Udara kamar hotel terasa pengap, meski pendingin ruangan masih menderu di langit-langit. Tirai tebal tertutup rapat, menyisakan sedikit cahaya dari celah yang jatuh di atas ranjang besar dengan seprai putih gading yang sudah sedikit berantakan. Siera berdiri mematung, tubuhnya tegang seperti busur yang siap patah. Lingerie-nya masih utuh, tapi matanya menyiratkan kewaspadaan yang mendalam—bukan ketakutan biasa, melainkan insting bertahan hidup yang terasah bertahun-tahun. Pria itu, dengan perut buncit dan wajah menyeringai seperti anak kecil menemukan mainan baru, mendekatinya perlahan. Tubuhnya beraroma tajam—parfum mahal bercampur alkohol. Siera mundur satu langkah, refleks. “Maaf ....” Suaranya nyaris tenggelam di antara suara detak jam dan gemuruh AC. “Tolong, jangan terlalu keras