Dibawah Kendali Jayden.

1103 Kata
Malam yang terasa lama itu akhirnya berakhir. Zakiyah yang baru tertidur ketika matahari muncul di ufuk timur, tentu saja kaget ketika mendengar teriakan Jayden yang membangunkannya. “Bangun, Zakiyah! Jangan mentang-mentang orang tuaku jatuh hati padamu lalu kamu bisa bermalas-malasan!” kata Jayden mengguncang bahu Zakiyah dengan risih. Zakiyah menguap lebar seraya bangun dengan mata masih terkantuk-kantuk. “Bisa nggak jangan teriak begitu, Uncle? Aku bisa dengar kalau Uncle bicara dengan halus!” rengeknya antara sadar dan tidak, lalu kembali menguap sampai matanya berair. Jayden mengerjap, sadar dengan sikapnya barusan yang terkesan terlalu kasar. “Iya, bangun kalau begitu. Perempuan harus bisa bangun pagi, ‘kan!” gerutunya seraya melengos pergi, dia sendiri sudah berpakaian rapi dan siap untuk pergi. Zakiyah mendengus. “Dasar penganut patriarki!” gerutunya. Jayden memperhatikan dari pantulan cermin selagi dia merapikan pakaiannya, Zakiyah terseok berjalan menuju kamar mandi. Bibirnya lalu tersenyum tipis, matanya melirik ke arah selimut yang terlipat rapi di sofa. Secepat kilat Zakiyah mandi dan keluar dengan segar, rambutnya diikat rapi dan penampilannya kini dipermanis dengan tas pemberian Jayne. “Tidak usah sarapan, katakan pada orang tuaku kalau kita buru-buru mau pindahan ke apartemen!” tukas Jayden ketika mereka berjalan keluar dari kamar. “Ya!” sahut Zakiyah dengan nada datar, malas jika harus mendebat Jayden pagi-pagi begini. Zalikha dan Daylon pun tak bisa menahan mereka terlalu lama dan mengizinkan untuk pergi lebih pagi. “Ya sudah, boleh lah nanti kapan-kapan Mama main ke sana, ya?” kata Zalikha mengusap lengan Zakiyah dengan lembut, perhatiannya membuat Zakiyah merasa terharu. “Tentu saja boleh. Hanya saja mungkin jangan mendadak, Ma, takutnya aku dan Kiya masih di kantor. Iya, ‘kan, Sa–eh, Kiya?” ucap Jayden. “Hah? Eh, i-iya!” sahut Zakiyah seraya melirik canggung pada Zalikha dan Daylon. Jayne membentuk cengiran lebar mendengarnya, melirik ke arah Zakiyah yang terdiam dengan wajah merah padam, sementara Jayden mendengus dengan pipi sama merahnya. “Baiklah, hati-hati di jalan dan jangan lupa sarapan dulu, ya, kalian!” kata Zalikha mengingatkan. Jayden dan Zakiyah serempak mengangguk, mereka lalu berpamitan termasuk pada Ranu yang merengek ingin ikut dalam gendongan Jayne. Berat rasanya meninggalkan kehangatan di rumah Takizaki yang menurutnya lebih baik dari Jayden sendiri, Zakiyah melambai selagi mobil yang dikemudikan oleh Jayden membawa mereka keluar dari halaman luas rumah Takizaki tersebut. *** Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, Jayden hanya diam mengemudi dengan dingin, kembali pada kepribadian aslinya ketika sedang bersama Zakiyah. Ucapan dan janjinya di hadapan Daylon dan Zalikha hanya semu semata, dia pun merasa dipermainkan dan dimanfaatkan oleh Jayden. Menghabiskan waktunya bersama Jayden adalah hal terakhir yang dia pikirkan dan itu memuakkan, tak ingin hidupnya sia-sia karena terjebak dalam pernikahan ini. “Uncle nggak bisa menggunakan aku sebagai tameng dari kedua orang tua Uncle!” tukasnya dengan suara bergetar namun jelas menunjukkan keberanian. Jayden sama sekali tak menoleh, dia seolah tuli atau tak menganggap Zakiyah ada di situ. Itu membuat Zakiyah kesal dan marah, sakit hati dengan perlakuan pria itu. “Uncle!” pekik Zakiyah gusar, dia mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu agar menoleh padanya. Tapi Jayden sigap menangkapnya. Zakiyah pun langsung meringis kesakitan, kesal dan mengutuk diri sendiri karena tak juga mempelajari satu hal itu. Jayden menepikan mobilnya sejenak, berhenti di tepi jalan barulah dia lalu menoleh pada Zakiyah dengan tatapan dingin. “Apa maumu, Zakiyah? Aku sudah memberi kelonggaran dengan kamu menjadi istriku menggantikan Siera, kamu bisa tetap menjalani hidupmu dan bebas menghabiskan uangku jika mau. Atau kamu memilih untuk membayar ganti rugi atas semua uang yang aku habiskan untuk pernikahan itu dan meminta maaf di hadapan publik, mengakui semuanya?!” tukas Jayden dengan suara rendah namun menggetarkan. “Begitu Siera kembali maka aku akan segera menceraikanmu!” tambahnya lagi seraya menghempaskan genggaman tangan Zakiyah dengan kasar. Zakiyah meringis memegangi tangannya yang untuk ke sekian kali jadi korban kekerasan Jayden. Meski samar, bekas cengkraman tangan kekar itu meninggalkan bekas kemerahan di kulit putihnya yang pucat. “Lalu apa yang Uncle katakan tadi di depan orang tuamu itu? Semua itu bohong?” geram Zakiyah, berusaha agar tidak menangis meski air matanya tak bisa ditahan. Jayden tersenyum sinis. “Masih tanya? Kamu tahu aku tidak bisa terikat dengan satu wanita saja, Kiya dan kamu hanya akan jadi boneka pajangan dan tamengku dari kemarahan orang tuaku, dan–” Jayden menyambar rahang Zakiyah yang hendak membuka mulut melawannya, dicengkeramnya wajah itu dengan kasar sampai gadis itu tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis kali ini. “Jangan harap kamu bisa mengadu pada mereka karena kamu pasti akan merasakan akibatnya!” tukas Jayden mengakhiri ancamannya dan melepaskan Zakiyah. Zakiyah pun hanya bisa menangis lirih, selain merasakan sakit di rahang dan tangannya, dia pun kini merasa tidak berdaya dalam kendali dan tali kekang Jayden. Dengan emosi Jayden melanjutkan perjalanan pulang mereka, mengemudi di atas kecepatan rata-rata, menyalip kendaraan lain dengan luwesnya. Tak peduli pada Zakiyah yang memejamkan mata dengan nafas tersengal, berpegangan sambil menggigil ketakutan. Begitu mereka kembali ke hotel, Jayden langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Zakiyah melihat itu sebagai kesempatan untuk lari, namun nyatanya tidak secepat itu. Jayden meminta dua kunci akses cadangan yang mana salah satunya dia pegang, dan satu lagi ada di tangan anak buahnya yang berjaga di luar kamar. Kesal dan marah namun tidak berdaya, Zakiyah pun mengamuk dan melepaskan amarahnya pada benda di sekelilingnya. Sambil berteriak murka, dia menyapu seisi meja dan membiarkan semuanya terlempar kemana-mana dan pecah di lantai. “b******k! b******n!” teriaknya, tak peduli Jayden akan mendengarnya dan marah sekalipun. Jayden yang kemudian selesai mandi dan keluar dari kamar mandi, hanya memberinya tatapan datar. Sejenak dia menebarkan pandangan pada lantai yang kini penuh dengan benda yang berserakan dan pecah, wangi parfum menguar tajam memenuhi kamar mewah yang kini tak ubahnya sebuah kapal pecah. “Bagus, setidaknya kamu bisa melampiaskan amarahmu dengan lega. Iya, ‘kan?” tukasnya tersenyum miring. Zakiyah yang masih terengah-engah mengatur nafasnya, mengikuti kepergian Jayden yang berjalan keluar dari kamar itu dengan leluasa. Lelaki itu jelas mengejeknya dan meremehkannya. “Dasar nggak punya hati!” teriaknya gusar, sedetik kemudian tangisnya dan dia jatuh terduduk di lantai sambil menangis tersedu-sedu sendirian. Demi meredakan kekesalannya, Zakiyah keluar dari kamar untuk sekedar jalan-jalan menghirup udara segar. Meski sekarang sudah malam, dia masih bisa menikmati suasana malam di restoran sederhana yang tak jauh dari hotel tersebut. Pemandangannya justru terasa lebih nyaman dan menyejukkan, karena dia bisa makan melihat danau buatan di dalamnya, yang terlihat terang dengan adanya lampu-lampu kecil bak kunang-kunang menghiasi sekitarnya. “Apa yang harus aku lakukan? Sampai kapan aku harus hidup bersama dia lebih lama lagi!” keluhnya, tangannya mengaduk-aduk jus sementara matanya menerawang jauh ke tengah danau.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN