Celine menatap bibirnya yang merah menyala di cermin. Ia tersenyum puas pada pantulannya sendiri.
"Aku terlihat sempurna hari ini," gumamnya pelan sambil memiringkan kepala.
Gaun putih ketat yang membalut tubuhnya tampak menyatu dengan kulitnya yang bersih dan halus. Ia memegang clutch emasnya, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah mantap. Bunyi hak tingginya menggema di lantai marmer rumahnya.
"Mobil sudah siap, Bu," kata sopirnya sambil membukakan pintu.
Celine masuk ke dalam mobil tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke depan, dan bibirnya tersenyum kecil.
"Arahkan ke kantor Frans. Jangan terlalu cepat. Aku ingin mereka melihatku," katanya dingin.
"Siap, Bu."
Selama perjalanan, Celine berkaca pada jendela mobil. Ia membenarkan helai rambutnya, menepuk-nepuk pipinya dengan ringan untuk memastikan riasan tetap menempel sempurna.
"Frans, lihat siapa yang akan datang hari ini," bisiknya sambil menyeringai.
Sesampainya di depan kantor megah itu, pandangan para pegawai langsung tertuju padanya. Seorang wanita di lobi nyaris menjatuhkan berkas yang dibawanya.
"Itu... istri Pak Frans, ya?"
"Iya. Cantik banget, kayak bidadari..."
Celine melangkah masuk tanpa menghiraukan mereka. Kepalanya sedikit mendongak, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Resepsionis berdiri gugup.
"Selamat pagi, Bu Celine."
"Aku nggak perlu sambutan. Aku tahu jalan ke ruang Frans," katanya tanpa menoleh.
"Ba-baik, Bu..."
Celine menekan tombol lift eksekutif. Beberapa staf yang hendak ikut buru-buru mundur.
"Pintunya tutup. Aku tidak suka bau parfum murah di ruang tertutup," ujar Celine sebelum pintu lift tertutup rapat.
Sesampainya di lantai paling atas, langkahnya semakin pelan namun mantap. Sekretaris Frans buru-buru berdiri dari balik meja.
"Bu Celine! Maaf, Pak Frans sedang—"
Celine mengangkat tangan.
"Aku nggak tanya pendapatmu. Aku istrinya. Aku masuk."
Ia mendorong pintu ruangan kerja Frans perlahan. Senyum lebar terbentuk di bibirnya yang merah menyala.
"Suamiku tersayang... kejutan."
***
Frans yang tengah duduk dengan setelan jas abu gelap dan dasi hitam, menatap tajam ke arah pintu ruangannya yang tiba-tiba terbuka. Ia sedang berbicara serius dengan seorang klien penting—seorang pria paruh baya dengan jas mahal dan ekspresi wajah penuh tuntutan. Namun suara langkah hak tinggi dan aroma parfum menyengat memaksa seluruh ruangan menoleh.
“Suamiku tersayang… kejutan,” ujar Celine dengan senyum lebar, satu tangannya masih menggenggam clutch emasnya sementara tangan lain terbuka lebar seperti menyambut pelukan.
Frans mendengus. Pandangannya dingin menusuk ke arah wanita yang baru saja mengacak ritme profesionalnya.
“Celine,” desis Frans tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Klien di depannya tampak kebingungan. Matanya bergantian menatap Frans dan wanita cantik berpakaian mencolok itu. Celine justru melangkah masuk tanpa malu sedikit pun. Ia mengabaikan tatapan asing itu, lalu duduk santai di sofa kulit di sisi ruangan.
“Rumah terlalu sepi. Jadi kupikir, kenapa tidak menemani suami tercinta kerja hari ini? Bukankah istri seharusnya mendampingi?” ujar Celine sambil menyilangkan kaki.
Frans meremas kedua telapak tangannya dengan kesal.
“Kita sedang rapat, Celine. Ini bukan waktunya untuk sandiwara konyolmu.”
“Sandiwara? Sayang… justru ini realita. Aku istrimu. Aku berhak berada di mana pun kamu berada.”
“Keluar,” tegas Frans seraya berdiri dari kursinya. “Sekarang.”
Celine tertawa kecil. “Lucu ya. Kamu baru akan mengusirku setelah pria tua itu menatapku dari tadi seolah aku makanan mahal di etalase.”
Klien Frans langsung berdiri dan membenarkan dasinya, tersipu malu.
“Saya… mungkin ini bukan waktu yang tepat. Kita bisa lanjutkan meetingnya besok, Pak Frans,” katanya seraya buru-buru mengumpulkan berkas.
Frans ingin menahan, tapi pria itu sudah berjalan cepat keluar ruangan, bahkan nyaris lari menuruni tangga darurat karena lift sedang naik kembali ke bawah. Begitu pintu menutup, Frans menoleh dengan rahang mengeras.
“Kamu senang membuatku terlihat seperti badut di hadapan klien?” katanya tajam.
Celine berdiri, masih dengan senyum di bibir.
“Kamu membuatku seperti boneka di rumah, Frans. Duduk, diam, cantik, dan tidak boleh bersuara. Sekarang gantian. Kamu yang duduk diam dan dengarkan aku.”
Frans berjalan mendekat dengan langkah berat. Suasana menegang di antara mereka.
“Kamu pikir dengan berdandan seperti itu dan datang tiba-tiba akan membuatku luluh?”
Celine mengangkat dagunya. “Tidak. Aku datang bukan untuk membuatmu luluh. Aku datang untuk memastikan kamu tidak melupakan siapa yang kamu nikahi.”
“Kamu menyedihkan.”
“Dan kamu pengecut,” balas Celine cepat. “Menikahiku, membawaku ke dalam rumahmu, lalu memperlakukan aku seperti peliharaan mahal. Kamu tidak pernah benar-benar menganggapku istrimu.”
Frans membalik badan, tak tahan mendengar nada suara Celine yang penuh tuduhan. Ia menarik napas dalam dan menatap jendela besar kantornya.
“Kenapa kamu tidak bisa seperti dulu? Diam. Anggun. Tidak menyusahkan.”
“Karena aku sadar aku hanya ditampilkan. Dipajang kalau hanya diam saja. Aku tidak akan jadi istri bodoh seperti itu.”
Frans menoleh dengan pandangan tajam. “Lalu kamu maunya apa? Mengobrak-abrik kantorku setiap kali kamu merasa kesepian?”
Celine melangkah pelan, mendekatinya. Wajahnya tiba-tiba serius.
“Aku mau kamu menatapku. Benar-benar melihat aku. Bukan hanya tubuhku, tapi aku, Celine. Istrimu.”
Frans terdiam sesaat. Tapi ketegasan segera kembali di wajahnya.
“Kamu terlambat. Aku sudah berhenti berharap pada pernikahan ini.”
Celine tertawa miris. “Lucu. Karena aku belum pernah diberi kesempatan untuk membuatmu berharap.”
Frans membuka pintu ruangannya. “Keluar.”
Namun Celine tetap berdiri di sana. Tak bergeming. Tatapannya sekarang penuh luka, bukan lagi amarah.
“Aku tidak akan pergi, Frans. Aku akan duduk di luar sana. Di kursi paling depan. Di tempat yang bisa dilihat semua orang. Sampai kamu sadar, bahwa aku tidak akan pergi begitu saja dari hidupmu. Kamu memilihku. Sekarang tanggung jawabmu.”
Frans mendekap dahinya sendiri, lalu menutup pintu dengan keras. Celine keluar ruangan, duduk di kursi tamu dengan anggun. Sekretaris menatapnya takut-takut.
“Buatkan aku kopi. Yang tidak murah. Aku istri pemilik perusahaan ini, kan?”
Sekretaris itu mengangguk kaku. Celine menyender santai.
Hari itu, semua mata di kantor menatap wanita di kursi depan. Dengan bibir merah menyala dan tatapan tajam, ia duduk tanpa bicara. Seolah sedang menantang seluruh dunia—dan terutama suaminya.
Frans tidak tahu sampai kapan dirinya akan menghadapi tingkah Celine seperti ini. Ayolah! Dia pusing menghadapi pekerjaan masa dia harus menghadapi istri seperti Celine juga.
“Celine! Jaga dudukmu!” Tegur Frans melihat gaya duduk Celine yang agak mengakang.
Celine tertawa kecil. “Kenapa? Kau mau memasuki sekarang? Ayo, suamiku. Aku bersedia melayanimu. Mana tahu setelah kau memerkosaku. Kau menjadi cinta padaku.”
Frans memutar bola mata malas. “Dalam mimpimu!”
Celine terkekeh kecil. “Lihat saja sayang. Kau akan ketagihan akan servis ku nanti.” ucap Celine percaya diri.