Bab 18

1095 Kata
Frans langsung bangkit dari tempat tidur dengan wajah penuh kebingungan. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya berat, dan seolah-olah ada kabut yang menutupi ingatannya. Dia mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi semalam, namun semuanya terasa kabur. Yang dia tahu, dirinya sekarang benar-benar tanpa sehelai benang pun, sementara Celine sudah duduk manis di tepi ranjang dengan senyum penuh kemenangan. Gadis itu bahkan mengenakan salah satu kemeja putih miliknya yang kebesaran, membuat penampilannya terlihat semakin menggoda sekaligus menyebalkan. “Celine!” suara Frans pecah penuh amarah. Matanya menatap tajam pada istrinya itu, mencoba mengendalikan emosi yang sudah hampir meledak. “Apa yang kau lakukan padaku semalam?” Celine hanya mengangkat alisnya, menyilangkan kaki dengan santai, lalu memainkan ujung rambut panjangnya. Senyum miringnya semakin membuat Frans kehilangan kesabaran. “Ah, jadi akhirnya kau sadar juga. Aku pikir kau akan tidur sampai siang, Frans. Kau tahu, aku benar-benar lelah semalam… kita sangat aktif.” Frans mengepalkan tangan. Urat di pelipisnya menegang. Dia tidak suka nada Celine yang penuh kepastian, seolah-olah apa yang terjadi semalam adalah sesuatu yang memang Frans inginkan. Padahal dirinya yakin betul ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa dipermainkan. “Jangan main-main denganku, Celine!” bentaknya dengan nada rendah namun tajam. “Apa yang kau lakukan? Apa kau memasukkan sesuatu ke dalam minumanku?” Celine tertawa kecil, tawanya terdengar renyah namun menusuk telinga Frans seperti belati. Dia lalu berjalan mendekat dengan langkah pelan, menunduk hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Frans. “Kalaupun aku melakukannya, itu kan tidak masalah? Aku ini istrimu, Frans. Tidak ada yang salah jika seorang istri menginginkan suaminya sepenuhnya. Kau milikku, dan aku tidak akan membiarkanmu menolak.” Jantung Frans berdetak keras. Dia benar-benar ingin meledak karena merasa dijebak. Celine memang selalu punya cara untuk memaksakan kehendak, dan kali ini gadis itu jelas sudah melampaui batas. Frans merasa terpojok, marah, sekaligus frustasi. Dia berdiri, meraih celana panjangnya yang tercecer di lantai, lalu memakainya dengan gerakan kasar. “Kau keterlaluan, Celine. Kau pikir aku ini boneka yang bisa kau kendalikan seenaknya? Kau pikir semua bisa kau beli dengan uang dan tingkah manjamu itu?” Celine menghela napas, pura-pura kecewa, lalu duduk kembali di tepi ranjang sambil menatap Frans dengan tatapan penuh tantangan. “Kalau aku tidak memaksa, kau tidak akan pernah benar-benar menatapku, Frans. Kau hanya melihatku sebagai beban, sebagai pengganggu dalam hidupmu. Padahal aku ini istrimu yang sah. Apa salahku jika aku menginginkanmu sebagai suamiku? Kau milikku, Frans, mau kau terima atau tidak.” Frans mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar terjepit dalam situasi ini. Satu sisi, dia merasa dipermainkan dan dimanipulasi. Di sisi lain, kenyataan bahwa mereka memang sudah menikah membuatnya sulit menyingkirkan Celine begitu saja. Gadis itu tahu cara memanfaatkannya, tahu kelemahannya, dan tahu bagaimana menekan setiap tombol emosinya. “Celine…” suara Frans lebih pelan, namun masih penuh ketegangan. “Dengar baik-baik. Kalau kau terus main kotor seperti ini, aku tidak akan segan-segan menarik semua fasilitasmu. Kau boleh istriku, tapi bukan berarti kau bisa bertindak seperti tiran dalam rumah tangga ini.” Celine menyeringai lebar, sama sekali tidak terguncang oleh ancaman Frans. “Silakan saja, Frans. Kau boleh mengancam menarik semuanya dariku. Tapi aku tahu satu hal—kau tidak akan pernah bisa benar-benar lepas dariku. Karena semakin kau membenciku, semakin aku akan membuatmu gila. Semakin kau menjauh, semakin aku akan menyeretmu kembali. Dan pada akhirnya, aku tetap akan menang.” Frans menatapnya lama, dadanya naik turun menahan emosi. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar menyadari betapa berbahayanya Celine. Gadis itu bukan sekadar istri manja dan keras kepala. Dia adalah ancaman yang nyata, yang bisa membuat Frans kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dia berbalik, meninggalkan kamar dengan langkah cepat, tidak sanggup lagi mendengar tawa kecil Celine yang terus menggema di belakangnya. Namun dalam hatinya, dia tahu satu hal—pertarungan ini baru saja dimulai, dan Celine tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan sepenuhnya. *** Frans duduk di kursinya sambil memijat pelipisnya. Berkas-berkas di meja menumpuk, tetapi matanya tidak bisa fokus membaca. Pikirannya berantakan. Sejak kejadian semalam, ia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana Celine bisa begitu berani, begitu licik, dan seolah menikmati membuatnya hilang kendali. Ia tidak pernah merasa serumit ini sebelumnya, bahkan dalam urusan bisnis yang menyangkut miliaran dolar pun ia tidak sampai kehilangan fokus seperti ini. Namun sekarang, hanya karena seorang wanita bernama Celine, seluruh konsentrasinya hancur berantakan. Pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan. Frans mengangkat kepala dengan wajah kesal. Celine masuk dengan gaun ketat warna biru tua yang menempel sempurna di tubuhnya, membuat setiap lekuknya semakin jelas. Senyum menggoda tidak pernah hilang dari bibirnya. Ia melangkah santai, seolah kantor ini bukanlah tempat kerja melainkan ruang pribadi mereka berdua. “Frans, kau kelihatan stres,” ucapnya sambil meletakkan beberapa berkas di meja, namun sengaja mencondongkan tubuh hingga belahan gaunnya terlihat mencolok. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukannya di sini saja? Di ruanganmu. Supaya pikiranmu tenang.” Frans menatapnya dengan tatapan tajam. Wajahnya tegang. Ia merasa darahnya naik ke kepala, bukan karena godaan Celine berhasil, tetapi karena amarahnya sudah memuncak. Dengan cepat ia bangkit dari kursi, menepuk meja hingga bunyinya keras sekali. “Keluar, Celine!” suaranya berat, penuh tekanan. “Aku bilang keluar dari ruangan ini! Jangan pernah bicara seperti itu lagi!” Celine terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Ia sama sekali tidak terlihat takut. Justru matanya berkilat, seperti semakin tertantang. Ia berdiri tegak, merapikan gaunnya dengan tenang. “Kau benar-benar lucu, Frans. Kau bisa mengusirku dari ruangan, tapi tidak bisa mengusirku dari pikiranmu.” Ucapan itu membuat Frans semakin murka. “Keluar!” bentaknya lagi sambil menunjuk pintu. Celine akhirnya berbalik, berjalan perlahan dengan lenggokan yang disengaja. Sesaat sebelum menutup pintu, ia menoleh lagi, menatap Frans dengan tatapan penuh kemenangan. “Cepat atau lambat, kau akan menyerah, Frans. Kau tahu itu.” Pintu tertutup. Frans terdiam lama. Tangannya mengepal. Ia tahu Celine bukan wanita biasa. Ia pandai bermain kata, pandai memanfaatkan kelemahan, dan licik dalam menancapkan pengaruh. Frans menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun bagaimana pun, bayangan wajah Celine terus muncul di kepalanya. Di luar ruangan, Celine berjalan dengan langkah ringan. Ia merasa puas. Meskipun Frans marah dan mengusirnya, Celine tahu itu hanya masalah waktu. Semakin Frans berusaha menolak, semakin ia yakin bahwa suaminya itu pada akhirnya akan jatuh ke pelukannya sepenuhnya. Baginya, ini bukan sekadar permainan, melainkan pertempuran untuk menguasai hati dan tubuh Frans Devaron. Frans menutup mata, bersandar di kursinya, mencoba fokus pada dokumen yang menumpuk. Tetapi kalimat Celine tadi menggema terus di kepalanya: Kau bisa mengusirku dari ruangan, tapi tidak bisa mengusirku dari pikiranmu. Dan ia tahu, itu benar adanya. Frans tidak bisa menghilangkan Celine dari pikirannya. Wanita itu… memonopoli pikirannya sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN