“Sayang, ayo ke pantai, pleasee…,” rengek Celine sambil memeluk lengan Frans yang baru selesai mandi dan masih mengenakan handuk.
Frans menghela napas pelan, duduk di tepi ranjang, menatap istrinya itu dengan tatapan lelah.
“Besok pagi aja, Cel. Ini sudah sore.”
Celine langsung mencibir manja, “Tapi aku pengen sekarang. Katanya bulan madu, tapi kamu malah mau tidur terus.”
Frans tidak langsung menjawab. Tatapannya mengarah ke koper Celine yang terbuka. Dia melihat ada sepotong kain mencolok yang jelas bukan untuk tidur—bikini merah menyala dengan potongan yang terlalu minim.
“Cel, kamu jangan bilang mau pakai itu ke pantai,” gumam Frans sambil menunjuk.
Celine pura-pura tidak mengerti. “Yang mana, Sayang?”
“Yang merah itu. Yang hampir gak ada kainnya,” tegas Frans.
Celine tertawa kecil, mengambil bikini itu lalu berdiri di depan Frans sambil mengangkatnya tinggi.
“Kamu gak suka?” bisiknya sambil tersenyum nakal. “Atau kamu takut orang lain suka?”
Frans berdiri, menatap Celine tajam. “Kamu mau semua orang ngelihatin kamu pakai itu? Celine, itu terlalu...”
Celine malah maju selangkah, mendekatkan tubuhnya pada Frans.
“Kamu cemburu?” bisiknya di telinga Frans, suaranya menggoda. “Aku suka kamu marah begini... panas...”
Frans memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri. Tapi Celine tidak berhenti. Dia menyentuh d**a Frans, pelan.
“Pakai ini ya?” lirihnya. “Aku janji cuma jalan sebentar di pasir. Nanti malam, aku pulang langsung buat kamu. Hanya kamu...”
Frans memalingkan wajahnya, tapi tangannya tetap menahan bahu Celine agar tidak terlalu dekat.
“Kalau kamu pakai itu, aku ikut. Dan kamu jalan di sebelahku. Jangan jauh-jauh,” gumam Frans akhirnya.
Celine bersorak kecil dan mencium pipi Frans cepat. “Yay! Aku ganti baju dulu yaa!”
Beberapa menit kemudian, Celine muncul dari kamar mandi dengan bikini merah itu. Dia menambahkan kimono transparan tipis yang nyaris tak menutupi apa pun. Rambutnya diikat tinggi, kacamata hitam tergantung di d**a. Dia berdiri dengan satu tangan di pinggang.
“Siap, suami?”
Frans menatapnya dari atas ke bawah dengan rahang mengeras. “Tutup d**a kamu sedikit. Serius, Cel.”
Celine berjalan mendekat dengan langkah pelan, seolah berlenggak-lenggok di atas catwalk.
“Kenapa? Kamu gak suka liat aku pakai ini?” bisiknya, lalu menyandarkan dagunya di d**a Frans. “Atau kamu justru pengen aku cuma pakai ini... di kamar kita... berdua aja...”
Frans menghela napas keras. “Cepat jalan. Sebelum aku berubah pikiran.”
Celine tertawa geli dan menggandeng tangan Frans keluar vila. Jalanan menuju pantai tidak terlalu ramai. Angin sore meniup pelan, membuat rambut Celine berkibar.
“Frans... tahu gak, dari semua cowok yang pernah ngelihat aku pakai bikini, cuma kamu yang paling... posesif begini,” ucapnya sambil menoleh.
Frans langsung berhenti melangkah.
“Kamu bilang pernah tunjukin ini ke cowok lain?”
Celine tertawa keras dan menjambak pelan lengan Frans. “Nggak lah! Aku cuma mau lihat kamu cemburu... dan berhasil!”
Frans tidak berkata-kata. Dia hanya menarik tangan Celine lebih erat dan mempercepat langkah mereka menuju pasir.
Di pantai, Celine berlarian kecil, membiarkan air laut menyentuh kakinya. Dia sesekali menoleh ke Frans yang berdiri tak jauh, memperhatikannya tanpa ekspresi.
“Sayang, foto aku dong!” seru Celine, mengangkat ponselnya.
Frans mendekat dengan malas, tapi tetap mengambil ponsel itu dan memotret istrinya. Celine berpose dengan gaya yang membuat Frans kesal—punggung dilengkungkan, d**a ditekan maju, bibir sedikit menggoda.
“Cel, cukup,” tegur Frans.
“Tapi ini buat kenang-kenangan. Kan nanti aku gak bisa pakai bikini lagi kalau udah hamil,” katanya manja.
Frans terdiam. Tatapannya berubah sedikit, menatap Celine lebih lama.
“Kamu tidak akan hamil. Lagian aku tidak akan menyentuhmu.”
Celine mendekat, menyentuh d**a Frans dengan ujung jarinya. “Hahaha…. Aku akan hamil, kalau aku hamil... berarti kamu harus lebih posesif lagi. Lihat saja nanti.”
Frans menunduk, menatap mata istrinya. “Aku bukan posesif, Cel. Aku cuma... gak suka semua orang lihat apa yang seharusnya tidak mereka lihat.”
Celine tersenyum tipis, lalu berjinjit mencium dagu Frans.
“Dan aku suka kamu bilang gitu. Tandanya kamu mulai suka sama aku”
Matahari mulai tenggelam, langit Bali berubah oranye keemasan. Celine menarik tangan Frans untuk duduk di pasir, lalu menyandarkan kepala di bahu suaminya.
“Frans...”
“Hm?”
“Nanti bilang ya, kalau kamu sudah cinta sama aku. Aku bakalan buat kamu jatuh cinta sama aku. Karena aku beneran sayang sama kamu.”
Frans hanya diam mendengar ucapan Celine tidak mengatakan apapun.
***
Celine duduk di ranjang dengan rambut acak-acakan, wajahnya cemberut. Ia melipat tangan di d**a, sementara Frans baru saja selesai mengenakan kemejanya.
"Aku nggak mau pulang, Frans!" seru Celine tajam.
Frans menghela napas panjang. Ia melirik koper yang sudah tertutup rapi di sudut kamar hotel mereka. "Aku harus ke Jakarta sekarang juga, Celine. Ini darurat. Sekretarisku bilang saham kita anjlok karena ada kesalahan sistem internal."
"Jadi? Masa kamu rela ninggalin aku cuma buat angka-angka di komputer?"
Frans berjalan pelan mendekatinya. "Ini bukan cuma soal angka. Ini soal kelangsungan perusahaan, karyawan, investor. Aku nggak bisa tinggal diam."
Celine bangkit dari ranjang dan berdiri menghadangnya. Ia memeluk pinggang Frans dari depan dan menatapnya dengan wajah memelas. "Kita belum semalam pun bareng, Frans... Ini bulan madu kita. Kamu belum menyentuh aku sama sekali."
Frans mengalihkan pandangan. "Celine, aku udah bilang dari awal. Aku nikahin kamu karena permintaan Papa kamu. Bukan karena aku cinta."
"Tapi aku istrimu! Dan kamu belum menyentuh aku semalaman!" Celine mengguncang lengan Frans. "Apa kamu jijik sama aku? Atau kamu punya wanita lain?"
Frans menarik napas tajam. "Aku hanya terpaksa menikahimu. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura cinta sama kamu. Aku belum mencintai kamu."
"Aku bisa bikin kamu jatuh cinta, Frans." Celine mengusap pipinya sendiri perlahan, mencoba menggoda. "Kalau kamu mau tinggal malam ini, aku jamin kamu nggak akan nyesel."
Frans mencengkeram tangan Celine, menjauhkannya dari wajahnya. "Berhenti, Celine. Aku bukan lelaki yang bisa digoda pakai tubuh."
"Jadi kamu anggap aku murahan?" mata Celine mulai berkaca-kaca.
"Aku nggak pernah bilang begitu," ujar Frans, menahan emosi. "Tapi kamu harus belajar... cinta itu nggak dipaksakan. Aku nggak bisa maksa diriku tidur denganmu kalau hatiku belum siap."
"Kalau kamu pergi sekarang, aku anggap kamu nggak pernah anggap aku istrimu," bisik Celine getir.
Frans diam. Lalu ia memungut koper dan berjalan menuju pintu. "Terserah kamu mau anggap apa. Tapi aku harus pulang."
Pintu ditutup pelan. Celine terdiam, lalu terduduk di lantai dengan air mata yang jatuh satu-satu.
“Kenapa sulit sekali membuatmu mencintaiku?”