Rayhan pergi lebih pagi dari biasanya. Langkahnya tergesa. Kesempatan itu datang dalam selisih waktu yang sempit. Rini masih membantu Ibu menyiapkan sarapan: bunyi piring, sayuran yang dicuci, dan obrolan ringan tentang harga cabai dan musim hujan. Siera berdiri di balik pintu kamarnya, jantungnya berdebar cepat. Koper kecil beroda tunggal ada di tangannya—cukup untuk beberapa potong baju dan dokumen penting. Ia mengenakan coat panjang warna krem yang hampir menutupi tubuhnya, menyamarkan kehamilan lima bulannya. Tangannya sempat bergetar saat memutar gagang pintu. Langkahnya ringan. Hatinya penuh suara. Ia tidak pamit. Tidak meninggalkan surat. Tidak memberi penjelasan. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di pinggir jalan utama, berdiri di bawah pohon ketapang besar yang daunn