Celine melangkah keluar dari kamar tidur dengan gaun tidur tipis dan pendek yang nyaris tidak menutupi pahanya. Kainnya menerawang, memperlihatkan bentuk tubuh mudanya dengan jelas. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi justru itu yang membuatnya terlihat makin menggoda. Dia tahu apa yang dia lakukan.
Dia menuruni tangga menuju dapur. Saat melangkah, tatapan pengawal rumah yang sedang berjaga di luar pun sempat teralihkan ke arahnya sebelum buru-buru menunduk.
“Lama-lama pengawal di rumah ini bisa mimisan kalau lihat kamu begitu terus,” suara Frans terdengar tegas dari ruang makan. Pria itu sudah duduk dengan jas rapi, siap berangkat kerja.
Celine berpura-pura tak peduli. Dia membuka kulkas dan mulai mengeluarkan bahan-bahan untuk sarapan.
“Aku istrimu. Di rumah sendiri, mau pakai apa juga urusanku,” ucap Celine pelan tapi penuh sindiran. “Lagipula, bukannya kamu sama sekali nggak tertarik juga, kan?”
Frans mendengus. “Jangan mulai, Celine. Aku nggak mau harus mengusir semua staf rumah ini cuma gara-gara kamu nggak tahu malu.”
Celine membalikkan badan, meletakkan roti ke atas meja dengan gerakan lambat, lalu menatap Frans tajam.
“Kalau kamu benar-benar menganggap aku istri, harusnya kamu nggak mempermasalahkan ini.”
Frans meletakkan cangkir kopinya dengan keras ke meja. “Kamu tahu sendiri kenapa kita menikah. Ini bukan pernikahan normal.”
Celine tersenyum miring. “Iya. Karena kamu dijebak. Dan sekarang kamu terjebak dengan aku.”
Frans bangkit dari duduknya, menghampiri dapur dengan langkah cepat. Tatapannya jatuh pada gaun tidur tipis yang dipakai istrinya.
“Kamu mau semua orang di rumah ini lihat tubuh kamu?”
Celine mengangkat alis. “Kalau kamu nggak suka dilihat, ya peluk aku. Biar mereka tahu siapa yang punya.”
“Jangan main-main dengan aku, Celine.”
“Aku serius. Kamu suamiku, Frans. Mau sampai kapan kamu bertingkah seperti aku ini beban yang harus kamu tanggung?”
Frans memejamkan mata sejenak. “Aku bukan main drama di pagi hari. Aku ada meeting penting. Ganti bajumu.”
Celine tertawa pelan, lalu menghampiri Frans hingga hanya tinggal sejengkal.
“Atau... kamu mau bantu aku ganti pakaian?” bisiknya.
Frans menatapnya lekat-lekat. Rahangnya mengeras, tapi matanya sedikit berubah. Ada konflik di sana. Marah, muak... dan tergoda.
“Celine…”
“Aku cuma ingin kamu menganggap aku ini istrimu. Itu aja,” ucap Celine pelan, dengan nada yang lebih lembut.
Frans mendesah. “Sarapan dulu. Setelah itu... kita bicara soal ini.”
Celine tersenyum menang. “Aku masak pancake. Kamu suka yang banyak madu atau stroberi?”
Frans hanya menatap tak percaya. “Terserah kamu. Tapi tolong, pakai sesuatu yang lebih pantas. Aku nggak mau orang rumah salah paham dan mengira kamu...”
“Cuma gadis kecil penggoda?”
Frans terdiam. Celine menatap matanya dalam-dalam sebelum kembali ke dapur. Sambil memutar badan, dia bergumam pelan.
“Yah, setidaknya kamu mulai sadar sekarang…”
***
Setelah sarapan, suasana rumah itu menjadi tegang.
Celine duduk di sofa ruang tengah dengan kaki bersilang, masih mengenakan baju tidur tipis yang menggoda. Frans datang menghampirinya sambil membawa sebuah map cokelat di tangannya. Wajahnya kaku, tatapannya dingin.
Tanpa berkata apa pun, dia melemparkan map itu ke meja di depan Celine. Map itu jatuh dengan suara berat, membuat Celine mengangkat alis penasaran.
"Apa ini?" tanya Celine santai, menarik map itu dan membukanya.
"Perjanjian," jawab Frans singkat. "Mulai hari ini, kau tidak boleh menggoda aku lagi. Dan kau juga tidak punya hak untuk ikut campur dalam urusan hidupku."
Celine menghela napas panjang, lalu tertawa pelan, geli.
"Kau bercanda?" Dia memutar bola matanya dengan sinis. "Perjanjian? Kau pikir kita sedang bermain drama murahan?"
"Aku serius," suara Frans dingin. "Kau sudah cukup membuat kepalaku sakit setiap hari. Aku menikahimu karena keadaan. Jangan berpikir lebih dari itu."
Celine menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. "Kau tahu aku tidak akan menuruti ini, bukan? Aku bukan boneka yang bisa kau kendalikan seenaknya."
"Kalau kau tidak setuju," Frans menyipitkan mata, "maka mulai hari ini, aku akan pindah ke kamar lain. Kita akan hidup terpisah di bawah atap yang sama."
Celine terdiam sejenak, lalu membuka halaman pertama perjanjian itu. Matanya bergerak cepat membaca tiap kalimat.
Dia mendengus, lalu merobek lembaran itu satu per satu dengan pelan.
"Kau pikir aku akan takut dengan ancaman seperti itu?" katanya sambil terus merobek lembaran. "Kalau kau ingin tidur di luar rumah pun, silakan. Tapi aku tidak akan pernah berhenti jadi istrimu yang sebenarnya."
Frans mencengkeram rahangnya. "Kau keras kepala."
"Aku hanya tahu apa yang kuinginkan. Dan aku menginginkanmu," Celine tersenyum manis, meski matanya penuh api. "Tak peduli kau membenciku, aku akan tetap memilikimu."
Frans bangkit berdiri, menatap wanita itu dengan frustrasi. "Kau bukan anak kecil lagi. Bertingkahlah seperti wanita dewasa, Celine."
Celine berdiri perlahan, mendekat ke arahnya. "Tapi kau menikahi seorang gadis muda, bukan wanita tua membosankan. Apa kau lupa?"
Frans memalingkan wajahnya, tak ingin terjebak dalam permainan itu.
"Aku tidak mau membicarakan ini lagi."
"Sayangnya aku belum selesai," Celine menyentuh dadanya dengan jari telunjuk. "Kau bilang jangan menggoda. Tapi bagaimana kalau itu sifat alaminya aku, hm? Aku tidak bisa mengubah siapa diriku, Frans."
"Mulai hari ini," ucap Frans tajam, "kau akan diawasi. Dan semua aksesmu ke luar rumah dibatasi. Jangan harap bisa bertingkah seenaknya."
"Lucu," Celine terkekeh. "Kau takut kalau aku bermain-main dengan pria lain? Atau takut mulai jatuh hati padaku dan ingin membentengi diri, hm?"
Frans mengepalkan tangannya. "Cukup. Aku punya urusan."
Celine berdiri di depan pintu, menghalangi jalannya. "Kalau kau keluar dari sini, kau harus mencium pipiku dulu."
Frans memejamkan matanya, menahan amarah.
"Pergi dari jalanku."
"Kalau tidak?" senyum Celine semakin menantang. "Apa kau akan mengangkatku dan melemparku ke sofa?"
Dengan gerakan cepat, Frans menggenggam pergelangan tangan Celine, menundukkan wajahnya tepat di depan wajah gadis itu.
"Jangan main-main denganku, Celine."
"Aku tidak main-main," bisik Celine, napasnya menyentuh wajah pria itu. "Aku benar-benar menginginkanmu. Setiap inci dirimu."
Frans melepas tangannya dan berjalan cepat meninggalkan ruang tengah.
Celine menatap punggung pria itu, lalu tersenyum menang.
"Permainan ini baru saja dimulai."