Rayhan menatap Siera dalam diam. Tapi tangannya mengepal. “Dan itu Rini ...,” lanjut Siera, matanya menyipit. “Dia terlalu lengket sama kamu. Tatapannya, caranya ngomong—aku nggak suka. Terlalu nyaman buat adik.” “Cukup.” Suara Rayhan kini berubah. Siera menghentikan langkahnya. Menoleh. Dan melihat sorot mata lelaki itu berbeda. Dingin. Tegas. Tidak lagi sabar. “Aku bilang cukup.” Rayhan berdiri perlahan. Matanya menatap lurus ke arah Siera. “Jangan bawa-bawa Rini. Dia adik kandungku. Dia bantu Ibu dari kecil. Dan kamu, baru beberapa jam di sini, sudah menuduh dan menghina semua orang tanpa berpikir.” Siera mendengus. “Aku hanya jujur. Apa kamu mau punya istri yang hidup sengsara begini? Yang harus mandi pakai gayung dan air dingin dari sumur?” Rayhan menatapnya lekat-lekat. Soro