Jayden mengawasinya, seolah takut jika Zakiyah akan salah masuk ke ruangan lain, padahal jelas-jelas pintu lain di sana hanya kamar ganti. Lalu, ketika gadis itu sudah masuk ke ruangan sana, dia menghela nafas lega.
“Sial!” gerutunya pelan.
Zakiyah, celingukan di dalam kamar ganti itu. Menyempatkan diri mengagumi desain interior maskulin yang sepertinya dirancang khusus untuk Jayden. Walk In Closet yang tertata rapi dengan lemari penuh pakaian yang diatur menurut warna pakaian, yang sebenarnya hampir semua berwarna kalem dan natural. Lemari sepatu juga penuh dengan puluhan pasang dari berbagai merek dunia dan tentunya mahak, tak ketinggalan lemari meja kaca dan laci berisi jam tangan mewah dan dasi yang tergulung rapi di setiap kotak masing-masing.
“Ck! Dia memang sekaya ini, dari penataannya saja menjelaskan kalau dia ini psikopat!” gerutu Zakiyah seraya berjalan menyusuri lemari-lemari itu, dengan pancaran rasa kagum dan juga iri dengan kehidupan pria bisa semewah dan seglamor itu.
“Pantas saja aunty Siera juga sering dimanjakan dengan berbagai barang mewah dan mahal!” dengusnya lagi.
Zakiyah berpikir apa dia bisa sedikit bertingkah materialistis dan meminta barang yang mahal atau fasilitas mewah juga pada Jayden. Pria itu sendiri bilang dia bebas memakai uang dan kartu debit yang diberikan sebagai kompensasi, jadi mungkin tidak ada salahnya dia menggunakan itu semua.
“Tapi,”
Zakiyah berpikir lagi, tapi di sisi lain dia juga takut jika nanti Jayden akan meminta balik itu semua atau menagih timbal balik darinya. Contohnya, dengan tidur bersamanya.
“Ih, nggak! Aku nggak boleh melakukan itu!” tepisnya lagi seraya menggeleng keras.
Semua hadiah dan kado yang didapat dari pernikahan itu dianggap sebagai milik Siera, itu sebabnya dia merasa terharu ketika Jayne memberikan tas yang dikatakan khusus untuknya.
“Bertahan saja, Kiya, dan tunggu aunty Siera kembali. Kamu akan tetap aman dan dia tidak akan berani berbuat macam-macam!” tukasnya menarik nafas berat.
Tak mau membuat Jayden merasa curiga, Zakiyah cepat-cepat berganti pakaian, meski sambil celingukan seolah merasa ada yang memperhatikan. Terlebih adanya manekin dengan setelan jas mahal di sana seolah jelmaan Jayden yang tengah memelototinya.
“Aduh, kenapa begini bajunya!” keluhnya ketika membuka kotak pakaian itu.
Jayne memang memberinya piyama celana, hanya saja bagian atasnya lebih mirip tanktop atau lebih pas disebut kamisol. Motifnya juga elegan karena terbuat dari sutera halus yang membentuk tubuhnya.
“Astaga! Mana bisa aku keluar dengan baju tidur begini!”
Zakiyah kebingungan sendiri, tapi dia juga tak bisa tetap berada di sini atau Jayden akan menduuhnya macam-macam. Maka, dengan canggung dia keluar dari kamar ganti.
Jayden yang sedang duduk membaca buku, mengerjap ketika melihat Zakiyah keluar. Gadis itu tampak canggung dan riskan sendiri mengenakan pakaian tidur terbuka begitu.
“Ini pasti kerjaan Jayne!” gerutu Jayden dalam hati, kesal pada saudara kembarnya itu.
Jayden sudah dibuat terpana ketika Zakiyah mengenakan gaun pengantin, dia tampak berkilau dan mempesona setiap pandangan yang di ballroom. Lalu, kali ini dia menyaksikan kulit putih pucat itu lagi terpampang di hadapannya.
“Uncle tidur di sofa!” ujar Zakiyah tiba-tiba, lepas berkata begitu, dia berlari menuju tempat tidur dan menarik selimut menutupi tubuhnya.
Jayden mengerjap dan berkacak pinggang melihatnya, berusaha menetralkan rasa canggung yang juga menguasainya. Sejak lama kamar ini hanya dimasuki oleh dirinya sendiri, dan tak pernah mengajak seorang wanita pun ke sana bahkan Siera sekalipun. Karena Jayden selalu membooking hotel jika sedang berkencan dengan wanita penghibur, atau becumbu mesra dengan Siera di apartemennya. Jarang sekali dan hampir tak pernah bahkan sebulan sekali pun dia pulang dan menginap di rumah Takizaki.
Tapi sekarang, ada seorang gadis yang sudah menguasai tempat tidurnya. Satu hal kontras yang feminim di antara hal maskulin di sekitarnya. Gadis berwajah mungil dengan bibir merah muda di sana …
“UH!” Jayden mendengus seraya memalingkan wajahnya, jiwa kelelakiannya terjaga melihat bahu putih dan betis mungil mulus itu sekilas tadi.
“Kenapa malah kamu yang ngatur di sini? Harusnya kamu yang tidur di sofa!” omelnya seraya menunjuk ke arah sofa. Tapi karena dia enggan menoleh melihat langsung ke arah Zakiyah, maka yang ditunjuknya adalah sofa yang ada di luar balkon kamarnya.
Tentu sja Zakiyah terperangah kesal karenanya.
“Boleh saja, tapi aku akan beritahu Mama Zalikha dan Mbak Jayne kalau Uncle malah menyiksa aku dan memaksaku untuk tidur di luar!” tegas Zakiyah melawan.
Jayden menoleh cepat, dia melihat ke arah yang ditunjuknya tadi.
“Bu-bukan! Ma-maksudku–”
“Uncle kejam!” geram Zakiyah seraya melompat turun dari kasur dan melangkah menuju pintu.
Jayden tak mau membuat kehebohan di tengah keluarganya kali ini, meski dia tahu Zakiyah mungkin hanya menggertak saja, tapi sepertinya gadis itu memang lebih ‘aman’ jika berada di kasur dan diam di balik selimut.
“Jangan!” serunya seraya menarik lengan Zakiyah.
Tapi kemudian dia cepat melepaskannya lagi, seolah tersengat begitu saja. Zakiyah sendiri kaget karenanya, berpikir apa tiba-tiba dia memiliki kekuatan listrik yang membuat Jayden kena setrum.
“Belut listrik, dong!” dengusnya antara geli dan kesal.
“Sudah sana, tempat tidur itu milik kamu malam ini. Aku harus meminta pelayan mengganti semua spreinya besok pagi!” dengus Jayden seraya menggerutu pergi masuk ke dalam kamar ganti.
Zakiyah menghentak kaki, kesal dan tersinggung tak terkira dengan sikap angkuh Jayden.
“Kalau nanti dia malah jatuh cinta sama aku, awas saja!” dengusnya seraya berbalik naik menuju tempat tidur.
Jayden berada di kamar ganti, dia terdiam dengan wajah seperti orang shock dan nafas terengah.
“Sialan!” sungutnya.
Sesaat kemudian matanya tertuju pada tumpukan baju Zakiyah yang terlipat rapi di atas meja, langkahnya terarah ke sana serta tangannya terulur tanpa bisa dihentikan. Seolah terhipnotis dia meraih baju itu dan mendekatkannya ke hidungnya.Menghidu aroma lembut bercampur wangi tubuh Zakiyah yang manis.
“Eh!”
Jayden terbelalak, sadar dengan apa yang dilakukannya. Dia terjajar mundur sambil melempar baju blus itu ke atas meja.
“Ah, apa-apaan!” kesalnya lagi seraya bergegas masuk ke kamar mandi.
Malam merangkak semakin larut, menjelang dini hari dan suhu udara semakin turun, dingin dan menusuk tulang. Angin malam menerobos masuk melalui ventilasi kamar, menerpa kedua tubuh manusia yang tergolek terpisah di dua tempat berbeda.
Jayden tidur meringkuk di sofa, dia tampak berkerut kedinginan merasakan udara dini hari yang menggigit. Mulutnya berdesis lirih menahan rasa dingin.
Sepasang kaki putih melangkah mendekatinya dengan pelan, lalu menutupi tubuh Jayden dengan selimut, sehingga pria itu kemudian tersenyum dalam tidurnya, merasakan tubuhnya kini hangat dan tak kedinginan lagi.
“Dia manis kalau senyum begitu!” bisik Zakiyah, sesaat terpaku memandangi Jayden yang tengah tertidur dengan lelapnya.