Dante menyusul, lalu duduk di sebelah Jena, bersandar pada kepala ranjang. Tubuhnya masih lemas, dan itu bukan kebohongan untuk menarik simpati Jena. Tidak, dia bukan pria seperti itu. “Memang benci, tapi nggak sebenci itu. Memang kamu kira aku sebenci apa sama kamu?” jawabnya dengan suara lirih. Sungguh, Dante masih cukup lemas, bahkan tenaga untuk bicara saja nyaris tak ada. “Menurutmu gimana! Kamu saja ngatain aku murahan, gak punya harga diri, matre. Memang aku bisa kasi rate berapa untuk kebencianmu itu.” Jena memanyunkan bibir, melampiaskan kekesalan yang selama ini dipendam sendirian Sedangkan Dante justru terdiam. Heran. Dia merasa ada yang aneh dengan perkataan Jena. Sejenak mengacak acak memori di kepalanya. Mencari sepenggal memori lama yang nyaris dia lupakan. Benar, dia