duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop penuh angka-angka laporan keuangan perusahaan. Kopi hitam di tangannya masih mengepulkan asap tipis. Dia baru saja memeriksa berkas kontrak penting ketika ponselnya bergetar pelan di sudut meja. Dengan gerakan malas, Frans meraihnya. Satu notifikasi baru dari w******p muncul. Pengirimnya? Celine. Foto pertama muncul: kaki jenjang berbalut sepatu hak tinggi merah, dengan latar belakang bagasi mobil yang penuh sesak oleh belanjaan branded. Disusul pesan singkat: *Terima kasih untuk kartu kreditnya, suamiku. Aku senang sekali hari ini .* Frans belum sempat menghela napas ketika notifikasi lain menyusul—bukan dari Celine, melainkan dari pihak bank. Transaksi berhasil: Rp 250.000.000 – Butik Chanel Transaksi berhasil: Rp 120.000.000 – Louis Vuitton Transaksi berhasil: Rp 300.000.000 – Cartier Transaksi berhasil: Rp 150.000.000 – Rolex Transaksi berhasil: Rp 180.000.000 – Tiffany & Co. Total? Dalam satu hari, Celine menghabiskan Rp 1.000.000.000. Frans memejamkan mata, meletakkan ponselnya perlahan, lalu menghembuskan napas panjang yang terdengar seperti geraman. “Gadis itu…” gumamnya pelan, rahangnya mengeras. “Benar-benar mau bikin aku gila.” Tawa kecil terdengar dari kursi di seberang meja. Jay, sahabat sekaligus kakak iparnya, sedang duduk santai sambil memutar cangkir kopi. Matanya berbinar penuh rasa geli. “Aku nggak nyangka, Frans,” kata Jay, suaranya penuh nada menggoda. “Baru kali ini aku lihat kamu segitu frustrasinya. Biasanya kamu orang paling tenang sedunia. Tapi kalau urusannya Celine… oh, lihat wajahmu sekarang.” Frans melirik tajam, tapi Jay malah semakin lebar senyumnya. “Jangan bilang kamu nggak kaget. Satu miliar, Frans. Satu. Miliar. Dalam satu hari. Bahkan Mama kalau belanja nggak segila itu.” “Aku nggak kaget,” sahut Frans datar, meski nada suaranya jelas penuh tekanan. “Aku cuma… kesal. Gadis itu memang sengaja. Dia tahu aku sibuk, jadi dia cari perhatian dengan cara seperti ini.” Jay mengangkat bahu santai. “Atau mungkin… dia cuma mau menunjukkan kalau dia bisa membuat kamu nggak tenang. Dan jujur, dia berhasil. Lihat saja, kamu bahkan berhenti kerja hanya untuk memikirkan tingkahnya.” Frans menatap Jay lama, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Hatinya campur aduk—antara marah, frustrasi, dan entah kenapa… sedikit penasaran. Celine memang selalu seperti badai, datang tiba-tiba, membuat kekacauan, lalu pergi dengan senyum seolah tidak ada yang salah. “Dia pikir aku akan diam saja?” Frans menggeram pelan. “Kita lihat saja nanti.” Jay terkekeh lagi, menyandarkan punggungnya. “Hati-hati, Frans. Badai itu bisa menelan kamu kalau kamu nggak siap. Apalagi kalau itu badai bernama Celine.” Frans tidak membalas. Tapi dalam kepalanya, dia sudah memikirkan satu hal—Celine tidak akan lolos kali ini. *** Frans membuka pintu rumah dengan hentakan cukup keras, langkahnya lebar dan cepat seperti seseorang yang sudah menahan emosi sejak dari mobil. Jasnya masih terpasang rapi, tapi dasinya sudah longgar, menunjukkan betapa suntuknya dia hari ini. Begitu melewati lorong utama, pandangannya langsung tertuju pada sosok Celine yang sudah duduk manis di sofa ruang tengah. Gadis itu bersandar santai, menyilangkan kaki, dan—Frans sampai menahan napas sejenak—rok mini yang dikenakannya tersingkap sedikit, memperlihatkan kulit mulus di pahanya. Celine tersenyum lebar, senyum penuh tantangan, seperti tahu betul reaksi yang akan didapatnya. “Selamat datang di rumah, suamiku,” ucapnya manis, suaranya lembut tapi menyimpan nada menggoda. “Capek ya di kantor? Mau aku pijitin?” Frans mengabaikan tawaran itu. Dia berdiri di depan sofa, menatap Celine dengan rahang mengeras. “Celine,” suaranya berat dan dingin. “Kita perlu bicara. Sekarang.” Celine mengangkat alis, masih tersenyum. “Tentang apa? Tentang cuaca? Atau tentang wajahmu yang kelihatan… hmm, stres sekali?” Frans membungkuk sedikit, menatapnya tajam. “Tentang uang yang kamu habiskan hari ini.” “Oh itu…” Celine terkekeh kecil, menepuk ujung roknya yang tersingkap seolah tak peduli. “Maksudnya… uang satu miliar itu?” Frans mengeraskan suaranya. “Ya! Satu miliar, Celine! Dalam SATU hari! Kamu pikir aku kerja siang malam hanya untuk melihat kamu hambur-hamburkan uang seperti itu?” Alih-alih takut atau merasa bersalah, Celine malah memiringkan kepala, memandang Frans dengan mata berkilat. “Lagian kenapa kamu lebay, Frans? Kamu kan Frans Devaron… salah satu orang terkaya di Asia. Uang segitu buat kamu itu apa? Uang receh kan?” Frans mengusap wajahnya kasar. “Bukan masalah nominalnya, Celine. Ini soal sikap kamu! Kamu nggak bisa seenaknya begitu. Besok-besok kalau kamu habiskan sepuluh miliar gimana? Seratus miliar?” Celine berdiri perlahan, tubuhnya mendekat ke Frans. Dia menatapnya dari dekat, bibirnya membentuk senyum tipis yang membuat Frans menahan napas. “Kalau aku mau habisin seratus miliar pun, kamu masih tetap salah satu orang terkaya di Asia. Jadi… kenapa harus marah?” Frans menahan diri untuk tidak terpancing lebih jauh, tapi tatapan menantang Celine membuat darahnya semakin panas. “Ini bukan soal uang, Celine. Ini soal kamu yang nggak pernah mau diatur. Kamu selalu—” “—karena aku nggak suka diatur,” potong Celine cepat, suaranya tegas tapi tetap dengan nada manja. “Aku menikah sama kamu bukan untuk jadi robot yang cuma nurut semua omongan kamu. Aku mau hidupku berwarna. Dan kalau itu bikin kamu marah…” dia menyentuh d**a Frans pelan, “…itu bonus buat aku.” Frans memejamkan mata sebentar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kamu benar-benar… bikin aku gila.” Celine terkikik pelan. “Baguslah. Berarti aku berhasil.” Udara di ruang tengah terasa menegang. Frans tahu, berdebat dengan Celine hanya akan berakhir buntu. Tapi membiarkannya? Sama saja dengan menyerahkan kendali sepenuhnya pada badai bernama Celine. Frans memutuskan satu hal dalam hati—ini harus dihentikan. Tapi bagaimana caranya? Untuk terlepas dari Celine?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN