"Kau ingin kami berhenti?!" tanya gadis bernama Lisa itu dengan memekik.
"Kau ingin kami berhenti tapi lihatlah kelakuanmu yang selalu saja berkelit mencari alasan, padahal sudah jelas kau menggoda Arga sampai Arga jatuh hati padamu, tapi kau masih saja banyak alasan!" Lisa sudah tidak bisa menahan emosinya sedari tadi, dia bahkan tidak memperdulikan banyak orang di sana.
"Aku tidak pernah menggoda siapapun Lisa, aku dan Arga hanya berteman, kau salah paham." Alena masih terus berusaha menjelaskan yang sebenarnya.
"Apa kau pikir aku akan percaya terhadap wanita yang menganggap dirinya ratu dan menganggap dirinya bisa mendapatkan siapa pun pria yang dia inginkan?!" Masih dengan emosinya yang menggebu-gebu Lisa menatap nyalang Alena.
"Kau bisa tanyakan sendiri kepada Arga, aku tidak memaksamu mempercayaiku, aku hanya menjelaskan yang sebenarnya, dan tolong kalian berhenti menggangguku, aku tidak pernah mengganggu kalian." Alena berkali-kali menghembuskan napas pelan agar perasaan nya bisa di kontrol, dia tidak mau pertahanannya pecah dan menangis di depan banyak orang
"Apa kau pikir kami yang mengganggumu duluan tanpa alasan?" Kini gadis di sebelah Lisa mulai maju.
"Berhentilah ... aku tidak mempunyai salah ke kalian. Soal Arga, kau tanyakan sendiri padanya, aku tidak mau ikut campur ke dalam hubungan asmara kalian berdua, sudah cukup! Aku tidak mau berdebat lagi dengan kalian." Setelah mengatakan hal demikian, Alena melangkahkan kakinya menjauh dari mereka bertiga tanpa memperdulikan bagaimana mereka memanggil Alena dengan kasarnya agar dia kembali dan melanjutkan debat mereka.
Alena menangis sesenggukan di toilet kampus sebelum pulang, dia sangat benci di situasinya saat ini, di mana dia harus menjelaskan tapi tidak di dengarkan sama sekali, jika saja dia punya pilihan maka dia tidak akan memilih untuk menikah.
Memastikan air matanya sudah terseka dengan bersih di wajah mulusnya, dan membenarkan penampilannya yang tampak berantakan, Alena membasuh wajahnya agar tidak terlalu terlihat kalau dia habis menangis.
Cemooh dari orang-orang tadi sungguh sangat masuk ke hati Alena, tidak bisa jika tidak dimasukan ke hati, andai saja mereka tahu dan mengerti posisi Alena yang terpaksa harus berkorban demi ayahnya.
***
"Kemana saja kau dari tadi?"
"Aku, 'kan kuliah," jawab Alena cuek, dia segera ingin cepat-cepat masuk ke kamarnya, malas berinteraksi dengan Andre karena dia tahu jika berdebat dengan Andre tidak akan ada kelarnya.
"Bisakah kau berhenti kuliah dan hanya fokus di rumah saja?" Andre berjalan mengekor di belakang Alena.
"Tidak." Alena hendak menutup pintunya namun segera di tahan dengan kaki Andre.
"Ketika aku sedang bicara, diam dan dengarkan, jangan menghindar!" Andre terlihat mulai geram
Alena menghembuskan napas pelan, bebannya seakan banyak sekali dan terus bertumpuk, berdebat dengan Andre adalah beban yang teramat berat. Alena membuka pintunya dan mencoba mendengarkan apa lagi yang Andre akan katakan padanya.
"Apa ada lagi yang harus kau katakan?" tanya Alena dengan wajah datar
"Kau sekarang jadi berani sekali denganku?! Sebelum menikah kau selalu bersikap baik dan penurut sekarang kau mulai mengeluarkan sifat aslimu ya?!" Andre mulai mencengkram kedua bahu Alena dan menatap tajam ke arahnya, sebaliknya Alena hanya memperlihatkan reaksi datar yang tak gentar sama sekali
"Jika tidak ada lagi, aku ingin istirahat, aku lelah." Alena memalingkan wajahnya malas menatap Andre.
"Apa kau pikir, kau saja yang lelah di sini? aku juga lelah asal kau tahu!" bentak Andre .
"Sebelum kita menikah kau juga bekerja, tapi setelah menikah coba kau pikir yang tadinya kau mengerjakan pekerjaan rumah sendirian sekarang jadi ada yang membantumu, aku juga mengurus anakmu dengan baik, bebanmu sebelumnya jadi sangat berkurang, 'kan. Aku tidak pernah mengatakan kalau hanya aku yang lelah, aku hanya mengatakan bahwa aku lelah!" Tanpa sadar Alena mengutarakan isi hatinya pada Andre.
Andre yang mendengar itu pandangan matanya berubah, yang tadinya tajam sekarang menjadi lebih tenang entah apa sebabnya. Andre menurunkan cengkramannya dari bahu Alena dan menghembuskan napas kasar.
Sedangkan Alena yang baru saja mengatakan itu tampak berpikir seharusnya dia tidak melakukan itu, dia tampak seperti seorang yang perhitungan sekarang, harusnya dia tahu resikonya saat menikah dengan orang asing untuk mendapatkan suntikan modal.
"Maafkan aku ..." Alena memelankan suaranya, kedua tangannya saling menggenggam satu sama lain.
"Harusnya aku tidak mengatakan itu, aku hanya lelah, bisakah aku beristirahat dulu baru kita bicara soal ini"
"Ya, istirahatlah secukupnya." Andre mulai pergi dari pandangan Alena.
Begitu Andre menuju keluar pintu untuk mencari udara segar, dia melihat seorang wanita dengan pakaian terbuka menarik koper di tangan kanannya, yang tidak lain adalah kekasihnya sendiri.
Kembali lagi ke Alena yang menuju kamarnya dengan perasaan yang sakit hati dengan semua kejadian yang dia alami.
"Hana, Fadil, maafkan Bunda Nak, Bunda menyayangi kalian tanpa berharap apapun, tapi Bunda tidak tahu kenapa bisa mengatakan hal itu," gumam Alena.
Alena menutup pintunya, kemudian mulai terisak, dia mulai mengingat kembali kejadian tadi siang saat di olok-olok sebagai w*************a, kata-kata mereka masih saja terngiang-ngiang di kepala Alena.
Alena menyelimuti dirinya sampai semua bagian tubuhnya tersembunyi, dia meraih ponselnya berniat memutar lagu keras-keras agar isak tangisnya tenggelam dengan suara dentuman lagu, ketika tangannya sudah menekan playlist dering panggilan telepon berbunyi dan tertera nama kontak seseorang di sana, dengan segera dia mengangkat panggilan itu.
"Halo," ucap Alena dengan napas tidak beraturan.
"Lena, kau menangis?"
Mendengar kalian itu, pertahanan yang tadinya Alena bangun runtuh, kembali terdengar isak tangis yang terdengar.
"Lena, ada apa? Kenapa menangis"
"Arga ... hiks, Arga ..." Alena hanya bisa memanggil nama Arga, dia tidak mampu menjelaskannya sekarang, karena dia hanya ingin menangis untuk saat ini meluapkan semua kesedihan yang dia lalui
"Menangislah sampai kau merasa tenang, aku akan menunggu sampai kau selesai menangis"
Alena menjadi semakin menangis di buatnya, jika saja mencintai itu bisa di pilih, maka dia akan memilih Arga untuk di cintai, satu-satunya pria yang mengerti perasaannya saat ini.
"Arga ... kenapa kau menelponku?" tanya Alena yang masih menyisahkan sesungguknya.
"Aku hanya ingin bilang, kau bisa bekerja lusa"
"Baiklah ..." Alena menghembuskan napas panjang menetralkan perasaan emosinya saat ini.
"Kenapa kau menangis?"
"Aku tidak apa-apa, aku hanya butuh menangis, terjadi banyak masalah hingga aku perlu menangis untuk melegakan perasaanku." Alena masih belum bisa mengatakan kepada Arga alasan dia menangis.
"Aku sudah bilang kau bisa minta tolong kepadaku, aku akan membantumu jika aku bisa Len, tidak perlu takut dengan rasa utang budi, karena aku menolongmu tulus tanpa menuntut atau meminta balik apa yang aku berikan"
"Terima kasih Arga, aku akan membalas kebaikanmu, tapi maaf aku tidak bisa membalas perasaanmu ..." lirih Alena.
"Aku sudah bilang 'kan aku menolongmu tulus, berarti aku tau kalau kau tidak menyukaiku, aku tidak mengharap kau membalas perasaanku, aku benar-benar tulus Len"
"Sepertinya aku harus bilang ke suamiku kalau lusa aku sudah bekerja," ucap Alena menyeka air matanya.
"Apa suamimu baik Len?"
Pertanyaan itu sukses membuat Alena bingung menjawabnya, tidak mungkin dia membeberkan semua kelakuan tidak baik Andre pada Arga, kalau dia melakukan itu sama .saja dia membuka aib suaminya sendiri
"Itu ..." Alena menggantungkan perkataannya.