Bab 5. Pertemuan

1080 Kata
Dua pria duduk berhadapan satu sama lain, yang satu sibuk membaca berita di tabletnya dan yang satu hanya termangu sesekali menyesal kopi yang sudah dingin. "Kapan dia akan datang Pa?" dengus Andre kesal menatap ke arah ayahnya yang sedari tadi sibuk memainkan tabletnya. "Tunggu saja," jawab Tuan Adit tanpa menoleh ke arah putranya, memilih lebih fokus ke arah tablet. "Apa dia selalu telat seperti itu atau bahkan sekarang dia tidak datang?" Andre mulai geram, bagaimana tidak? dia menunggu sedari tadi sampai kopi keduanya pun sudah sangat dingin. "Kenapa jadi marah-marah? tidak sabaran sekali, dia pasti datang dan tunggu dengan tenang!" ketus Tuan Adit pada putranya. Andre menggerutu dalam hati karena gadis yang dijodohkan dengannya tidak kunjung datang juga, dia menunggu seperti orang bodoh dari tadi, berkali-kali dia menghela napas berat dan mengusap kasar wajahnya yang tampak gusar, Adit pun akhirnya melirik tingkah putranya. "Sabar! kau tidak bisa sabar sedikit hah?" Tuan Adit juga mulai ikut geram karena putranya yang sangat tidak sabaran itu. "Jika dia sudah datang berlaku baik lah padanya, kalau tidak ..." Belum sempat Adit menyelesaikan kalimatnya, suara pintu diketuk mengalihkan pandangan mereka berdua. "Permisi, maaf saya terlambat Tuan" Sekarang seorang gadis tengah ada di hadapan mereka berdua, gadis dengan surai rambut cokelat tua bergelombang, kulit putih mulus, hidung mancung, mata bulat bersinar cerah, bibir merah alami, serta tubuh ideal yang sangat sempurna. tanpa sadar Andre melotot dan sedikit membuka mulutnya. jangan tanya kenapa, karena gadis itu cantik, sangat cantik. Apa lagi melihat senyumnya sekarang. ‘Dia bukannya gadis kecil di minimarket waktu itu?’ batin Andre. Tuan Adit tersenyum cerah melihat orang yang ditunggu akhirnya pun datang, kemudian dia melirik ke arah putranya yang masih melotot dan ternganga seperti orang bodoh, bukannya menyambut calon istrinya malah dia menampakkan wajah yang seperti itu, kelakuan Andre membuat Tuan Adit geleng-geleng kepala. Dia yang sangat menolak keras perjodohan ini tapi dia tanpa sadar menurunkan harga dirinya seperti itu, dengan cepat Tuan Adit menaikan dagu anaknya agar mulutnya tertutup. "Mulutmu akan kemasukan serangga jika terus terbuka seperti itu," sindir Tuan Adit pada putranya. Menyadari kelakuannya, Andre agak merasa malu dan gengsi, dengan cepat dia merubah ekspresinya menjadi datar seperti tidak terjadi apa-apa barusan. "Ke sini, Nak Alena, kenalkan ini calon suamimu Andre," panggil Adit pada gadis di hadapannya. "Iya Tuan," Alena berjalan mendekati mereka berdua dengan perasaan sedikit takut, takut salah dalam bertingkah, karena perusahaan ayahnya bergantung pada dirinya sekarang. "Jangan panggil seperti itu, panggil aku Papa, sebentar lagi kalian akan menikah," ucap Tuan Adit dan hanya di jawab dengan anggukan kecil dari Alena. "Kenalkan, aku Alena." Alena mengulurkan tangannya ke arah Andre yang masih memandanginya datar. "Andre." Andre menjawabnya dengan singkat, sama singkatnya ketika dia menjabat tangan Alena. "Aku berangkat sekarang Pa, aku tidak ingin terlalu lama," Andre meraih kunci mobil yang ada di meja. "Ya, antar juga Alena untuk pulang nanti," Tuan Adit melirik dengan tajam, memperingati Andre kalau terjadi sesuatu yang tidak baik maka riwayatnya akan tamat. "Ikuti aku," ucap Andre masih dengan nada bicara yang terkesan dingin terhadap Alena. Alena yang masih bingung menatap Tuan Adit dengan wajah bertanya, dan Tuan Adit pun hanya mengangguk memberi isyarat kalau Alena harus mengikuti Andre sekarang, Alena merasa aneh padahal dia baru saja sampai tapi sudah diajak ke tempat lain. "Kenapa tidak masuk?" tanya Andre pada Alena yang diam mematung di depan mobilnya, Andre menghembuskan napas kasar dengan terpaksa dia membuka pintu mobilnya. "Masuk!" Alena yang menyadarinya buru-buru menuruti perintah Andre untuk masuk, di perjalanan mereka hanya diam tidak ada obrolan sama sekali, Alena merasa sangat tegang sekarang sedangkan Andre sesekali mencuri pandang ke wajah dan tubuh Alena, penampilan fisik Alena sukses membuat Andre menaruh perhatian walaupun hanya sedikit. "Kita mau kemana ya Pak?" tanya Alena ragu dan juga merasa takut 'Mentang-mentang masih muda seenaknya saja memanggil orang, apa aku tampak setua itu?! Dari awal pertemuan di minimarket saja sudah menyebalkan, tapi sekarang jadi tambah menyebalkan,' dengus Andre dalam hati. "Berkenalan dengan anak-anakku," jawab Andre dengan nada bicara yang di buat-buat seolah dia pria dingin. "Bapak sudah punya anak?!" Alena melotot tidak percaya menatap Andre. "Ya, kenapa memangnya? Apa kau tidak diberitahu?" tanya Andre melirik sedikit ke arah Alena dan di jawab hanya dengan gelengan kepala. "Mundur sekarang jika tidak siap!" ketus Andre pada Alena tapi dia hanya diam menunduk. "Aku punya dua anak, namanya Hana dan Fadil." Kenapa Andre jadi sangat peduli Alena harus akrab dengan anaknya? "Ah, akan aku ingat dengan baik," jawab Alena yang tersadar dari lamunannya. Sebenarnya Alena sedang berpikir bagaimana cara dirinya menyesuaikan diri dengan Andre dan anak-anaknya, jika dia tidak bisa apakah modal yang sudah ditanam di perusahaannya akan di ambil kembali tuan Adit? Bagaimanapun caranya dia harus bertahan apapun yang terjadi. *** Mereka duduk di ruang tamu dengan suasana sangat canggung, Alena belum berani memulai obrolan sama sekali, sedangkan Hana dan Fadil terlihat sangat terpana dengan penampilan Alena yang ada di hadapannya. "Hana, Fadil. Ini calon bunda kalian." Andre yang melihat suasananya kurang baik terpaksa memulai obrolan. "Halo Hana, Fadil. Namaku Alena." Alena hanya bisa menampilkan senyum getir karena dua anak kecil itu terus menatapnya dengan mulut ternganga sama seperti Andre sebelumnya. "Cantik ya, Ayah," ucap anak laki-laki berusia lima tahun yang tidak lain adalah Fadil. "Iya cantik sekali, Ayah," sahut Hana. Alena hanya tersenyum meringis, tidak tahu yang dikatakan anak kecil itu pujian atau ejekan. Sedangkan Andre yang melihat respon baik dari kedua anaknya malah merasa malas, kenapa juga anaknya menyukai Alena padahal mereka mati-matian membenci Sintia dan mengatakannya wanita jahat. "Hana umur berapa?" Akhirnya Alena memberanikan diri bertanya pada anak-anak Andre. "Tujuh tahun," jawab Hana dengan tatapan yang tidak berubah sama sekali sedari tadi. "Kalau Fadil?" Alena kini melirik Fadil yang juga sama seperti Hana, tatapannya tidak berubah. "Aku lima tahun." Tapi Fadil menampilkan cengengesan khas anak kecil. "Kau di sini dulu, aku titip anak-anakku karena aku ada urusan." Andre berkata seenaknya tanpa beban. "Tapi—" Belum sempat Alena menyelesaikan kalimatnya Andre sudah keluar dari pintu meninggalkannya dengan kedua anaknya itu. "Apa Hana boleh panggil Bunda?" tanya Hana dengan mata berbinar dan Alena hanya mengangguk dengan senyum manis. "Fadil juga, Fadil juga mau panggil Bunda," seru Fadil yang tidak mau kalah, melompat-lompat kegirangan. "Bunda, ayo Hana ajak berkeliling rumah." Hana meraih tangan Alena tanpa canggung. "Fadil juga ikut." Fadil memegang tangan Alena yang sebelahnya. Alena masih tidak percaya dengan mudahnya dia diterima oleh anak-anak Andre, dia pikir akan susah menyesuaikannya, tapi ternyata semudah ini. di mata Alena anak-anak Andre sangat menggemaskan membuatnya tampak sadar jatuh hati pada dua malaikat kecil itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN