“Nancy, tolong kamu minta HRD untuk mempercepat seleksi untuk asisten pribadi saya. Kalau bisa besok sudah ada hasil dari rekrutmen yang mereka lakukan. Saya kewalahan setelah Andrew mengundurkan diri sejak dua minggu ini!” perintah Thomas kepada sekretaris perusahaannya ketika ia melewati meja gadis tersebut.
“Akan saya segera lakukan Tuan Thomas. Saya akan berkoordinasi dengan pihak HRD, mereka hari ini sedang melakukan wawancara kepada beberapa kandidat yang terpilih,” sahut Nancy mengangguk.
Thomas mengacungkan jempolnya dan melangkah masuk ke dalam ruangan kantornya untuk mengecek pekerjaan yang tertunda sejak kemarin malam. Tanpa seorang asisten pribadi, ia merasa kerepotan karena banyaknya hal yang harus dilakukan dan belasan anak perusahaan yang juga membutuhkan pengawasan dari dirinya, minimal satu bulan sekali.
Pria matang itu mengamati layar laptopnya yang kini memperlihatkan grafik-grafik dari New York Stock Exchange. Menjadi pialang tetap menjadi kesibukan rutin yang dijalani oleh Thomas meski sebenarnya ia sudah memiliki banyak perusahaan tapi ia masih merasa kurang. Ada sesuatu yang hampa di dalam hatinya yang coba isi dengan hal lain, Thomas mencoba mengalihkan kekosongannya dengan segala kesibukan.
‘Tring!’
Sebuah chatting masuk di dalam aplikasi perpesanan, Thomas meraih smartphone miliknya dan membaca pesan yang dikirimkan oleh Ruben.
Ruben mengirimkan foto empat orang gadis cantik berambut pirang yang tadi Thomas minta untuk dijadikan gula berikutnya kepada sang sopir kepercayaannya tersebut.
“Ruben bisa diandalkan untuk urusan ini, hanya dalam waktu singkat ia berhasil menggaet empat orang gadis pirang untukku. Mana yang harus aku pilih ya? Keempatnya tampak sangat cantik dan menggiurkan.” Thomas membenak, ia mengamati lekat-lekat keempat foto gadis pirang itu dan membaca deskripsi yang diberikan oleh Ruben. Termasuk biodata mereka berempat, semuanya bersih tanpa tato dan tidak memiliki tindik berlebihan di tubuh mereka.
Mata Thomas terpaku kepada foto gadis ketiga yang bernama Cindy, ia melihatnya tampak seperti Anya hanya saja berambut pirang tentu saja.
“Ini aneh, apa aku memang masih merasa nyaman dengan Anya ya? Kalau aku pikir selama ini hanya dia satu-satunya gula yang tidak terlalu banyak menuntut dan tidak macam-macam. Dia gadis yang penurut, cantik dan baik, sama seperti ….” Thomas tercekat, bayangan lama itu kembali terlukis di relung hatinya. Raut wajah Vivian yang tidak ia pungkiri adalah cinta sejatinya, mantan terindah miliknya.
Thomas membalas pesan chatting dari Ruben dan memintanya agar membuat janji temu dan menjemput Cindy nanti sore. Selepas pulang kerja ia akan langsung menuju ke sebuah hotel di Long Island bersama gadis berambut pirang itu, gula barunya.
Maka sore itu setelah bekerja seharian, Thomas melangkah menuju ke parkiran yang ada di basement kantornya. Ruben menyambut kedatangannya dengan berdiri di sebelah limosin miliknya.
“Selamat sore, Tuan."
“Sore, Ruben. Bagaimana tugas khususmu?”
“Sudah, Tuan, nona Cindy sudah menunggu Anda di dalam!” Ruben menunjuk ke arah limosin yang seluruh kacanya dalam keadaan tertutup rapat. Sengaja agar membuat sang nona tetap merasa hangat dengan cuaca yang terus turun di kota New York ini.
“Kerja bagus!” Thomas melangkah dan membuka pintu penumpang.
Benar saja apa yang dikatakan oleh Ruben, di dalam limosinnya itu sudah ada seorang gadis pirang yang cantik. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangannya dengan gembira ketika Thomas masuk dan duduk di sebelahnya.
“Hai, aku Cindy!” gadis berambut pirang itu mengulurkan tangannya.
“Thomas, panggil aku Thom!”
“Thom, apa itu seperti nama kucing abu-abu di sebuah film kartun?”
Thomas mengerutkan keningnya, “Bagaimana?”
“Ya kau tahu kan, film kartun tentang kucing abu-abu dan tikus cokelat yang selalu bermain kejar-kejaran itu?”
“Maaf tapi aku tidak suka menonton televisi dan tidak tahu apa yang kamu maksud.”
“Oh, ya sudahlah. Tapi kita tetap pergi kencan kan?”
Thomas mengangguk, “Tentu saja, itu sebabnya kamu ada di sini!”
Ruben masuk ke dalam limosin dan duduk di depan di kursi sopir, ia menoleh melalui jendela kecil yang ada di tengah-tengah.
“Kita berangkat sekarang, Tuan?” tanya Ruben.
“Iya, Ruben. Kita langsung ke Long Island!”
“Siap, Tuan!” sahut Ruben, ia lalu menutup jendela kecil di tengah limosin demi menjaga privasi Thomas dan gulanya.
Setelah Ruben menjalankan limosin dan menutup jendela kecil yang merupakan batas antara mereka, Thomas menoleh ke arah Cindy.
“Perjalanan ke Long Island akan memakan waktu yang cukup lama, apa kamu mau bersenang-senang denganku selama kita di jalan?” tanya Thomas penuh dengan arti.
Cindy yang sedang bercermin dan membenahi make up di kotak bedaknya mengangguk, ia memasukkan kotak bedaknya ke dalam tas jinjingnya yang ia letakkan di kursi samping.
“Boleh, tapi aku minta bayaran lebih. Dua kali lipat dari apa yang sopirmu janjikan kepadaku!”
“Itu masalah kecil! Semuanya akan aku berikan di akhir kencan kita!” tukas Thomas.
Cindy tersenyum senang mendengar janji yang diberikan oleh Thomas tersebut, ia lalu merangkulkan tangannya ke leher Thomas. Sebaliknya, Thomas pun mendekap gadis cantik berambut pirang tersebut dan kemudian mengecup dahi serta pipinya lalu turun ke bibirnya. Cindy membuka mulutnya dan membiarkan Thomas melakukan French Kiss yang panas namun dengan cuaca dingin yang mengungkung sekarang ini, ciuman itu hanya terasa hangat saja.
Tak lama keduanya sudah mulai menanggalkan pakaian masing-masing dan berolah raga bersama, memacu adrenalin dan peluh yang bercucuran seiring dengan gerakan yang mereka berdua lakukan di dalam limosin. Thomas tidak lupa memakai pengaman yang selalu disediakan oleh Ruben di salah satu laci limosinnya. Meskipun sudah dipastikan oleh Ruben kalau setiap gulanya memiliki standar kebersihan dan bebas dari penyakit, tapi Thomas merasa tetap perlu melakukan pencegahan dengan selalu menggunakan pengaman di setiap permainan yang ia lakukan.
Ruben bersenandung kecil saat sedang mengemudi, perjalanan dari New York ke Long Island akan ditempuh selama kurang lebih dua jam. Ia harus fokus dan berkonsentrasi dengan lalu lintas yang cukup ramai namun tetap memberikan kenyamanan bagi penumpangnya.
Ruben tertawa kecil ketika ia menyadari ada gerakan naik turun yang terjadi di kursi penumpang.
“Tuan Thomas tidak sabaran rupanya, padahal kita baru saja meninggalkan parkiran kurang dari lima belas menit dan baru di jalan raya ini. Memang dia sangat hebat kalau urusan menaklukan para wanita. Tidak bisa disalahkan, dia punya segalanya dalam hidup ini. Aku jadi sedikit iri dengannya, kalau aku memiliki banyak uang seperti Tuan Thomas, aku pun pasti akan memiliki banyak gula dan melampiaskan nafsuku. Hidup ini memang harus dinikmati!” gumam Ruben.
Kurang lebih dua jam kemudian mereka sampai di sebuah hotel yang berada di pesisir pantai, cuaca di sini agak lebih baik dan hangat. Ruben masuk ke dalam parkiran hotel dan mematikan mesin mobil. Ia lalu keluar dan berdiri agak jauh dari limosin, ia tidak ingin mengganggu Thomas yang tampaknya masih melakukan permainannya dengan sang gula baru di dalam kursi penumpang limosinnya.
Sekira sepuluh menit kemudian, pintu penumpang limosin itu terbuka. Thomas melangkah keluar diikuti oleh Cindy yang berusaha merapikan kembali bajunya.
“Di mana kita?” tanya Cindy yang merasa lebih hangat ketimbang saat tadi mereka berada di parkiran kantor milik Thomas.
“Sebuah hotel di Long Island. Malam ini sampai besok pagi kita akan berada di sini dan menuntaskan apa yang baru saja kita lakukan!” sahut Thomas.
***