Bab 14. Senyuman Palsu

1235 Kata
Perjalanan pulang menuju rumah terasa menyenangkan dengan adanya celoteh anak-anak, tanpa sadar Alena sudah sangat menyayangi kedua anak Andre sebagai anaknya sendiri, entah sejak kapan aura keibuan Alena muncul, dia ingin mengurus, merawat, serta menjaga Hana dan Fadil dengan sepenuh hati. "Bunda nanti pulang Hana mau makan udang asam manis," ucap seorang gadis kecil dengan senyuman cerianya. "Kalau Fadil mau ayam goreng Bunda," sahut anak kecil di sebelahnya dengan riang. "Iya nanti bunda buatkan yang enak," jawab Alena mengelus kepala mereka secara bergantian. "Nyonya kelihatan sangat sayang sama den Fadil dan non Hana," ucap supir di depan dan hanya di balas dengan senyuman simpul dari Alena. Mereka turun dari mobil, berjalan menuju rumah dengan tangan yang saling bergandengan, di balik pintu mereka sudah di sambut dua orang yang berdiri di sana, mereka berdua tersenyum mereka tapi tidak dengan Hana dan Fadil. Hana dan Fadil menenggelamkan wajah mereka ke dalam pelukan Alena, pelukannya sangat erat sehingga Alena bisa merasakan detak jantung mereka, dan merasakan kalau kedua tubuh anak itu bergetar ketakutan. Alena lupa memberitahu kalau Sintia akan menginap disini selama seminggu, pasti Hana dan Fadil kaget melihat Sintia sudah ada di rumah ini. "Hana, Fadil, sini sama Tante," perintah Sintia dengan senyum percaya diri. "Bunda, Hana takut," gumam Hana pada Alena. "Tidak apa-apa, ada Bunda di sini," Alena menepuk-nepuk punggung mereka berdua agar lebih tenang. "Hana, Fadil, sini." Sintia masih menyunggingkan senyumnya. Hana dan Fadil mendongakkan kepala mereka menatap Sintia yang juga menatapnya dengan senyuman manis tapi palsu itu, segera mereka menggelengkan kepala mereka dan kembali memeluk Alena. Sedangkan Sintia yang mendapat penolakan seperti itu mengubah ekspresinya, dari yang tadi menampilkan senyuman manis menjadi menatap sinis ke arah Hana dan Fadil, tanpa berpikir kalau mereka berdua masih kecil. "Aku akan mengantar mereka ke kamar." Alena segera memboyong Hana dan Fadil ke arah kamar mereka masing-masing, dia tahu kalau Hana dan Fadil tidak nyaman ketika sedang berada di dekat Sintia. "Kau lihat anak-anakmu itu tidak punya sopan santun, padahal aku sudah sangat baik menyambutnya," gerutu Sintia. "Sudahlah namanya juga anak-anak, mereka masih sangat kecil, aku harap kau mengerti." Andre mengelus punggung Sintia agar dia sabar menghadapi anak-anaknya. "Tapi anak-anakmu sangat dekat dengan istrimu padahal mereka lebih dulu mengenalku, kenapa anak-anakmu tidak menyukaiku juga?" Sintia masih terlihat sangat kesal. "Kalau soal itu aku tidak tahu, lebih baik kita mandi, ini sudah sore." Andre berusaha menenangkan Sintia, dan membujuknya masuk ke kamar agar dia tidak menimbulkan banyak masalah karena emosinya. Di sisi lain, Alena membantu Hana dan Fadil berganti pakaian dengan sangat telaten, dan membereskan perlengkapan mereka sekolah untuk besoknya, setelah selesai mengurus Hana dan Fadil, Alena segera ke kamarnya, mandi membersihkan dirinya. Alena menuruni tangga dan melenggangkan dirinya ke dapur, kalau di lihat betapa sibuknya kehidupan Alena saat ini, berbanding terbalik saat dia belum menikah. "Bunda ..." panggil Hana dari belakangnya. "Iya Sayang," sahut Alena sembari memasak. "Hana boleh mengerjakan pr di sini? Hana bosan sendirian di kamar." Hana berjalan memeluk Alena sembari membawa buku dan alat tulis lainnya. "Boleh Sayang, duduk di situ temani bunda memasak ya." Alena mengelus puncak kepala Hana, Hana mengangguk dan berjalan menaruh bukunya di atas meja makan. Alena sesekali membantu Hana menjawab soal yang sedang di kerjakan, setelah aktivitas masaknya selesai, Alena menata makanan di meja dengan sangat cekatan. "Hana, panggilkan ayah dan adikmu, Bunda mau ke kamar dulu, kalau kalian sudah selesai makan panggilkan Bunda ya." Alena mengelus puncak kepala Hana dengan sangat lembut, baru saja dia berjalan selangkah tapi Hana sudah menahan. "Bunda tidak makan bersama kami?" tanya Hana dengan wajah merengut. "Tidak, Hana makan dengan Ayah saja ya, Bunda harus ke kamar dulu, jangan nakal ya Sayang." Alena memberikan pengertian pada Hana, dan Hana hanya mengangguk lesu mendengar perkataan dari Alena. Sebenarnya alasan Alena tidak ingin makan bersama adalah karena dia ingin mengurangi waktu bersama Sintia dan Andre, dia sangat malas jika harus terlibat pertengkaran kecil yang di besar-besarkan seperti sebelumnya. Alena merebahkan dirinya di ranjang dan menarik napas panjang, dia cukup lelah seharian ini, untung saja tugas kuliah sudah dia kerjakan sebelumnya kalau tidak dia pasti tidak punya waktu untuk istirahat. "Hah ... besok aku sudah mulai bekerja." lagi-lagi Alena menarik napas panjang, mengingat besok dia akan bekerja beban pikirannya seakan bertumpuk, ketika dia baru saja memejamkan matanya sejenak untuk beristirahat, suara ketukan pintu menyapa indra pendengarannya. "Kau tidak makan?" tanya seseorang di balik pintu yang suaranya begitu familiar di telinga Alena, siapa lagi kalau bukan Andre "Tidak," jawab Alena dengan singkat tanpa membuka pintunya. "Keluarlah dan makan bersama, anak-anakku tidak bisa makan jika kau tidak ada," ucap Andre memberikan alasan yang klasik. Walaupun alasan yang di lontarkan Andre sangat biasa tapi itu sukses membuat Alena luluh, dia tidak sanggup menolak jika alasannya adalah anak-anak, dengan rasa malas dia turun dari ranjang dan membuka pintu. Pemandangan yang juga sama familiarnya, pria tampan bertubuh tinggi dan berotot ada di hadapannya tanpa ekspresi apapun, mereka berdua berjalan bersama ke arah meja makan yang keadaannya terlihat mencekam. Sintia dengan tatapan sinisnya memandangi Alena dan anak-anak secara bergantian, sedangkan Hana dan Fadil yang duduk di hadapan Sintia hanya bisa saling menggenggam tangan seakan menyalurkan kekuatan untuk melindungi satu sama lain. "Sayang kenapa belum makan?" tanya Alena yang sudah ada di belakang Hana dan Fadil. Menyadari Alena telah tiba, Hana dan Fadil memeluk langsung memeluk Alena tanpa meninggalkan tempat duduknya, Alena hanya bisa mengelus punggung kedua anak itu agar jauh lebih tenang. "Makan ya, Bunda temani." Alena mendudukkan dirinya di kursi samping Fadil, tangannya menyendokan makanan di piring untuk Hana dan Fadil yang belum terlihat mengambil makanan sama sekali. Hana mulai menyuap makanan ke mulutnya, begitu juga Fadil yang menerima suapan dari Alena, sedangkan Sintia hanya menatap tajam ke arah Alena seperti ada dendam yang menjalar di matanya. "Apa kau sedang mempermainkanku?!" Teriakan dan bantingan sendok ke meja makan dari Sintia memecah keheningan suasana meja makan, dan juga membuat Fadil yang di suapi Alena batuk tersedak. "Minum pelan-pelan Sayang." Alena menyodorkan air putih ke Fadil dan menepuk-nepuk belakangnya, kemudian Alena membisikan sesuatu ke Hana agar tetap melanjutkan makannya yang terhenti karena Sintia. "Ada apa Sayang?" tanya Andre yang heran dengan kelakuan kekasihnya. "Kau juga lupa? Apa kalian mau aku mati sekarang? Aku alergi udang!" pekik Sintia menggema ke seluruh ruangan itu "Maaf aku memasak itu karena Hana yang memintanya, bukan karena aku ingin meracunimu, aku bahkan tidak tahu kalau kau alergi udang," ucap Alena dengan nada datarnya sembari menyuapi Fadil. "Kenapa kau tidak menanyakan aku mau makan apa?!" Mata Sintia sudah di penuhi dengan amarah. "Apa aku perlu menanyakannya? aku rasa tidak, kau bukan anak kecil, di situ masih ada lauk yang lain selain udang, 'kan masih ada ayam dan tumis bayam, kau bisa makan itu." Alena menjawab dengan santai seakan dia tidak tersulut emosi, padahal dalam hatinya dia ingin sekali berteriak saat ini juga, jika saja tidak ada Hana dan Fadil. "Banyak alasan! Aku tahu kau sedang berusaha menyingkirkanku dengan cara kotor seperti ini, kau benar-benar harus dibuat sadar dengan posisimu!" Sintia bangkit dari duduknya, berniat ingin menjambak Alena di hadapannya namun segera di cekal oleh Andre. "Sudahlah Sayang, ini hanya masalah makanan jangan di perbesar, aku bisa pesankan yang kau mau." Andre berusaha menghalangi serangan yang akan Sintia berikan kepada Alena, Andre juga melirik ke anak-anaknya yang sudah berkaca-kaca ingin menangis. "Bunda ...." Tangis Hana dan Fadil pecah di pelukan Alena. "Sayang berhentilah anak-anakku menangis." Andre masih memegangi tangan Sintia yang siap melayangkan serangan ke arah Alena dan anak-anaknya. "Kalian ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN