"Ya Tuhan, jika benar ini mimpi ... tolong jangan bangunkan aku lagi." Langit senja di luar jendela memerah suram, seolah ikut meratapi luka yang menggores hatinya. Di dalam kamar mewah yang terasa begitu sunyi, Iqlima duduk meringkuk di sudut tempat tidur. Bahunya bergetar, napas wanita itu tersengal, dan isakan lirihnya memenuhi ruangan sepi. Tangannya mengepal erat di atas pangkuan, jemarinya memucat menahan guncangan batin. Air mata terus mengalir tanpa bisa dia hentikan, membasahi pipi dan jatuh ke bantal yang sejak tadi menjadi tempatnya bersandar. Dia masih merasa seolah berada dalam pelarian, meskipun sudah dua hari berlalu sejak ia berhasil kabur dari jerat Afkar. Semuanya masih terasa begitu nyata. Masih terbayang betapa jantungnya berdebar kencang saat dia diam-diam menghubu