Bab 06

1119 Kata
Celine duduk di ruang tengah rumahnya dengan satu kaki terangkat ke sandaran sofa, penampilannya seperti seorang ratu muda yang tengah mengawasi kerajaan pribadinya. Matanya yang tajam tak lepas menatap Frans yang melangkah ke luar dari kamar mereka dengan jas hitam yang terpasang rapi di tubuhnya. Kemeja biru tua itu terselip sempurna ke dalam celana panjangnya, dasinya terikat presisi, dan sepatu kulit mengkilap menambah aura pesona maskulin yang menyebalkan bagi Celine. Wajah Celine mengernyit. Detik berikutnya, alisnya sudah bertaut, dan napasnya sedikit memburu. Frans berdiri di depan cermin besar di sisi pintu, menyisir rambutnya dengan gerakan cepat dan efektif. Tidak seperti biasanya. Celine langsung curiga. "Aku pergi sebentar," ucap Frans datar. "Ke mana?" Suara Celine meluncur cepat, nyaris memotong udara. "Ke klub malam. Ada urusan bisnis." Kalimat itu membuat seluruh otot di tubuh Celine mengencang. Klub malam? Tidak. Sama sekali tidak bisa diterima. Dalam kamus Celine, suami tampan seperti Frans tidak bisa berkeliaran di tempat dengan lampu kelap-kelip, musik memekakkan telinga, dan wanita-wanita jalang yang tak tahu malu mendekatkan d**a mereka ke siapapun yang berkantong tebal. Terlebih lagi jika pria itu adalah suaminya. "Aku ikut," kata Celine cepat, nadanya tegas dan tidak bisa ditawar. Tapi Frans tidak menanggapi. Ia hanya mengambil jam tangannya dari meja dan memakainya perlahan. "Aku bilang aku ikut." Kali ini Celine bangkit dari sofa, menghampiri Frans dengan langkah mantap seperti macan betina yang baru saja diusik wilayahnya. Frans menghela napas panjang dan menoleh pelan. Matanya menatap Celine dari atas ke bawah. Gadis itu masih mengenakan piyama satin yang terlalu tipis dan terlalu mencolok untuk ditampilkan di tempat umum. Rambutnya masih dikuncir sembarangan dan wajahnya polos tanpa riasan. Tapi ekspresinya? Membara. "Kamu bahkan belum siap," ucap Frans dingin. Celine tersenyum, senyum yang membuat orang bingung apakah gadis itu sedang senang atau sedang merencanakan sesuatu yang gila. Dia berbalik dan berkata, "Tunggu sepuluh menit." Dan benar saja, dalam waktu kurang dari sepuluh menit, Celine sudah muncul lagi dari tangga. Kali ini mengenakan gaun hitam pendek ketat yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. High heels berkilauan menambah tinggi tubuhnya, sementara lipstik merah menyala di bibirnya membuat matanya makin hidup. Dia seperti boneka porselen beracun, siap membunuh siapa pun yang mendekati miliknya. Frans menatapnya lama. Tidak ada protes, tidak ada pujian. Hanya tatapan malas yang tidak bisa menyembunyikan bahwa ia sudah hafal dengan cara kerja pikiran Celine. Di dalam mobil, Celine duduk menyilangkan kaki, mengamati jalanan malam dari balik kaca jendela. Tapi pandangannya sesekali mencuri lirikan pada Frans, memastikan suaminya tidak mencoba menghindar dari keberadaannya. Ketika mereka tiba di klub malam, Celine turun lebih dulu, mencengkeram lengan Frans, dan berjalan masuk seperti seorang ratu yang tengah melakukan inspeksi mendadak. Lampu neon merah dan ungu menyambut mereka, suara musik menggema seperti gelombang listrik yang menusuk telinga. Frans langsung berjalan menuju meja reservasi, sementara Celine mengikuti dengan dagu terangkat. Semua mata menoleh ke arahnya. Wanita-wanita dengan pakaian terbuka mulai melirik Frans, tapi segera menunduk ketika melihat Celine berdiri di sampingnya, seperti singa betina yang menjaga mangsanya. Seorang wanita dengan rambut pirang menyambut mereka di ruang VIP, menyodorkan tangan ke arah Frans. Tapi sebelum tangan itu bersentuhan, Celine sudah menepuk tangan wanita itu dengan gaya manis tapi mengancam. "Maaf, dia sudah menikah," gumamnya lirih, tapi jelas terdengar. Sang wanita langsung tersenyum canggung dan mundur. Frans menatapnya dari samping dengan sudut bibir terangkat. "Kamu tidak perlu melakukan itu." "Dan kamu tidak perlu datang ke tempat seperti ini, kecuali kamu siap diganggu oleh istrimu sendiri," jawab Celine dengan nada ringan. Percakapan bisnis malam itu berlangsung dengan lancar, meski beberapa kali Celine harus menyela karena menurutnya Frans terlalu lama memandang klien perempuan yang terlalu dekat duduknya. Dia tidak peduli meskipun Frans terlihat muak. Saat mereka pulang, Frans langsung membuka dasinya dengan kasar begitu masuk ke rumah. Tapi belum sempat ia duduk, Celine sudah menarik lengan bajunya. "Kamu tampan malam ini. Terlalu tampan untuk tempat seperti itu." Frans menatapnya, lalu berbalik, meninggalkan Celine yang masih berdiri di tengah ruang tengah. Tapi Celine tidak peduli. Baginya, malam ini adalah kemenangan kecil. Dia menjaga Frans tetap dalam jangkauannya, tidak peduli betapa bosannya pria itu padanya. Karena Celine tahu satu hal—sebenci apapun Frans, dia tetap suaminya. Dan sebagai istri, dia akan terus menempel, memeluk, dan mengekang sampai Frans menyerah atau gila. *** Celine berdiri di ambang pintu ruang kerja Frans. Dia mengenakan gaun tipis berwarna krem yang hampir menyatu dengan kulitnya. Cahaya lampu yang temaram dari meja kerja membuat bayangan tubuhnya tampak lebih nyata, lebih mengundang. Dia menyandarkan tubuhnya di kusen pintu, memperhatikan Frans yang masih sibuk di depan layar laptopnya, matanya fokus pada laporan bulanan yang sedang dianalisis. "Sayang," suara Celine terdengar lembut tapi dalam, menggantung di udara. Frans tidak menjawab. Hanya helaan napas berat yang terdengar. Tangannya tetap sibuk mengetik, wajahnya datar, tidak terganggu sedikit pun oleh kehadiran istrinya di sana. Celine mendekat perlahan. Tumitnya berderak kecil di lantai kayu, menggema pelan seperti detak jantung yang ditahan. Dia berjalan sampai berada di belakang kursi kerja suaminya, lalu menyentuh bahunya lembut. "Kamu nggak capek, kerja terus?" bisiknya di telinga Frans, lalu dia menyandarkan dagunya di pundak pria itu. "Aku bisa bantu kamu... melepas lelah." Frans menghentikan ketikannya sesaat, tapi tetap tidak menoleh. "Aku nggak lelah. Aku cuma pengen kerja selesai malam ini." Celine tidak menyerah. Tangannya bergerak ke d**a Frans, mengusap perlahan. "Tapi kamu suamiku, bukan robot. Coba istirahat sebentar, temani aku. Lagipula... gaunku ini kupakai cuma untuk kamu." Frans menarik napas dalam-dalam, lalu melepas tangan Celine dari dadanya. "Gaun itu nggak penting buatku. Aku lagi kerja." Celine tertawa kecil, suara tawanya manja dan licik. Dia duduk di meja kerja, menggoyangkan kakinya pelan sambil menatap suaminya dari atas. "Frans... kamu beneran tega ninggalin istri kamu yang sedang ingin dimanja?" tanyanya, menggoda, lalu membiarkan gaunnya tergelincir sedikit dari pundaknya. Frans akhirnya menatapnya, tatapannya datar dan tajam. "Celine, kamu bisa keluar dari sini sekarang?" Celine tersenyum. "Enggak. Aku nggak akan pergi sampai kamu lihat aku sebagai wanita. Istrimu. Yang selalu siap buat kamu, bukan kertas dan angka itu." Frans berdiri, tubuhnya tinggi menjulang di hadapan Celine. Tapi tak ada kelembutan di matanya. "Aku lihat kamu sebagai pengganggu sekarang. Aku serius kerja. Dan kamu... cuma cari perhatian." Celine mendongak, senyumnya melemah, tapi matanya tetap menyala dengan rasa penasaran. "Apa kamu udah nggak tertarik sama aku? Aku seksi loh sayang. Masa kamu tidak tertarik sama aku? Aku bisa buat kamu keenakan." Frans menjawab tanpa ragu, "Kalau kamu terus kayak gini, makin lama aku makin yakin kenapa aku makin nggak tertarik." Celine terdiam. Bibirnya bergerak-gerak tapi tak ada kata yang keluar. Akhirnya, dia turun dari meja kerja itu, menarik kembali gaunnya ke bahu, lalu berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Dan pintu kamar kerja itu tertutup pelan di belakangnya. “Anjing bener! Masa nggak tertarik. Lihat nanti, kamu pasti ketagihan menyentuhku, Frans!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN