Celine menatap kaca riasnya dengan teliti. Tangannya yang lentik menggenggam sebotol kecil obat tetes mata, lalu ia teteskan perlahan ke kedua matanya. Cairan bening itu membuat matanya tampak merah, seolah-olah baru saja menangis keras. Dia berkedip beberapa kali, menyesuaikan diri dengan sensasi pedih yang ditimbulkan. Wajahnya tampak nelangsa, penuh kesedihan pura-pura yang sudah ia latih berkali-kali di depan cermin.
"Sudah cukup dramatis," gumamnya lirih sambil tersenyum tipis.
Dengan langkah yang sudah disesuaikan—tidak terlalu cepat, agar terlihat lesu—Celine berjalan menuju rumah mertuanya. Gaun panjang berwarna biru muda yang ia kenakan melambai lembut, menambah kesan rapuh pada penampilannya. Begitu tiba, ia disambut langsung oleh ibu mertuanya yang terkejut melihat wajah sembab dan langkah lemas menantunya itu.
"Celine, kenapa sayang? Kamu sakit?" tanya sang mertua dengan panik.
Celine langsung memeluk wanita paruh baya itu. Tubuhnya gemetar kecil, dan tangis pura-pura mulai ia keluarkan, lengkap dengan isakan.
"Aku... aku cuma lelah. Aku enggak tahu harus cerita ke siapa lagi..."
"Masuk, duduk dulu. Kamu bikin Mama khawatir."
Setelah mereka duduk di ruang tamu, Celine menatap sang mertua dengan mata berkaca-kaca. Nafasnya bergetar seperti menahan emosi yang dalam.
"Aku cuma mau jujur. Frans… dia… dia bahkan enggak mau ajak aku bulan madu, Mama."
Sang mertua membelalakkan mata. "Apa?"
Celine mengangguk pelan, seolah enggan membicarakannya, tapi ingin dimengerti.
"Aku tahu kami menikah cepat. Tapi... aku juga punya perasaan. Aku ingin kami pergi berdua, mengenal lebih dalam satu sama lain, menjadi pasangan yang normal... Tapi Frans selalu menolak. Dia bilang dia sibuk. Dia bahkan... bahkan enggak pernah menyentuhku. Mama tahu rasanya jadi istri yang diabaikan?"
Air mata buatan kembali jatuh dari matanya, membuat ekspresinya tampak semakin memilukan.
Sang mertua memegang tangan Celine erat-erat.
"Ini sudah keterlaluan," ucap wanita itu tajam. "Frans pikir dia siapa memperlakukan istrinya seperti ini?"
"Aku enggak mau memperburuk keadaan, Mama. Aku enggak mau dianggap pengeluh. Tapi... aku merasa enggak dianggap."
"Sudah, kamu tenang. Biar Mama yang urus."
Tanpa menunggu lama, sang mertua mengambil ponselnya dan langsung menekan nama anaknya. Suaranya berubah menjadi dingin dan tajam.
"Frans, kamu bisa datang ke rumah sekarang? Ada yang harus kita bicarakan. Dan jangan pakai alasan sibuk. Sekarang juga!"
---
Kurang dari setengah jam kemudian, Frans sudah berdiri di ambang pintu rumah ibunya. Raut wajahnya tampak kesal, namun dia berusaha tetap tenang. Begitu masuk ke dalam rumah, dia langsung melihat Celine duduk di sofa dengan wajah sendu dan mata merah. Ibunya berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam yang mengarah padanya.
"Frans," ibunya memulai dengan suara berat. "Ada yang mau Mama tanya. Apa benar kamu menolak ajak istrimu bulan madu?"
Frans menatap Celine yang menghindari pandangannya, lalu menarik napas panjang. "Dia yang mulai duluan, Ma. Aku sudah buat kesepakatan, dia setuju. Tapi dia terus-menerus melewati batas."
Celine berdiri pelan, suaranya lirih namun terdengar menyayat.
"Aku cuma ingin jadi istri yang normal. Tapi setiap kali aku mencoba dekat, Frans menjauh. Aku ingin merasakan bulan madu... aku ingin jadi istri seutuhnya..."
"Dan kamu bilang dia terus melewati batas?" ibunya memotong dengan tajam. "Batas macam apa yang kamu maksud?"
Frans menatap ibunya. "Dia tahu kami menikah karena alasan tertentu. Bukan karena cinta. Dia tahu kami belum siap, tapi dia terus mendesak."
"Dan kamu pikir itu alasan untuk tidak berlaku adil padanya?" bentak ibunya. "Celine istrimu! Apa kamu ingin dia merasa tidak diinginkan? Tidak dihargai?"
Frans mengatup rahangnya, mencoba menahan emosi. Tapi Celine tahu—dia menang. Satu langkah lagi dan Frans akan terpojok.
"Aku cuma ingin pergi ke tempat indah bersamanya, Ma," lirih Celine, kembali menjatuhkan air mata palsu. "Aku ingin kenangan awal pernikahan kami bukan tentang penghindaran dan mengabaikan."
Akhirnya, ibunya menatap Frans dengan tatapan penuh perintah. "Ajak dia bulan madu. Tidak ada alasan. Lusa kalian berangkat. Kalau kamu terus seperti ini, Mama tidak akan diam."
Frans tak menjawab. Dia hanya mengangguk singkat dan memalingkan wajahnya. Ia tahu, percuma melawan saat ibunya sudah berpihak pada Celine. Wanita itu terlalu licik—dan tahu bagaimana memainkan peran dengan sempurna.
Celine mengelap air matanya perlahan. Begitu Frans berbalik pergi ke mobil, bibirnya tersenyum tipis penuh kemenangan. Satu langkah berhasil.
***
Akhirnya Frans dan Celine bulan madu ke Bali. Mereka menginap di vila pribadi yang sangat mewah, terletak di pinggiran Ubud, dikelilingi pepohonan tropis dan sawah hijau terbentang jauh. Malam pertama, suara binatang malam dan semilir angin lembut jadi latar suasana yang seharusnya romantis. Tapi Frans sama sekali tidak menyentuh Celine. Lelaki itu sibuk membuka koper, mandi, lalu langsung rebahan di sisi ranjang tanpa satu kata pun.
Celine mengganti pakaiannya dengan lingerie tipis berwarna merah muda yang baru dibelinya diam-diam. Ia berdiri di depan cermin, menarik napas panjang, lalu melirik Frans yang sudah membaringkan diri dengan mata terpejam. Tapi Celine tahu lelaki itu tidak tidur. Dia mendekat, duduk perlahan di sisi tempat tidur, tubuhnya miring menghadap Frans.
“Capek ya?” bisiknya lembut sambil menyentuh d**a Frans perlahan.
Frans membuka mata. Pandangannya datar. Ia hanya menatap wajah Celine sekilas, lalu kembali menutup mata tanpa sepatah kata pun.
Celine tidak menyerah. Ia memiringkan tubuhnya lebih dekat, mendekap lengan Frans dan membisik, “Kita kan baru malam pertama…”
Frans menggeser tubuhnya sedikit menjauh. Tidak kasar, tapi sangat jelas menolak. “Tidur.”
Celine diam. Ia menunduk, lalu membaringkan diri dengan punggung menghadap Frans. Tapi matanya terbuka lebar. Dia tidak akan membiarkan bulan madu ini hampa begitu saja.
Paginya, Celine bangun lebih dulu. Dia menyiapkan sarapan, mengenakan gaun tidur sutra pendek berwarna putih. Ketika Frans keluar kamar mandi, aroma kopi dan roti panggang menyambutnya. Celine duduk di meja dengan kaki disilangkan, memperlihatkan paha putih mulus yang terangkat sedikit.
“Pagi,” ucapnya manja.
Frans hanya mengangguk, lalu duduk di kursi seberang. Celine bangkit, mengambilkan gelas jus jeruk, dan dengan sengaja membungkuk terlalu rendah saat meletakkannya di depan Frans, membuat belahan dadanya terlihat jelas.
Frans tahu apa yang dilakukan istrinya. Tapi dia tetap diam. Makan dengan pelan tanpa satu respons menggoda pun.
Sore harinya, mereka berenang di kolam pribadi. Celine mengenakan bikini tipis warna hitam. Ia menyelam lalu muncul di dekat Frans, yang tengah duduk di tepi kolam hanya memakai celana pendek, menatap langit senja.
Celine menyentuh paha Frans di bawah air. “Temani aku berenang.”
Frans menoleh pelan. “Nanti.”
Tapi Celine tidak menyerah. Dia terus mengelilingi Frans, menyiramkan air ke wajahnya, tertawa kecil, lalu berenang ke sisi seberang kolam dengan gerakan sensual. Tubuhnya bergerak lambat, rambutnya basah terurai. Tapi Frans tetap tidak bergerak dari tempat duduknya.
Malam kedua, Celine muncul dari kamar mandi dengan tubuh hanya diselimuti handuk. Ia menyemprotkan parfum di lehernya, lalu naik ke atas tempat tidur pelan-pelan. Dia membuka handuknya perlahan, duduk di sebelah Frans yang tengah membaca buku, dan berbisik, “Aku istrimu…”
Frans tidak menoleh. “Tidur, Cel. Jangan mulai lagi.”
Tapi malam itu Celine tetap mencoba. Dia memeluk tubuh Frans dari belakang saat lampu dipadamkan. Membisikkan kata-kata manja, mencium pundaknya pelan, mencoba mencairkan dinding es yang memisahkan mereka.
Frans hanya menarik napas panjang dan memutar badan menghadap ke sisi berlawanan. Diam. Dingin.
Hari ketiga, Celine mulai merasa frustrasi. Tapi dia tetap tersenyum. Dia mengganti gaya. Kali ini, dia mengenakan dress panjang yang elegan, mengajak Frans makan malam di restoran tepi pantai. Sepanjang perjalanan, dia menggenggam tangan suaminya. Frans membiarkan. Tapi tidak membalas.
Ketika malam tiba dan angin pantai berhembus, Celine mendekatkan kursinya, menyandarkan kepala di bahu Frans.
“Kamu benci aku, ya?”
Frans menoleh, menatapnya. Tapi tidak menjawab. Ia hanya menatap laut gelap di depan mereka.
Celine berbisik, “Aku gak akan berhenti sampai kamu benar-benar melihat aku sebagai istrimu.”