Celine duduk di kursi sekretaris depan ruangan Frans. Wajahnya terlihat bosan, jarinya menekan-nekan pena ke meja berulang kali. Matanya sesekali melirik pintu ruangan Frans, berharap pintu itu terbuka dan dirinya bisa masuk dengan alasan apa pun. Senyumnya tipis, penuh rencana yang masih ia simpan untuk Frans.
Namun tiba-tiba, langkah sepatu berhak tinggi terdengar mendekat. Celine mendongak, dan matanya langsung terbelalak begitu melihat seorang wanita yang begitu cantik dan elegan berdiri di depannya. Wanita itu berambut panjang tergerai rapi, mengenakan dress krem sederhana namun berkelas, ditambah blazer hitam yang membuat penampilannya tampak profesional sekaligus memikat.
Wanita itu tersenyum ramah.
"Permisi," ucapnya dengan suara lembut. "Pak Frans ada di dalam?"
Celine langsung menahan napas. Otaknya berputar cepat. Wanita ini siapa? Kenapa mencari Frans? Instingnya berkata, wanita ini bukan sembarang orang. Aura yang dibawanya terlalu kuat, terlalu anggun, bahkan membuatnya sedikit terintimidasi.
Celine ingin sekali menjawab "tidak", agar wanita ini pergi saja dan tidak mengganggu Frans. Namun sebelum sempat ia buka mulut, Rendi—sekretaris utama Frans—yang baru saja kembali membawa beberapa dokumen langsung menjawab tegas.
"Ada, Bu. Pak Frans sedang di dalam."
Celine menoleh tajam pada Rendi, matanya hampir menyala penuh amarah.
Wanita itu tersenyum kecil. "Baik, saya ingin bertemu dengannya."
Rendi mengangguk sopan. "Silakan saya antar."
Namun sebelum Rendi bergerak, Celine sudah bangkit dari kursinya dan menahan dengan suara dibuat semanis mungkin.
"Maaf, tapi Pak Frans sedang sibuk sekali hari ini," ucap Celine cepat, mencoba mengambil alih situasi. "Sepertinya beliau tidak bisa diganggu dulu."
Wanita itu menoleh, menatap Celine dengan senyum tenang namun tajam. "Oh begitu? Tapi saya rasa, Pak Frans pasti mau meluangkan waktu untuk saya."
Nada bicaranya halus, tapi membawa kepercayaan diri yang menusuk.
Rendi memandang Celine dengan heran. "Cel, jangan menghalangi. Kalau tamu penting, biar saya antar."
Celine mendengus dalam hati, tapi ia buru-buru menyunggingkan senyum palsu. "Tamu penting? Memangnya ini siapa?" tanyanya ketus, tidak bisa menahan rasa penasaran.
Wanita itu justru tertawa kecil, menatap Celine dari ujung kepala sampai kaki. "Kamu sekretaris di sini, tapi tidak tahu siapa saya?"
Celine menelan ludah. Dadanya terasa panas. "Tentu saja saya tahu semua tamu Pak Frans," elaknya cepat, meski sebenarnya sama sekali tidak tahu.
Wanita itu maju selangkah, mendekat dengan wibawa yang membuat Celine harus menahan diri agar tidak mundur. "Kalau begitu, biarkan saya masuk. Frans sudah menunggu."
Saat itulah, pintu ruangan Frans terbuka dari dalam. Frans berdiri di ambang pintu, wajahnya agak kaget begitu melihat wanita itu berdiri di luar.
"Alana?" suaranya tercekat.
Celine terperanjat. Jadi nama wanita ini Alana? Siapa dia sebenarnya, sampai Frans memandangnya seperti itu?
Alana tersenyum manis. "Hai, Frans. Lama sekali ya."
Celine langsung menoleh ke Frans dengan rasa cemburu yang begitu nyata. "Pak Frans, siapa dia?"
Frans tidak langsung menjawab, matanya terpaku pada Alana. Ada campuran rasa kaget, nostalgia, dan sesuatu yang jelas membuat Celine semakin panas hati.
Alana melangkah masuk tanpa menunggu izin. "Boleh kita bicara sebentar? Ada banyak hal yang harus kita bahas."
Frans mengangguk pelan, lalu menoleh pada Celine. "Celine, jangan ganggu. Tutup pintu."
Celine terdiam, wajahnya merah padam. "Tapi, Pak—"
"Ini urusan penting," potong Frans tegas. "Kamu jangan ikut campur."
Pintu ruangan ditutup oleh Rendi. Celine yang masih berdiri di luar mengepalkan tangan dengan kuat. Dadanya naik-turun menahan emosi.
"Alana... siapa sebenarnya kau?!" gumamnya dengan suara rendah penuh benci.
Di dalam ruangan, Frans menarik kursi untuk Alana. "Kamu datang tiba-tiba. Ada apa?"
Alana tersenyum misterius. "Kamu kaget melihat aku?"
Frans menarik napas panjang. "Jelas. Aku tidak pernah menyangka kamu akan muncul di sini."
Celine menempelkan telinganya ke pintu, berusaha keras mendengar. Namun pintu itu terlalu tebal. Semakin ia tidak bisa mendengar, semakin hatinya terbakar.
"Aku tidak akan diam saja," bisik Celine dalam hati. "Siapapun kau, Alana... aku akan pastikan Frans tetap jadi milikku."
***
Celine menempelkan telinganya semakin erat di pintu kaca buram ruangan Frans, namun percuma saja. Dinding dan pintu itu memang dibuat kedap suara, sehingga bahkan suara kursi bergeser pun tak terdengar keluar. Ia menggertakkan giginya, wajahnya menegang menahan emosi bercampur rasa ingin tahu yang luar biasa.
“Kenapa sih harus kedap suara segala,” gumamnya lirih dengan penuh kejengkelan. Jari-jari tangannya mengetuk pelan meja tempat ia duduk. Matanya terus menatap pintu ruangan Frans seolah ingin menembus dinding itu.
Celine tahu siapa wanita yang masuk barusan. Alana. Wanita yang selalu tampil sempurna dengan gaya elegan dan aura yang berbeda. Celine sadar betul kalau Frans sering terlihat lebih nyaman berbicara dengan Alana ketimbang dengan dirinya. Itu yang membuatnya semakin terbakar cemburu.
Ia membenarkan duduknya, mencoba menenangkan diri. Tapi setiap menit yang berjalan membuat darahnya semakin panas. Semakin lama Frans berbicara di dalam dengan Alana, semakin Celine merasa dirinya tidak dianggap.
“Kenapa harus dia, kenapa bukan aku?” desisnya.
Sesekali ia melihat Rendi, sekretaris utama Frans, yang tampak sibuk dengan dokumen. Pria itu seakan tak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Bahkan ketika Celine melirik dengan harap Rendi akan memberi sedikit bocoran isi percakapan di dalam, pria itu tetap acuh.
Waktu berjalan cukup lama. Hampir setengah jam Alana berada di dalam ruangan Frans. Celine benar-benar tak tahan. Rasa penasaran dan cemburu membuatnya menggenggam erat pulpen hingga hampir patah. Ia ingin sekali menerobos masuk dan melihat apa yang mereka bicarakan. Tapi itu berarti ia akan menunjukkan kelemahannya.
Ketika akhirnya pintu ruangan itu terbuka, jantung Celine berdebar kencang. Alana keluar dengan senyum puas di wajahnya, sambil merapikan rambutnya yang tergerai rapi. Seolah pembicaraan tadi berjalan mulus sesuai keinginannya.
“Terima kasih banyak, Frans. Aku senang kita bisa sepakat,” suara Alana terdengar jelas, lembut, penuh percaya diri.
Celine menajamkan pandangan, memperhatikan setiap detail ekspresi Alana. Frans muncul di belakangnya, wajahnya tenang namun ada guratan lega di matanya.
“Ya, aku juga senang kita bisa membicarakan ini. Sampai ketemu lagi, Alana,” balas Frans sambil menyalami wanita itu.
Alana melangkah keluar dengan langkah mantap. Ketika melewati meja resepsionis tempat Celine duduk, ia sempat melirik sekilas, memberikan senyum tipis yang membuat Celine merasa diremehkan. Senyum itu seolah berkata: aku menang, dan kamu bukan siapa-siapa.
Celine mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan diri agar tidak meledak di tempat.
Begitu Alana menghilang di balik pintu luar, Celine buru-buru bangkit. Ia berjalan cepat masuk ke ruangan Frans tanpa mengetuk.
Frans yang sedang merapikan beberapa berkas langsung menoleh dengan wajah kesal. “Celine! Bisa kamu ketuk dulu pintunya sebelum masuk?”
“Ngapain kamu ketemu sama dia lama-lama gitu?” tanya Celine dengan nada tajam, tak bisa lagi menyembunyikan emosinya.
“Itu urusan pekerjaan. Jangan ikut campur,” jawab Frans dingin.
Celine mendekat, matanya menyala penuh amarah. “Pekerjaan apa sih yang butuh berduaan sama dia setengah jam? Aku sekretaris kamu, Frans! Aku berhak tahu!”
Frans menatapnya dengan tajam. “Kamu hanya sekretarisku. Jadi cukup tahu bagian kerjaanmu, jangan lebih.”
Ucapan itu seperti pisau yang menusuk hati Celine. Tapi bukannya mundur, ia malah semakin mendekat, meletakkan kedua tangannya di meja kerja Frans.
“Kenapa harus Alana? Apa istimewanya dia sampai kamu bisa begitu ramah sama dia, sementara sama aku selalu dingin?”
Frans menghela napas panjang. Ia menahan diri agar tidak terpancing. “Aku tidak perlu jelaskan itu ke kamu. Celine, keluar dari ruanganku sekarang. Aku sedang sibuk.”
Celine menatap Frans beberapa detik, matanya berkaca-kaca, tapi lebih karena marah daripada sedih. Ia ingin sekali berteriak atau bahkan menghancurkan sesuatu di ruangan itu. Namun ia tahu itu hanya akan membuat Frans semakin menjauh.
Akhirnya, dengan napas terengah, ia berbalik dan keluar dengan langkah cepat, membanting pintu cukup keras hingga suara dentumannya terdengar ke seluruh lantai.
Rendi yang masih duduk di luar hanya bisa melirik sekilas, lalu kembali menunduk ke arah dokumen. Ia sudah terbiasa dengan drama seperti ini.
Sementara itu, di dalam ruangan, Frans memijit pelipisnya. “Sial… ini semua makin rumit,” gumamnya lirih.