Masih Mencari

1062 Kata
Langkah kaki Jayden bergema di lorong hotel yang sunyi. Udara terasa berat, ditekan oleh ketegangan yang mencekik. Ia membuka pintu kamar yang seharusnya menjadi ruang persiapan Siera dengan gerakan cepat, gerakan yang mencerminkan kegundahan dalam hatinya. Bayangan Zakiyah masih menghantuinya, kebohongan dan gelagatnya yang mencurigakan. Namun, saat ini, Siera adalah prioritas utama. Pernikahan mewah yang direncanakan dengan matang ini bisa runtuh hanya karena hilangnya calon pengantin wanita. Bayangan itu cukup untuk membuatnya bergidik. Di dalam kamar, Ario sudah menunggu. Wajahnya datar, tetapi Jayden bisa merasakan ketegangan yang sama di balik ketenangan asistennya itu. Suasana mencekam menyelimuti ruangan, hanya diselingi oleh detak jam dinding yang terasa begitu nyaring. “Tuan, semuanya sudah saya atur. Hiburan berjalan lancar, tamu-tamu terhibur, dan makanan yang saya pesan khusus sudah disajikan. Semuanya terkendali. Seharusnya tidak ada masalah,” lapor Ario, suaranya tenang, namun Jayden bisa merasakan getaran kecemasan di balik kata-katanya. Ia tidak percaya sepenuhnya pada laporan Ario. Ia membutuhkan kepastian, kepastian tentang keberadaan Siera. Jayden mengabaikan laporan Ario. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. “Kita perlu bicara di tempat yang lebih pribadi, Ario. Saya tidak ingin ada yang mendengar pembicaraan kita.” Suaranya rendah, tetapi berisi ancaman terselubung. Mereka berdua keluar dari kamar, berjalan menuju kamar yang lebih kecil di sebelahnya. Di dalam, beberapa penata rias dan penata rambut sudah bersiap. Mereka semua menoleh, tatapan mereka penuh harap dan sedikit cemas. Jayden merasakan beban tanggung jawab yang berat di pundaknya. Ia tidak hanya bertanggung jawab atas pernikahannya sendiri, tetapi juga atas keselamatan Siera. “Kalian semua keluar! Gunakan kamar di ujung lorong. Jangan sampai terlihat oleh para tamu!” perintah Jayden, suaranya tegas dan tak terbantahkan. Tidak ada yang berani membantahnya. Mereka semua bergegas keluar, meninggalkan Jayden dan Ario sendirian dalam keheningan yang mencekam. Ario menutup pintu dengan hati-hati. Keheningan yang tiba-tiba itu terasa lebih berat daripada sebelumnya. Hanya suara napas mereka yang terdengar. “Bagaimana perkembangan pencarian Siera?” tanya Jayden, suaranya berat. Ia tidak perlu bertanya lagi tentang kekhawatirannya. Ario tahu persis apa yang sedang ia rasakan. Ario menggelengkan kepala. “Masih belum ada kabar, Tuan. Tim pencari masih terus berupaya. Ponsel Nona Siera mati, dan itu menyulitkan pencarian. Kami sudah melacak semua CCTV, dan hanya ada rekaman Nona Siera meninggalkan hotel dengan tas merahnya. Setelah itu, ia menghilang tanpa jejak.” Ario berhenti sejenak, menatap Jayden dengan tatapan khawatir. “Saya sudah mengerahkan semua sumber daya yang saya punya, Tuan. Tetapi ….” Jayden memotongnya. “Tetapi apa, Ario? Katakan saja!” Suaranya meninggi, kecemasan dan amarah mulai menguasainya. Ia membayangkan skenario terburuk, bayangan yang cukup untuk membuatnya kehilangan kendali. Ario menghela napas. “Tetapi, kami belum menemukannya, Tuan. Dan waktu semakin sempit.” Ia melihat jam tangannya. “Tinggal setengah jam lagi sebelum upacara dimulai.” Keheningan kembali menyelimuti ruangan, lebih mencekam daripada sebelumnya. Jayden merasakan tekanan yang luar biasa, tekanan yang mengancam untuk menghancurkannya. Pernikahannya, reputasinya, semuanya tergantung pada keberadaan Seira. Dan waktu terus berjalan, menghitung mundur menuju kehancuran. “Ah, b******k! Wanita itu benar-benar mencari masalah!” Jayden mengusap wajahnya frustrasi. Kecemasan dan amarah bercampur aduk dalam dirinya. Ia harus memikirkan solusi, dan cepat. Waktu terus berlalu, mengerat lehernya seperti sebuah jerat. Pernikahannya, reputasinya, semuanya bergantung pada keberhasilan menemukan Siera. Bayangan skenario terburuk terus menghantuinya, membuat keringat dingin membasahi dahinya. “Saya akan menghubungi tim pencari lagi. Saya akan meminta mereka untuk mencari dengan lebih cepat dan detail. Jika perlu, kita akan menggunakan jasa pelacak profesional—” Ario memulai penjelasannya, suaranya tenang, mencoba untuk meredakan amarah Jayden. Ia tahu, Jayden sedang berada di ambang keputusasaan. “Simpan ucapanmu, Ario! Aku harus turun tangan sendiri. Pencarian ini tidak boleh sia-sia!” potong Jayden, suaranya tajam dan penuh tekanan. Ia tidak punya waktu untuk rencana yang rumit. Ia membutuhkan hasil, dan ia yakin hanya ia yang bisa mendapatkannya. Ia mengabaikan perasaan Ario, terlalu fokus pada masalah yang ada di hadapannya. Jayden melangkah cepat menuju pintu, niatnya untuk segera keluar. Namun, Ario lebih cepat. Ia menahan lengan Jayden, menghentikan langkahnya. Jayden menoleh, tatapannya tajam dan menusuk. Ario tidak gentar. Ia sudah terbiasa menghadapi amarah Jayden. Ia tahu, Jayden membutuhkan seseorang untuk menenangkannya, untuk mengingatkannya agar tidak bertindak gegabah. “Saya tidak punya banyak waktu lagi, Ario!” geram Jayden, suaranya meninggi. Ketegangan dalam dirinya semakin memuncak. “Tuan, tolong pikirkan lagi. Jika Anda mencarinya sekarang, bukankah itu tindakan yang cukup gegabah? Para tamu sudah menunggu di luar. Kita harus memikirkan strategi yang lebih baik,” jelas Ario, suaranya tetap tenang, namun tegas. Jayden terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan amarahnya. Ia menyadari bahwa Ario benar. Bertindak gegabah hanya akan memperburuk keadaan. Ia mendegus sebal, kemudian duduk di kursi terdekat. Untunglah, ia memiliki Ario, asisten sekaligus teman yang selalu ada untuknya, menahannya dari tindakan yang mungkin akan ia sesali. Ario adalah penyeimbang yang dibutuhkan Jayden dalam situasi yang penuh tekanan ini. Ia tahu, Ario akan membantunya menemukan solusi terbaik. “Ah, aku benar-benar tidak berpikir jernih!” Jayden mengusap wajahnya, frustrasi. Pikirannya kacau, berputar-putar tanpa arah. Padahal, ia dikenal sebagai orang yang cerdas dan selalu mampu menyelesaikan masalah dengan cepat. Namun, situasi ini sungguh berbeda. Tekanan yang luar biasa membuatnya kehilangan fokus, kemampuan berpikirnya seakan memudar. Ia merasa seperti terjebak dalam sebuah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Kehilangan Siera bukan hanya mengancam pernikahannya, tetapi juga reputasinya. Bayangan skenario terburuk terus menghantuinya, membuatnya merasa semakin panik. Keheningan menyelimuti ruangan kecil itu. Jayden dan Ario sama-sama terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mereka berdua berusaha keras untuk menemukan solusi terbaik, cara untuk menemukan Seira sebelum semuanya terlambat. Waktu terus berlalu, menambah beban tekanan di pundak mereka. Jayden mondar-mandir dengan gelisah, langkah kakinya yang tak menentu menggambarkan kekacauan dalam pikirannya. Ario mengamati Jayden dengan tatapan khawatir, mencoba untuk menemukan celah untuk menenangkan atasannya itu. Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam. Jayden masih mondar-mandir, sementara Ario tampak berpikir keras, mencoba untuk menemukan solusi yang terbaik. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Jayden. Sebuah ide yang mungkin, sebuah ide yang bisa menyelamatkan situasi yang genting ini. “Aku punya ide!” seru Jayden, suaranya penuh keyakinan, seolah sebuah beban telah terangkat dari pundaknya. Seketika, sebuah cahaya harapan menerangi ruangan yang sebelumnya dipenuhi oleh kegelapan dan kecemasan. Ario menatap Jayden dengan penuh harap, menunggu penjelasan lebih lanjut. Apakah ide ini akan berhasil? Apakah ide ini akan menyelamatkan semuanya? Ketegangan masih terasa, tetapi setidaknya, seberkas cahaya harapan telah muncul di tengah badai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN