Iqlima tersentak, tatapan Rayyanza mengunci dirinya, seolah memaksa untuk menggali jawaban yang bahkan dirinya sendiri belum tentu bisa mengerti. Lidahnya kelu, pikirannya kacau. Karena, jika harus jujur, dia bahkan tidak tahu harus menjawab apa. Tenggorokannya terasa tercekat, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk berbicara. Matanya menatap kosong ke arah cangkir teh yang sejak tadi tidak tersentuh di atas meja. Bahkan tangannya yang saling menggenggam di atas pangkuan terasa dingin. Rayyanza menghela napas pelan. Dia tahu, pertanyaannya bukan sesuatu yang mudah untuk dijawab. Namun, diamnya Iqlima justru semakin membuat pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Dengan nada suara yang lebih lembut, Rayyanza kembali bertanya. "Iqlima ... jawab Mas sekarang bisa ya?" Iqlim