Pagi itu, rumah Arini terasa lebih tenang dari malam sebelumnya, meski ketegangan masih menyelimuti udara. Anak-anak sudah berangkat sekolah, dan Arini duduk di ruang tamu bersama Reza, menatap layar laptop. Di depannya, bukti-bukti tindakan licik Nadya tersebar: foto, pesan anonim, bahkan akun media sosial palsu yang sengaja dibuat untuk memprovokasi mereka. “Kita tidak bisa lagi menunggu,” kata Arini dengan nada tegas. “Nadya jelas mulai menyerang secara terbuka. Kalau kita tidak bertindak, ini akan menjadi lebih buruk.” Reza menatap Arini, wajahnya serius. “Aku setuju. Kita harus lebih cerdas darinya. Ini bukan hanya soal membela diri, tapi juga soal melindungi keluarga kita.” Arini mengangguk, menatap setiap bukti yang ada. “Langkah pertama… kita perlu mendokumentasikan semuanya. Se

