“Tapi kamu harus benar-benar istirahat total. Tidak boleh stres, tidak boleh angkat berat, tidak boleh terlalu banyak berpikir. Bahkan tekanan emosi sekecil apapun bisa memicu kontraksi. Kondisimu rawan. Sekali saja kamu memaksakan diri ... kamu bisa kehilangan janin ini.” Siera mengangguk, tapi tak membuka mata. Matanya terlalu basah untuk berani melihat dunia lagi. Dunia yang sama yang membuatnya terus lari, terluka, bertahan, lalu nyaris hancur. Untuk pertama kalinya, rasa takut yang menggigil dalam tubuhnya bukan untuk dirinya sendiri—melainkan untuk seseorang yang belum pernah ia lihat wajahnya, belum pernah ia peluk, namun sudah jadi seluruh hidupnya. Tangannya kembali menyentuh perutnya, perlahan, penuh kasih. “Aku hampir kehilangannya … demi apa?” gumamnya pelan. “Demi bertahan